Mohon tunggu...
Risna Ang
Risna Ang Mohon Tunggu... -

hiduplah untuk penghidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Namanya Martin

9 April 2014   05:52 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:53 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namanya Martin

Namanya Martin, lengkapnya Martin Rapsodi. Demikian kata si gadis saat mengawali kisahnya. Martin memang lahir di bulan Maret. Kemarin  ia baru berulang tahun. Sayangnya, gadis itu  tak tahu persis kemarin ulang tahun Martin yang keberapa. Ia lupa bertanya.

Baru dua kali mereka bertemu. Kali pertama bertemu saat itu usianya baru enam tahun. Jangankan menanyakan usianya berapa, kala itu ia sendiri tak tahu apa itu usia. Setahun kemudian barulah mereka bertemu kembali.

Dari pemilihan kata yang digunakan, tampak ia sangat mengagumi Martin. Sungguh. Makannya ia ingin menemui Martinnnya itu. Entah sudah sampai hitungan keberapa ia menyebut nama Martin. Disodorkannya kertas kecil yang sudah aus itu padaku, “Kau tahu alamat ini?” tanyanya dengan binaran mata yang indah. Aku menggeleng, kemudian bergeming melihat foto yang juga ditunjukkannya. “Gantengkan? Om Martinku memang ganteng,” ucapnya sangat bangga.

Aku tersenyum, “Mungkin kalau kaca matanya dilepas lebih ganteng lagi.” Dia sendiri mengangguk, tanda setuju. Tapi, kemudian disusul gelengan yang mengagetkan aku. “Jangan, nanti kau naksir dia!” katanya dengan nada sedikit mengancam kemudian tertawa. Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum. Foto dan kertas itu ia masukaan lagi ke dompetnya. Setelah itu tak ada lagi yang kita obrolkan. Tak kudengar lagi namanya terucap. Pembicaraan kami usai.

Suara petikan getar yang beritme pelan namun tetap indah didengar tiba-tiba saja menghentikan mimpiku. Saat kubuka mata sekeliling terlihat samar. Tak lama kemudian menjadii terang.Di depanku masih dengan dua orang tua dari Jakarta yang katanya hendak ke Surabaya. Di sebarang kanan tempat dudukku, masih juga dengan dua perempuan dan dua lelaki yang kalau dilihat-lihat mungkin usianya sebaya denganku.

Jika memang dirimulahtulang rusukku, kau akan kembali pada tubuh ini. Lirik itu yang sempat aku dengar sebelumpermainan lagu dari penyanyi itu berakhir. Aku teringat gadis yang duduk di sebelah kiriku. Ingat tentang cerita Martinnya. Pikirnya kisah tentang Martinnya itu dapat mmengurangi rasa kantukku. Karena sebentar lagi aku harus bergegas turun.

Ternyata gadis itu sudah tak ada. Dan digantikan penumpang lain. Mungkin gadis itu turun saat aku terlelap tidur. Di sampingku sudah ada seseorang mengenakan jaket dan celana yang punya warna serupa, di telinganya dipasangi headphone dan menggunakan masker. Aku pun tak bisa melihat matanya karena terhalang kaca mata hitamnya itu. Ia tertidur dengan nyenyak. Tampaknya ia sangat lelah.

Stasiun Jebres hampir dekat, petugas sudah mengumumkan pada para penumpang tujuan Solo-Jebres agar bersiap-siap turun.Satu tas hitamku masih berada di rak tepat di atasnya.Agak susah diambil memang.Tapi tak enak meminta bantuannya, takut mengganggu. Sudah ku geser sepelan mungkin dan tak menimbulkan suara, tetap saja membuat ia terusik.Dilepas headphonenya, dan maskernya juga turut dibuka.Kacamata hitamnya ia gantungkan di saku. Diambilkannya tas hitamku, dan diberikan padaku. Walaupun dengan kantuk yang menyelimuti wajahnya, aku tetap bisa mengakap senyum ramahnya.

Sekilas pernah kumelihatnya. Bukankah dia Martin, Martinnya gadis itu? Yang berapa jam lalu aku lihat fotonya. Tapi yang ini lebih dewasa. Sekitarempat atau lima tahun di atasku. Terima kasih Martin, Martin Rapsodi. Ucapku sangat pelan, nyaris tak terdengar terutama saat mengejaMar-tin Rap-so-di. Dia mengangguk mengatakan terima kasih kembali. Dan sebelum aku benar-benar meninggalkannya, kudengar ia berkata “Apa kau mengenalku?” dan seebelum sempat ku jawaba, ia memberiku pertanyaan lagi “Kenapa kau bisa tahu namaku?”suaranya terdengaragak ragu.

“Dari tiket yang ku pungut itu, punymu kah? jawabku cepat sambil menunjuk tiket yang kini tergeletak di tempat dudukku.

“Owh iya, benar juga” senyumnya membuat lipatan di dahinya terlihat jelas.Penjelasanku sepertinya masih belum dimengertinya.

“Terima kasih Martin”aku bingung akan mengatakan apa lagi.“Semoga perjalananmu menyenangkan.” terdengar kaku.

“ Ya, sampai jumpa...” katanya dengan mengangguk sopan, masih juga dengan wajah penasaran.

Aku benar-benarpergi.Penumpang lainnya sudah menunggu untuk lewat. Dan aku mengalangi jalan mereka.Saat ku balikan punggungku di area peron menghadap kereta gerbong V, ia-lelaki bekaca mata hitam yang mengenakan jaket, tertangkap mataku menggambarkan wajah tersenyum dalam tidurnya. Sampai jumpa kembali Martin Rapsodi.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun