Perpajakan internasional menjadi semakin kompleks dalam konteks globalisasi, di mana perusahaan multinasional beroperasi lintas negara dan sering kali dihadapkan pada aturan pajak yang tumpang tindih. Salah satu tantangan utama yang timbul adalah pajak berganda internasional, di mana dua negara atau lebih mengenakan pajak terhadap penghasilan yang sama, yang dapat merugikan pihak-pihak yang terlibat, terutama perusahaan dan negara dengan kapasitas fiskal yang lebih lemah.
Masalah ini semakin rumit dengan adanya perbedaan yurisdiksi hukum, sistem perpajakan, serta kepentingan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang. Perusahaan multinasional sering kali dapat memanfaatkan celah dalam sistem perpajakan global untuk menghindari pajak, atau memindahkan keuntungan mereka ke yurisdiksi dengan tarif pajak lebih rendah, sebuah praktik yang dikenal sebagai profit shifting. Di sisi lain, negara-negara berkembang sering kali tidak memiliki sumber daya atau pengaruh yang cukup untuk menegosiasikan perjanjian pajak yang menguntungkan, yang menyebabkan hilangnya potensi pendapatan pajak yang signifikan. Dalam konteks inilah pendekatan Habermas, yang menekankan pentingnya komunikasi dan dialog dalam mencapai keadilan sosial, menjadi relevan.
Habermas, sebagai tokoh utama Mazhab Frankfurt, memperkenalkan konsep-konsep seperti tindakan komunikatif, demokrasi deliberatif, dan ruang publik, yang menawarkan cara baru untuk memikirkan tentang proses pembuatan kebijakan yang adil dan inklusif. Berbeda dengan pendekatan tradisional yang sering kali menggunakan rasionalitas instrumental di mana kebijakan publik dirancang untuk mencapai tujuan tertentu dengan cara yang efisien tanpa mempertimbangkan partisipasi masyarakat Habermas mengusulkan bahwa kebijakan yang benar-benar adil hanya dapat dicapai melalui proses deliberatif yang melibatkan dialog terbuka antara semua pihak yang terkena dampak.
Kompleksitas Pajak Berganda Internasional
Pajak berganda internasional adalah fenomena di mana pendapatan yang sama dikenakan pajak oleh lebih dari satu negara, yang biasanya terjadi ketika perusahaan atau individu memiliki aktivitas ekonomi di lebih dari satu yurisdiksi. Perpajakan berganda ini terjadi karena setiap negara berhak memungut pajak atas pendapatan yang diperoleh di wilayahnya, tetapi dalam banyak kasus, pendapatan tersebut juga dikenakan pajak di negara tempat perusahaan atau individu tersebut berdomisili. Akibatnya, perusahaan multinasional atau individu dapat dikenai beban pajak yang lebih tinggi daripada yang seharusnya, yang dapat mengurangi insentif untuk investasi lintas negara dan menghambat pertumbuhan ekonomi global.
Untuk mengatasi masalah ini, banyak negara telah menandatangani perjanjian pajak bilateral, yang dikenal sebagai Double Taxation Agreements (DTAs), yang bertujuan untuk menghindari pajak berganda dengan menentukan yurisdiksi pajak yang berlaku dan bagaimana pendapatan tersebut akan dikenai pajak. Meskipun DTAs merupakan solusi yang bermanfaat, perjanjian-perjanjian ini sering kali dirancang berdasarkan kepentingan negara-negara besar atau maju, sementara negara-negara kecil atau berkembang mungkin tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Hal ini menimbulkan tantangan besar dalam hal keadilan dan kesetaraan dalam sistem perpajakan internasional.
Jurgen Habermas
Jurgen Habermas lahir pada 18 Juni 1929 di Dsseldorf, Jerman. Ia adalah salah satu filsuf dan sosiolog terkemuka di abad ke-20 yang dikenal karena kontribusinya dalam berbagai bidang filsafat sosial, teori kritis, dan komunikasi. Habermas adalah salah satu tokoh terkemuka generasi kedua dari Mazhab Frankfurt, sebuah aliran pemikiran yang berfokus pada kritik sosial terhadap kapitalisme, modernitas, dan sistem kekuasaan. Habermas tumbuh dalam lingkungan yang dipengaruhi oleh pengalaman rezim Nazi di Jerman, yang kemudian membentuk perspektif kritisnya terhadap otoritarianisme dan dominasi kekuasaan.
Habermas tumbuh di Jerman pada masa rezim Nazi, sebuah periode yang sangat memengaruhi pandangannya tentang filsafat dan politik. Masa kecilnya di bawah kekuasaan Nazi menanamkan rasa skeptis terhadap bentuk-bentuk otoritarianisme dan dominasi kekuasaan yang tampak jelas dalam karyanya di kemudian hari. Setelah Perang Dunia II, Habermas melanjutkan pendidikan di beberapa universitas terkemuka Jerman, termasuk Universitas Gttingen, Zrich, dan Bonn, di mana ia belajar filsafat, sejarah, psikologi, dan sastra Jerman.
Pada 1954, Habermas memperoleh gelar doktor dalam filsafat dengan disertasi tentang pemikiran Friedrich Schelling. Setelah menyelesaikan studinya, Habermas bergabung dengan Institut fr Sozialforschung (Institut Penelitian Sosial) di Frankfurt, yang menjadi pusat bagi Mazhab Frankfurt. Di sini, ia mulai berkolaborasi dengan para pemikir terkemuka seperti Theodor Adorno dan Max Horkheimer, yang sangat memengaruhi perkembangan awal intelektualnya.
Karier dan Karya
Pada tahun 1962, Habermas menerbitkan buku penting pertamanya, The Structural Transformation of the Public Sphere (Struktur Perubahan Ruang Publik). Dalam buku ini, ia menganalisis bagaimana ruang publik di Eropa telah berubah dari era feodal hingga kapitalisme modern, dengan menekankan pentingnya ruang diskusi publik dalam mendukung demokrasi. Buku ini memperkenalkan ide ruang publik sebagai area di mana individu dapat berdiskusi secara bebas tentang masalah-masalah publik tanpa tekanan dari negara atau pasar, yang menjadi salah satu tema sentral dalam pemikirannya.
Pada akhir 1960-an, Habermas mulai mengajar di Universitas Frankfurt, di mana ia kemudian menjadi profesor filsafat dan sosiologi. Ia juga menjabat sebagai direktur Institut Max Planck untuk Studi Kondisi Kehidupan di Mnchen. Sepanjang karier akademisnya, Habermas telah menulis lebih dari 30 buku dan ratusan artikel ilmiah, yang mencakup berbagai topik seperti etika, politik, hukum, sosiologi, dan filsafat bahasa.