Mohon tunggu...
Nina Amalia
Nina Amalia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo! saya merupakan mahasiswi jurusan Ilmu Hubungan Internasional di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Melalui profil ini, saya akan membagikan beberapa pendapat saya mengenai isu dan permasalahan di dunia!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Humble Hard Power: Indonesia dalam Menghadapi Isu Laut China Selatan

31 Mei 2024   23:41 Diperbarui: 1 Juni 2024   00:24 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Humble Hard Power: Indonesia Dalam Menghadapi Isu Laut Cina Selatan

 

Laut Cina Selatan

Laut Cina Selatan merupakan salah satu area yang memiliki potensi konflik tinggi dalam hubungan internasional. Diartikan sebagai 'Tenggorokan Samudera Pasifik Barat dan Laut India', Laut Cina Selatan digadang sebagai rute ekonomi tersibuk di dunia yang mencakup hingga 1/3 wilayah perdagangan global, terbukti mengandung sumber daya alam dalam jumlah besar terutama minyak dan gas, serta terletak dalam posisi geografis yang sangat strategis bagi negara.[1]

 

Berbagai lapisan dunia telah memperhatikan Laut Cina Selatan ini sejak dahulu. Terbentang dari Selat Karimata, Selat Malaka, dan Selat Taiwan dengan panjang sekitar 3,5 juta km persegi. Terletak dalam kawasan yang diidamkan dunia, terdapat banyak negara yang mengklaim kekuasaannya terhadap laut tepi tersebut dimulai dari Vietnam, Filipina, Taiwan, Brunei Darussalam, Malaysia, hingga Indonesia dan Cina. Tidak hanya itu, pentingnya Laut Cina Selatan juga berhasil menarik hati banyaknya perusahaan internasional milik Amerika Serikat, Inggris, India, Russia dan Australia yang juga ikut terlibat dalam konflik perebutan wilayah terkait.[2]

 

Cina telah melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan kekuasaan di Laut Cina Selatan. Nine-dash line misalnya, yang merupakan salah satu strategi populer dengan dasar sejarah ini menunjukkan bagaimana terdapat sembilan garis putus-putus disepanjang tepi laut berbagai negara di map kekaisaran Cina pada tahun 1952. Walaupun beberapa dari garis tersebut pada kenyataannya tidak adil dan merebut hak negara lain, Cina tidak mengindahkan hal ini dan tetap bergerak dengan bebas menjalankan aktivitas di perairan. [3] Klaim sepihak ini tentunya membuat geram negara-negara tetangga yang bersinggungan langsung terutama diwilayah ASEAN, termasuk Indonesia.

 

Indonesia di Laut Cina Selatan

Indonesia merupakan negara yang terbentuk dari ribuan pulau dan perairan yang kaya akan sumber daya alamnya. Ketika Cina mengeleluarkan strategi nine-dash line, Indonesia yang merasa sangat dirugikan langsung merespon dengan menginisiasi berbagai pembicaraan diplomatis mengenai hal tersebut. Namun sayangnya, pemerintah Cina tidak pernah mengindahkan peringatan dan terus mengeksploitasi ikan dan biota laut khas di wilayah perairan Indonesia. [4]

 

Untuk itu, diperlukan bentuk baru dalam politik Indonesia untuk menghadapi isu Laut Cina Selatan. Teori konsep Humble Hard Power dikenalkan oleh Adam Nieves-Johnson pada tahun 2012 melalui bukunya yang berjudul, "A Bilateral Analysis of the South China Sea Dispute; China, the Phillippines, and the Scarborough Shoal". Adam menggambarkan konsep ini sebagai bentuk baru dari hard power dimana tidak menggunakan ancaman militer maupun diplomasi yang damai melainkan menggunakan berbagai jenis kekuatan yang lain demi mencapai tujuan tanpa menciptakan konflik internasional. Dalam konteks Laut Cina Selatan, hal ini berarti memfokuskan penggunaan kekuatan yang bukan militer seperti bantuan ekonomi, pembangunan teknologi, atau bahkan kemenangan dipersidangan internasional. [5]

 

Terdapat berbagai pilihan yang dapat digunakan Indonesia dalam menghadapi Cina menggunakan konsep Humble Hard Power untuk isu Laut Cina Selatan. Pertama, Indonesia dapat memperkuat jalur hukum dan mengirim tuntutan kepada majelis tertentu untuk membuktikan bahwa Cina tidak memiliki ha katas Kepulauan Natuna. Selain itu, opsi lain juga terbuka untuk Indonesia dengan mempererat diplomasi maupun kerja sama ekonomi dalam bidang lainnya dibandingkan harus selalu bersitegang terhadap isu perairan. [6] Bagaimanapun, baik Indonesia maupun negara-negara ASEAN lainnya perlu untuk memikirkan secara matang langkah apa yang seharusnya dapat diambil untuk mengatasi permasalahan ini tanpa harus menimbulkan konflik baru yang lebih buruk. 

 

DAFTAR PUSTAKA

Johnson, Adam Nieves, 2012. A Bilateral Analysis of the South China Sea Dispute: China, the Philippines, and the Scarborough Shoa. Miami: Florida International University.

Robertua, Verdinand, 2016. "Dinamika Konflik Laut Tiongko Selatan: Confi dence-Building Measures vs Hukum Internasional." Verity 232-252.

Rustandi, Commodore Agus, 2016. The South Cina Sea Dispute: Opportunities for ASEAN to enhance its policies in order to achieve resolution. Canberra: Center for Defence and Strategic Studies.

Shad, M. R., & Ahmed, S. (2017). Escalating Tensions in the South Cina Sea and Asia-Pacific Security. Pakistan Horizon, 70(1), 81--99. http://www.jstor.org/stable/44988300

Weatherbee, Donald, 2016. Re-Assessing Indonesia's Role in the South China Sea. Singapore: ISEAS.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun