Tidak bisa dipungkiri bahwa data sedang berkembang pada kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan data konsumen yang secara khusus meningkat secara fundamental mengubah bagaimana brand beroperasi di area ini.Â
Walaupun masa depan tanpa cookie akan segera terjadi, kemajuan dalam menentukan target kontekstual, peningkatan adopsi atas data konsumen yang telah disetujui seperti Platform Data Konsumen dan Panel Konsumen, dan  pertumbuhan dalam bagian data pertama memberikan pemasang iklan pandangan yang hebat tentang pelanggan mereka di dunia maya. Perusahaan juga menjadi lebih melengkapi diri dengan teknologi yang dapat menyediakan pemasar dengan data konsumen di dunia nyata, seperti geofencing, beacon sistem point-of-sale (POS).Â
Namun, di saat brand memiliki rich data konsumen yang diperoleh secara online dan offline, data ini terisolasi tanpa ada penghubung untuk mensinergikannya. Data yang terisolasi ini menghasilkan media planning yang terisolasi juga untuk kampanye online dan offline, tanpa ada data lain yang mempengaruhi. Econsultancy menemukan bahwa 23% pemasar di Asia Tenggara percaya bahwa solusi yang mereka miliki saat ini sangat hebat dalam menyediakan data integrasi dan menyatukan pandangan dari seluruh kanal.Â
Di eranya omnichannel, para pemasar tidak mampu menerima pengertian konsumen yang terpecah belah. Terutama dengan adanya efek pandemi COVID-19, dimana jalur yang sudah kompleks juga terus berkembang, membuat perubahan perilaku konsumen secara jangka panjang dan tidak mudah ditebak. Supaya para pemasar tetap  bertanggung jawab, dan secara efektif mengatur hasil bisnis dengan media di masa pasca COVID, sangat penting untung menghubungkan celah antara data online dan offline untuk mencapai akses atas sudut pandang konsumen 360 derajat pada seluruh perjalanan.
MEDIAÂ PLANNINGÂ TERISOLASI DAN KONSUMEN 2 DIMENSI
Biaya yang dihabiskan untuk media online dan offline masih tinggi di Asia Pasifik. Andil online pada biaya iklan diprediksi meningkat +550% pada tahun 2023, dan walau biaya untuk media tradisional offline dikeluarkan lebih sedikit, kanal tradisional ini tetap menjadi bagian yang penting pada bujet periklanan. Iklan luar ruang khususnya masih kuat di regional, meningkat lebih dari 19% di 2019.Â
Dalam membuat rencana kampanye, brand tentunya menggunakan rich data untuk konsumen online dan offline, secara acuan segmentasi dan membuat target. Masalahnya adalah kedua data tersebut berada terpisah satu sama lain, dan tim media planning tidak dapat menggunakan data online untuk mempengaruhi rencana dan pengukuran media offline, begitu pula sebaliknya.Â
Kurangnya penghubung memberi dampak pada media planning, yaitu menjadi terpisah dari kompleksnya realitas perilaku konsumen di seluruh kanal. Tidak seperti akses ke data online dan offline saat ini, konsumen tidaklah dua dimensi. Mereka tidak hidup terisolasi dalam dunia online dan offline, dan jejak pembelian konsumen tidak lagi menjadi hal yang mudah diprediksi.Â
Sebagian besar pemasar akan terbiasa dengan konsep omnichannel webrooming (dimana konsumen mengumpulkan informasi tentang produk secara online lalu melakukan pembelian offline) dan showrooming (dimana konsumen secara fisik datang ke toko untuk melihat langsung dan merasakan produk sebelum akhirnya melakukan pembelian secara online), namun bahkan konsep ini pun terasa terlalu menyederhanakan representasi betapa dinamisnya jejak pembelian sekarang ini.Â
Pada dunia nyata, konsumen berada di perubahan konstan antara titik online dan offline, saat keduanya berusaha bertemu, namun yang terjadi adalah simpang siur aksi dan interaksi dengan brand pada saat akan dibeli. Memahami simpang siur dan mendapatkan satu pendapat konsumen pada saat mereka bertransisi dari titik online dan offline sangatlah penting, terutama di Xaxis, dimana mengarahkan hasil bagi klien adalah keahlian kami.Â
MENGARAHKAN HASIL DENGAN MENGHUBUNGKAN DATA ONLINE DAN OFFLINE