Jadi, siapa yang salah?
Tidak bisa dipungkiri, kita setuju jika yang menerima bantuan sosial adalah mereka yang termasuk ke dalam keluarga yang tidak mampu. Baik secara fisik tempat tinggal dan penghasilan yang pas-pasan. Pemerintah pun menyetujuinya.
Salah satu bukti sebagai bentuk kesetujuan pemerintah adalah dengan mencat rumah penerima bantuan sosial tersebut dengan tulisan "Keluarga Pra Sejahtera: Penerima Bantuan BPNT/PKH". Apa sih tujuan dari bantuan sosial tersebut? PKHÂ adalah program perlindungan sosial yang memberikan bantuan non tunai kepada keluarga yang kurang mampu atau belum sejahtera, di mana program ini dalam jangka pendek bertujuan mengurangi beban rumah tangga miskin dan dalam jangka panjang diharapkan dapat memutus mata rantai kemiskinan antar generasi.
Namun, apakah langkah pemerintah sudah tepat dalam mengungkapkan kesetujuan atas siapa yang menerima bantuan sosial tersebut dengan cara mencat rumah penerima?
Pendapat penulis terkait hal tersebut, yaitu merujuk pada tujuan dicatnya rumah dengan tulisan informasi penerima bantuan sosial, adalah agar bisa mengantisipasi bantuan yang diberikan tidak menyimpang dari jalurnya (Baca: Tepat sasaran).
Hal tersebut bagus, tujuan yang terlihat membela masyarakat yang kurang mampu. Membantu memudahkan mereka yang tak paham alur birokrasi menuju masyarakat yang sejahtera lewat PKH, yang berisi Telur 15 butir, beras kurang lebih 10 Kg, daging seperempat, dan jeruk 8 buah, itu di tempat domisili penulis. Namun, apakah pemerintah tahu isi hati penerima yang betul memiliki kondisi fisik rumah dan penghasilan di bawah kelayakan menerima cap tersebut? Bukankah tujuannya adalah agar tepat sasaran?
Nah, itu kan sudah tepat sasaran, lalu apakah tetap diberikan cap dengan tujuan supaya pemilik rumah bisa menerima bantuan sosial jenis lainnya? Supaya pihak pemerintah tahu mana yang sejahtera dan pra sejahtera? Atau jangan-jangan tujuannya malah merujuk pada hal lain, yaitu sebagai tanda bahwa di rumah tersebut ada masyarakat miskin, sama seperti rumah bagus yang layak huni dan tampak di mata adalah orang yang punya, yang pula ditandai, mungkin. Bukankah label tersebut adalah hukum sosial bagi mereka yang punya, tetapi menerima bantuan sosial tersebut?
Jika seperti itu, maka fungsi data yang disensus oleh Dinas Sosial daerah yang bersangkutan tidak memiliki fungsi dan keefektifitasan dalam menentukan mana yang layak menerima dan mana yang tidak. Sehingga pemerintah perlu memasang cap bercat merah di rumah-rumah penerima bantuan tersebut.
Lalu, salah siapa? Nyatanya, nama-nama orang pemilik rumah layak huni itu ada dan terdata dalam data bantuan sosial tersebut. Siapa yang tidak mau menerima bantuan (gratisan) ketika ada memberikan? (Baca: Masyarakat Pedesaan).
Tak bisa dipungkiri, penulis juga mau diberi gratisan jika ada yang memberikan. Bukankah kita wajib menerima pemberian orang sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap orang tersebut?
Penulis tekankan lagi. Jadi, siapa yang salah, masyarakat atau data pemerintah?
Kalaupun di lapangan banyak ditemukan bantuan yang tidak tepat sasaran, itu bukan salah mereka. Kenapa nama mereka ada dalam data? Penulis sudah tekankan sebelumnya, bahwa siapa yang tidak mau gratisan kalau diberi?