Mohon tunggu...
Nimas Matuhatul Firdausa
Nimas Matuhatul Firdausa Mohon Tunggu... -

aku bukanlah sorang yang pandai berkata. bukanlah orang yang pandai menulskan kata-kata indah diatas sebuah kertas adaupun menghentakkan jemari diatas keyboard. yang aku tahu aku ingin semua mengenalku karena tulisanku... salam kenal.....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepucuk Surat di Atas Meja Ukir

16 Juni 2013   10:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:57 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nafas masa itu masih terasa aromanya.... khas pencampuran antara tumbuakan kacang yang diulek bersama cabe dan garam... entah bumbu apa yang lain... tapi rasanya sangat berbeda dengan yang aku temui di warung-warung.

Kami duduk bersila didepan sebuah tampah bundar yang terbuat dari anyaman bambu, kemudian kami serbu hingga yang tersisa hanyalah bekas cap tangan-tangan kecil.

“mudah-mudahan kita jodoh ya... “ itulah pesan yang muncul dilayar handphone setelah 17 tahun kejadian makan bersama dalam satu tampah.

Lamunanku seketika buyar. Tanganku kaku tapi masih mampu membalas pesan singkat yang baru kubuka “ amin”.

Dia adalah teman masa kecilku. Dialah yang buat hariku penuh senyuman. Tapi kali ini aku tak tahu, hal ini buatku tak nyaman. Dia menghilang sejak 10 tahun yang lalu, tanpa kabar ataupun berita dia dimana. Tapi seminggu yang lalu dia minta jumpa langsung dengan kawan kecilnya yang sudah dewasa ini.

Sore itupun kujumpai dia, dengan kemeja warna abu-abu andalannya. Oh bukan... dia bukan kawan kecilku, dia.. ya dia adalah kawanku waktu kuliah dulu. Pesonanya masih mampu menggetarkan hatiku yang dulu pernah membuat aku mati gaya, walaupun tak pernah terungkap.

“gimana kabarmu? Kudengar minggu depan kau show”

“ya. Kau akan datang?”

“tentu. Kau ada waktu? Aku ingin makan. Kau bisa temaniku?” seperti biasa dia berbicara singkat dengan nada yang aku rindukan.

Kepalaku masih sama sekali pusing ketika aku ingat apa yang aku dengar dari teman masa kuliahku dulu. Dia memintaku untuk jumpa ayah ibunya, dan tentu saja itu hal yang serius. Dan aku memang masih sama sekali memendam perasaan padanya.

Tapi bagimana dengan kawan masa kecilku?aku tak tahu harus bilang apa. Hari ini pula dia kirimkan pesan singkat “ILU. Kau mau kan jadi yang terakhir?”. Aku tak pernah menangis bersamanya. Hanya ada tawa.

Gemerlap panggung sma sekali tak membuat aku lupa kejadian malam tadi. Hari ini fashion show untuk busana hasil rancanganku. Gugup. Sama sekali gugup menguasai seluruh tubuhku.

“irma. Mereka berdua datang kesini.” Tania, seorang teman curhatku memberitahukan kehadiran ian, teman masa kecilku dan rio, kawan kampusku dulu.

“okeyy tak apa.All is well” kataku berusaha menguasai diri

­­­­­­“kamu harus tegas ma.” Tania hari itu datangi rumah kontrakanku

“ besok aku akan ke paris. Mereka berdua layak bahagia bersama yang lain”

“apa maksudmu? Kau malah akan pergi. Lari dari kenyataan?”

“hmmm............”

“kau dimana ma?”

“aku sudah dibandara”

______terlambat sudah lepas landas_______

Sepucuk surat diatas meja ukir

Kawanku tania, maaf ketika kau sadari kau tak akan melihatku lagi. Aku ke paris bukan untuk lari. Tapi aku akan mati disana. Hari ini show terakhirku. Dan kau tahu sendiri. Aku sudah stadium akhir. Sampaikan maafku pada ian dan rio... mereka sahabat terbaikku. Tapi kaulah yang terbaik....

Sahabatmu

irma

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun