Di sebuah desa terpencil bernama Sukagalih, ada sebuah keanehan yang tidak pernah bisa dijelaskan oleh siapa pun: desa itu tidak pernah memiliki langit. Bukan berarti benar-benar gelap, tapi ketika orang-orang di sana mendongak, yang mereka lihat hanyalah kabut tebal dan kelabu, seolah langit telah hilang entah ke mana.
Namun, meskipun tanpa langit, hujan selalu datang. Kadang rintik, kadang deras. Orang-orang desa sudah terbiasa hidup dalam dunia kelabu itu, bercocok tanam di bawah kabut yang melindungi mereka dari terik matahari, dan tidur dengan irama rintik hujan.
Di desa itu, ada seorang pemuda bernama Jaka. Ia terkenal karena keberanian dan keinginannya yang besar untuk menemukan langit. Sejak kecil, Jaka selalu merasa ada sesuatu yang hilang dari hidupnya. Setiap malam ia duduk di tepi sungai, menatap ke arah kabut yang tak pernah berubah, bertanya-tanya seperti apa rasanya melihat langit biru seperti yang sering ia dengar dari cerita para tetua.
Suatu hari, seorang pengembara datang ke desa itu. Ia membawa kabar dari dunia luar, cerita tentang langit biru, awan putih, dan pelangi setelah hujan. Orang-orang desa mendengarkan dengan kagum, tapi mereka sudah puas dengan kehidupan di bawah kabut. Hanya Jaka yang merasa hatinya terbakar mendengar cerita itu.
"Apakah kau tahu jalan menuju langit?" tanya Jaka dengan penuh harap.
Pengembara itu tersenyum. "Langit ada di luar desa ini, tapi untuk menemukannya, kau harus melewati Hutan Kabut Gelap. Tak banyak yang berhasil keluar dari sana."
Jaka tahu bahwa Hutan Kabut Gelap adalah tempat yang ditakuti oleh penduduk desa. Banyak yang masuk ke sana dan tidak pernah kembali. Namun, ia tidak gentar. Ia memutuskan untuk berangkat.
Perjalanan ke Hutan Kabut Gelap
Keesokan harinya, Jaka mempersiapkan bekal seadanya. Beberapa penduduk desa mencoba mencegahnya, termasuk ibunya.
"Jaka, jangan pergi. Hutan itu terlalu berbahaya. Kita tidak butuh langit. Hujan sudah cukup untuk kita," kata ibunya sambil menangis.
Namun, Jaka hanya tersenyum. "Ibu, bagaimana aku tahu kita tidak membutuhkan langit kalau aku bahkan belum pernah melihatnya?"
Dengan langkah mantap, Jaka memasuki Hutan Kabut Gelap. Di dalamnya, ia merasa seperti berada di dunia lain. Pepohonan besar dengan akar-akar yang menjulur seperti ular menghalangi jalannya. Kabut tebal membuatnya sulit melihat lebih dari beberapa meter di depan.