Dua hari ini, beberapa teman mengunggah berita mengenai seekor paus mati yang ditemukan di Wakatobi. Yang menyedihkan, di dalam perut paus tersebut ditemukan sekian sandal jepit, botol, dan kantong plastik yang beratnya lebih dari 5kg.
Memang kita tidak boleh mengatakan bahwa semua sampah tersebut berasal dari Indonesia. Namun demikian, tidak berarti lalu kita mengurangi 'rasa berdosa' kita karena telah menjadi salah satu pembunuh paus tersebut secara tidak langsung.
Indonesia adalah negara penghasil sampah plastik terbesar kedua setelah Tiongkok dengan angka lebih dari 3 juta ton. Serem ga? Sekitar 40% dari sampah plastik yang dihasilkan Indonesia setiap tahun, berakhir di laut (dari berbagai sumber). Kalau dibagi dengan jumlah penduduk, dalam satu tahun kita menghasilkan sekitar sepuluh kg sampah setiap tahun. Jumlahnya memang tampak tidak besar. Namun demikian bukan berarti kita boleh nyampah lebih banyak lagi.Â
Setelah melihat jumlah sampah bulanan kita per indi individu yang tidak tampak terlalu besar, kita seharusnya merasa termotivasi untuk lebih mengecilkan lagi jumlah sampah tersebut. Ibarat lihat nominal rupiah kreditan yang mengecil ketika kita rajin menyicil, kita mestinya juga ikut mengecilkan jumlah sampah yang kita hasilkan.
Mari kita merasa berdosa ketika menggunakan plastik. Teknik ini saya terapkan sejak saya memasukkan anak saya ke SD yang menerapkan diet plastik. Sejak sebelum si anak mulai sekolah, para orangtua sudah diajak berkumpul dan ngobrol bareng dulu. Dalam salah satu acara ngobrol ini, kami diberitahu soal diet plastik. Jajanan di kantin sekolah sebisa mungkin bebas kemasan plastik.Â
Sekarang ketika anak saya sudah masuk sekolah, ada hari berbagi di mana siswa membawa bekal untuk dibagi dengan teman-temannya. Di hari berbagi ini, para guru berungkali mengingatkan supaya bekal yang dibawa tidak menggunakan kemasan plastik. Orangtua juga urunan menyediakan galon air isi ulang supaya anak bisa mengisi botol minum mereka yang kosong.
Cara saya sendiri berdiet plastik adalah dengan mengurangi jumlah makanan take home. Kalaupun membeli makanan, saya usahakan membawa wadah dari rumah. Ini tidak gampang. Saya masih sangat tidak disiplin. Saya masih harus menyemangati diri ketika mbak dan mas petugas gerau waralaba melihat saya dengan aneh ketika membawa wadah sendiri.Â
Belum lagi melawan godaan jajan aneka rupa makanan dan minuman yang seakan tertumpah dari langit ketika kita sedang berniat melakukan sesuatu. Waduh. Ini tidak termasuk lupa bawa tas belanjaan saat mau belanja banyak. Tetapi saya masih berusaha. Saya masih memberlakukan perasaan berdosa ketika harus menerima tas plastik baru.
Rasa berdosa ini sangat membantu saya menolak pemberian tas plastik baru untuk membawa segala rupa bawaan saya. Plastik itu murah sekali lho. Di tempat-tempat saya bekerja, sudah banyak kali saya menolak plastik untuk membawa koreksian pekerjaan murid dari segala penjuru dunia. Para ibu baik hati di tempat saya mengajar sering bilang, "Mbok dimasukkan tas plastik wong tas plastik punya banyak ini lho." Menolak k tawaran baik ibu-ibu begini bukan hal yang mudah. Urusannya kadang bisa panjang karena saya kelihatan kerepotan dan karena tawaran para ibu adalah tawaran malaikat yang kalau ditolak kadang mengubah mereka jadi... (silahkan diisi sendiri).
Rasa berdosa ini juga yang membantu saya sedikit memaksa ketika mbak atau mas penjaga kasir mengatakan, "Plastiknya nggak bayar kok, Bu." Hadeh. Ya saya tahu.Â
Sayangnya saya masih belum bisa membuat orang lain merasa seberdosa saya ketika menggunakan plastik. Soal rapat di berbagai tempat kerja misalnya (kebetulan saya mengajar di berbagai tempat). Saya pernah mengatakan, "Sebenarnya kalau pakai kotak begini, kita nyampah lebih banyak lho. Terus kalau pakai kotak, per makanan gini harus dibungkus plastik. Kenapa nggak pakai piring aja ditaruh tengah terus kita ambil sendiri makanannya?" Dan tentu saja jawabnya adalah, "Lha kan lebih praktis, Ms." Lalu ada juga yang menjawab, "Kalau pakai piring kasihan yang menyiapkan, harus cuci piring segala."Â