Pagi ini mulai pukul 9.45 saya membuka ruang g.meet yang diadakan oleh komunitas pendidik yang beranggotakan para Kompasianer. Meskipun hanya tiga orang yang bisa hadir, bincang- bincang santai ini berlangsung seru berhias haru.Banyak hikmah yang saya peroleh dari bincang- bincang ini. Untuk menebarkan cinta ini kepada anak- anak disabilitas tidak hanya teori saja.
 Cinta ini perlu diwujudkan dengan tindakan nyata. Hal itu dilakukan oleh narasumber yang memang menyiapkan dirinya lahir batin untuk membantu para disabilitas di lingkungannya.
Yunita Kristanti Nur Indarsih (Peraih Best Specific Interest Kompasiana Award 2022) mengabdikan dirinya sebagai sukarelawan dan terapis untuk anak- anak disabilitas. Saya mengenalnya di Kompasiana. Beberapa tulisannya banyak mengulas tentang anak- anak disabilitas.
Bincang- bincang ini diprakarsai oleh Komunitas Pendidik yang dikomandoi oleh Pak Akbar. Sebuah judul yang menarik " Apakah ada cinta buat para disabilitas? Selama ini dunia pendidikan kita sudah bergeser paradigmanya tentang pendidikan anak- anak yang berkebutuhan khusus.Â
Setiap sekolah dilarang menolak  setiap anak disabilitas  untuk mengikuti sekolah reguler sesuai dengan keinginannya. Pertanyaan yang saya lontarkan di salah satu artikel saya tentang sekolah inklusi "Sudah siapkah sekolah menjadi penyelenggara pendidikan inklusi?"
Pendidikan inklusi di sini adalah pendidikan yang membaurkan anak- anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak- anak yang normal dalam satu pendidikan reguler.Â
Faktanya banyak sekolah penyelenggara pendidikan inklusi ini masih belum siap melaksanakan program sekolah inklusi.
Salah satu contoh kurang siapnya sekolah penyelenggara pendidikan inklusi adalah kurangnya kompetensi sumber daya manusia atau guru yang mampu melaksanakan strategi pembelajaran yang berpihak kepada anak- anak berkebutuhan khusus. Mereka masih menerapkan strategi pembelajaran yang sama  bagi anak- anak normal.lainnya. Model pembelajaran yang diterapkan juga masih disamaratakan. Hal itu diperparah  bila sekolah inklusif itu  menerima peserta didik berkebutuhan khusus lebih dari satu orang dan mereka  memiliki masalah sendiri. Alhasil peserta didik khusus ini tidak tergali minat, bakat,  potensi, dan kompetensinya secara maksimal. Mereka dianggap cukup untuk hadir setiap pembelajaran meskipun sebatas pas pasan saja.
Berbeda dengan  sekolah swasta penyelenggara inklusif yang benar- benar memiliki program  untuk mengembangkan potensi peserta didik khusus. Mereka menyiapkan tenaga terapis pendamping selain guru. Ada pula yang menyiapkan dokter konsultan tumbuh kembang anak. Sayangnya sekolah tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar. Mengapa pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan  tidak menyiapkan tenaga pendidik yang memahami dan mampu memberikan bimbingan bagi  para peserta didik khusus secara intensif. Pelatihan guru pembimbing khusus selama ini hanya diadakan melalui guru belajar dan berbagi atau pun melalui pmm.
Bincang- bincang itu kemudian berkembang tentang mahalnya harga terapi bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Satu kali terapi orang tua harus menyediakan dana seratus ribu rupiah per satu sesi. Jika satu Minggu anak membutuhkan dua kali pertemuan sudah berapa dana yang harus disiapkan? Hal inilah yang menjadi masalah bagi para orang tua khususnya yang tingkat ekonomi kurang mampu sehingga mereka membiarkan tumbuh kembang anak- anak yang disabilitas ini apa adanya. Â Â Mereka pasrah dengan apa yang terjadi. Mbak Nita, sebagai sukarelawan, menganggap bahwa anak- anak disabilitas itu punya hak untuk berkembang meskipun ada dalam keadaan keluarga yang kurang mampu.
Saya berpikir perlu adanya pemahaman dan pelatihan bagi para orang tua anak disabilitas khususnya mereka yang kurang mampu agar bisa melatih anak- anak mereka secara mandiri dan tidak melulu bergantung pada tenaga terapis.Â