Jika kita mendengar satu kata itu, yang terbayangkan atau terpikirkan adalah sebuah ideologi bangsa Indonesia yang menjadi tombak setelah merdeka.
Di mana pada ujungnya termuat cita-cita, pedoman, gagasan, dan prinsip bangsa Indonesia yang tersingkat dalam lima sila yang telah disusun melalui kesepakatan para pendiri bangsa. Lima sila itu antara lain: Ketuhanan Yang Mahasa Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lima poin yang akan membawa kebanggaan, membawa kesejahteraan, perdamaian, dan membawa kebesaran bangsa Indonesia ketika digaungkan. Seperti kata Ir. Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertaman, bahwa pancasila adalah suatu dasar yang dinamis yang digali dalam ingatan, cipta, khayal dari apa yang terpendam dalam negara Indonesia ini.
Sebagaimana fungsi Pancasila pada umumnya, yaitu sebagai panduan hidup, Â sumber hukum, sumber norma, perjanjian luhur, dan sebagai falsafah hidup bangsa maka Pancasila adalah sebuah hal yang wajib diterapkan dalam kehidupan bernegara bangsa Indonesia. Terutama di kalangan elit, yang mana mereka adalah contoh riil yang dilihat oleh masyarakat di bawahnya. Sebagaimana masyarakat Indonesia yang dominan memerlukan sebuah contoh untuk ikut melakukannya. Jika hanya materi dan kata-kata, saya kira yang akan ada adalah semangat sementara dan hal yang terlupakan kemudian.
Lalu, apakabar Pancasila di era milenial?
Kabar Pancasila tetap seperti sedia kala, ketika saat ia lahir, sakral dan membawa kekaguman bagi pemiliknya. Siapa pemiliknya? Tidak lain adalah bangsa Indonesia. Maka seharusnya pertanyaan yang perlu dilontarkan tentang Pancasila adalah bagaimana. Bagaimana menyesuaikan pemasangan Pancasila itu sendiri dengan generasi milenial? Bukan Pancasilanya yang menyesuaikan.Â
Kita tahu bahwa generasi milenial adalah generasi yang melek akan teknologi, generasi yang memiliki keefisienan waktu dan praktis. Dari sinilah penyesuaian pemasangan Pancasila bisa dimulai, yaitu dengan menggandeng teknologi sebagai pihak penyalur atau penyampai kepada regenerasi yang masih segar. Di mana sebelumnya dikemas sedemikian rupa agar nilai-nilai itu dapat diterima dengan baik tanpa merusaknya atau yang lebih mengerikan adalah menggantinya.
Rasa syukur perlu kita panjatkan kepada Tuhan Yang Mahasa Esa, yang mana telah ikut andil menciptakan ideologi bangsa yang kokoh ini. Kesaktiannya tetap melekat walaupun banyak percobaan dari berbagai sudut pandang untuk melepas dan menanggalkannya. Ini yang perlu dicabut habis hingga ke akar, yaitu paham-paham radikal yang melesat jauh dan bertentangan dengan Pancasila, yang mana sekarang ini telah menyusup, masuk, dan mulai melekatkan diri pada pola pikir beberapa masyarakat. Di sinilah generasi milenial dituntu harus berpikir secara kritis sehingga mampu menyeleksi dan menyaring sebuah paham yang anti Pancasila. Bukan malah menjeburkan diri, menyelami, tetapi tidak kembali lagi untuk mengeringkan.
Kita juga tahu setiap tanggal 01 Juni berbagai instansi dan lembaga berlomba merangkai bahasa sebagai bentuk peringatan yang biasa kita sebut sebagai hari lahir Pancasila. Tetapi, apakah hari lahir Pancasila cukup diperingati dengan setumpuk kutipan, sajak, dan untaian kata lainnya? Saya rasa tidak. Itu hanya sebagai wujud fisik yang fana. Hari lahir Pancasila wajib juga kita peringati dengan kegiatan nonfisik, yaitu sebuah evaluasi. Jangan sampai kalimat "Pancasila berada dalam krisis ideologi" semakin menyebar dan mengontaminasi lebih banyak, yang akan menyebabkan adanya indikasi kematian Pancasila.