Mohon tunggu...
Nina Nina
Nina Nina Mohon Tunggu... lainnya -

Masih belajar memaknai kata Sabar dan Syukur. Tetap semangat !!!!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Fatin Melawan Arus Jilbabphobia Industri Musik Indonesia

6 Juni 2013   17:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:26 4534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

'Jangan melihat seseorang berdasarkan apa yang  menutupi kepalanya, namun lihatlah bagaimana 'isi' otaknya alias pemikiran dan kiprahnya', merupakan suatu jawaban  narasumber pada suatu acara di Oprah Show beberapa tahun lalu. Oprah bertanya pada narasumber dengan pertanyaan ',apakah 'tutup kepala' yang dipakai warga negeri tersebut merupakan suatu halangan untuk 'maju'. Narasumbernya waktu itu seorang Ibu Negara dan aktivis kemanusiaan dari Timur Tengah. Memang topik tentang jilbab ini seakan tidak ada habisnya, dan bahkan sering berujung kontra dan SARA. Kasihan sekali 'jilbab' itu ya, wong jilbabnya aja gokil cripi cripi adem ayem kok masih dikontroversikan juga ye, hehe.

Profesi pekerja seni konon merupakan pekerjaan yang dikategorikan memiliki 'kebebasan eksperesi' yang tinggi. Bahkan kebebasan ekspresi itu bisa di artikan 'se bebas-bebasnya' tanpa hambatan. Jilbab dianggap salah satu hambatan besar untuk berkarya dan berekspresi di dunia seni. Bahkan bisa jadi ada anggapan bahwa seorang pekerja seni tidak akan terkenal jika menggunakan penutup kepala ini. Pekerja seni ini khususon untuk industri musik tanah air yang mayoritas penduduknya Muslim. Bila kita bandingkan dengan profesi lain di negeri tercinta, maka jumlah pemakai jilbab untuk seniwatinya termasuk yang paling sedikit.

Fatin Shidqia Lubis merupakan pendatang baru di Blantika Musik Indonesia. seseorang memenangkan suatu lomba mungkin merupakan hal yang biasa. Yang menjadi luar biasa adalah ketika banyak barisan sakit hati yang masih mempertanyakan kelayakan Fatin untuk menjadi juara ajang lomba ini. Barisan sakit hati itu juga yang kebanyakan menyuarakan masalah berkategori 'jilbabphobia', ketika Fatinistic mampu mengcounter Haters.

Jika 'jilbabphobia' ini terjadi di negara-negara Uni Eropa atau U.S, tentulah bukan hal yang luar biasa. Memang seperti itulah kenyataannya. Penulis juga memiliki banyak pengalaman yang 'tidak menyenangkan' mengenai diskriminasi tutup kepala ini di negeri manca tersebut. Informasi sepihak yang diterima masyarat disana membuat penulis cukup mafhum dan senyum na na na na aja ketika diperlakukan demikian. Tetapi jika 'jilbabphobia' ini malah terjadi di lumbung mayoritas, malah menimbulkan tanda tanya besar.

Ketika Fatin dengan 'identitas' nya mencoba menapaki karier  di dunia tarik suara, malah jilbabya yang heboh dipermasalahkan. Barisan sakit hati itu tetap kekeuh berpendapat bahwa kemenangannya hanya karena 'jilbab' yang akhirnya membuat orang simpati dan mengirimkan sms, lalu menang. Terus  ketika  Fatin dibuli di Kompasiana  dan di counter secara ilmiah oleh Fatinistic, malah dibilang oleh barisan sakit hati itu kalau Fatin sudah di dewa-dewa kan oleh Fatinistic dan dijuluki Fatinmistik atau apalah itu.  Tambah kelihatan lucu dan menggemaskan ternyata membaca tulisan barisan sakit hati yang sudah kehilangan amunisi itu.

Dalam profesi apapun, berprofesi yang mengikuti arus akan lebih sedikit resikonya dibandingkan yang melawan arus. Tantangan melawan 'zona nyaman' memang selalu tidak mengenakkan. Dalam dunia pasar uang dan pasar modal diistilahkan 'high risk high return'.  Namun segala tantangan dan resiko itu bukan berarti 'katakan tidak pada tantangan'. Fatin dengan identitas jilbanya ternyata membuat banyak fihak kebakaran jenggot. Terlebih jika akhirnya nanti Fatin tetap sukses dan eksis berkarya di dunia seni Indonesia dengan tetap Istiqomah pada identitasnya. Tentu akan berbondong-bondong para pemula, anak muda berbakat yang akan mengikuti jejak Fatin dengan tetap membawa identitas aslinya. Gambaran ini ternyata cukup mengkhawatirkan bagi pemain di industri seni tersebut yang hanya bermodal nyali tanpa prestasi.

Terlalu banyak fihak-fihak yang berkepentingan untuk menjegal Fatin dengan identitas 'jilbab' nya untuk tetap eksis diprofesi berazaskan 'kebebasan' ini . Kampanye 'jilbabpobhia' mungkin akan lebih gencar dan dahsyat jika karir Fatin melesat bagai anak panah di industri seni tanah air. Barisan sakit hati itu akan tetap gigih menyuarakan kampanye hitaam itu.  Barisan yang merasa terancam pundi pundi rupiah dan periuk nasinya, dikarenakan mereka-mereka itu menjadi pekerja seni dibelakang layar atau didepan layar hanya bermodalkan pamer kulit, rupa, dada, dan paha, dan cling cling bisa meraup laba.

Fatin sudah dua minggu memenangkan XFI dan kurang lebih enam bulan menjadi pendatang baru di panggung hiburan negeri kita. Fatin juga salah sedikit dari newbie di industri seni yang sedang melawan gencarnya kampanye  'jilbabphobia' disana. Waktu jualah nanti yang akan membuktikan bahwa profesi penyanyi itu yang diandalkan adalah suaranya, dan modal itulah yang akan menjadikan seorang penyanyi disebut 'Diva'.  Dan Fatin dengan dukungan keluarga besar barunya yang bernama Fatinistic itu tengah berjuang untuk membuktikan bahwa seorang penyanyi itu yang dilihat itu 'suara' nya dan bukan 'apa-apa yang menutup kepalanya'. Salam foyyaa...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun