Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Renjana Lara

19 Maret 2024   13:24 Diperbarui: 21 Maret 2024   12:29 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keadilan adalah hak semua warga negara. Namun, keadilan sering dinodai oleh kepentingan orang-orang tak bertanggungjawab dan mengorbankan orang lain untuk menanggungnya.

Langit kelam dan candra buana yang biasa menghias malam pudar diregut guyuran hujan deras. Jeruji-jeruji besi bungkam, suasana hening karena semua penghuni terlelap dalam mimpi-mimpi yang bias.

Aku termangu memandang bocah kecil yang meringkuk di sudut ruangan. Sesekali bocah itu mengigau dan berteriak kegirangan. Mungkin dia bermimpi tentang sesuatu yang membahagiakannya. 

Sesuatu yang tidak pernah dirasakannya sejak kehadirannya di muka bumi ini. Hidupnya terkukung dalam ketidakpastian. Kebebasannya diregut oleh nasib. Dia harus terkurung di dalam hotel prodeo bersama ibunya.

Lalu aku menatap tiga orang tamu yang sengaja mengunjungiku malam-malam begini. Mereka ingin tahu tentang kisahku tentang  semua yang kualami, penderitaan, kesedihan, dan keadilan yang dirampas dari hidupku,  yang berbaur selama ini.

"Aku ingin mengisahkan semuanya, tetapi aku tahu kalian tak akan mempercayai apa yang akan kuceritakan. Sama halnya dengan para hakim yang tak mau memercayai apa yang terjadi sebenarnya. Mata dan nurani mereka gelap  dan menyisihkan nilai-nilai keadilan hakiki karena tertutup oleh gepokan rupiah." Aku memulai kisah dengan memandangi tamu-tamu itu dengan sendu.

"Aku ingat betul malam itu. Jam dinding menunjukkan angka sepuluh. Suamiku belum juga kembali dari pekerjaannya. Biasanya dia akan menghubungiku jika harus lembur. Sementara hujan deras membuat aspal jalanan menggigil. Sesekali cambuk petir menggelegar di ujung kuping. Tak biasanya suamiku terlambat seperti ini.

Aku merasakan kegundahan dan kegelisahan yang tak biasa. Mungkin ini yang dinamakan firasat, tetapi aku tetap berkeras hati untuk menepiskan dari kalbu. Aku tak mau overthinking. 

Diam-diam rangkaian doa hadir dalam hati untuk keselamatan laki-laki yang sangat aku cintai. Awalnya aku akan memberikan kejutan pada suami tentang kehadiran calon jabang bayi dalam rahimku. Terbayang raut kebahagiaan yang akan terpancar di wajahnya karena selama dua tahun ini kami mengharapkan kehadiran buah hati dalam keluarga kecil ini.

Baca juga: Cerpen "Mbatin"

Aku memandang jam dinding yang sudah menunjukkan angka 11 dan sesekali  melihat android yang berisi tayangan CCTV. Waktu sudah beranjak tengah malam. Hujan yang mengguyur bumi masih juga belum berhenti. Aku mendengar suara mobil dari arah pekarangan. Pasti itu Mas Bram, suamiku. Tak sabar aku mengintip dari balik jendela, berharap suara mobil itu adalah benar Mas Bram.

Aku melihat sosok suamiku yang turun dari mobil. Namun, sosok bayangan hitam dengan cepat menghampiri dan menghunjamkan pisau ke dada Mas Bram dan menghilang. Dari mana sosok bayangan hitam itu  muncul dan kemana perginya sosok hitam itu. Peristiwa itu sangat cepat dan membuatku shock.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun