Beberapa waktu yang lalu berita tentang tertangkapnya ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar terkait kasus suap sengketa pilkada Lebak, Seiring berjalannya kasus ini pun mencuat nama Tb Chaerul Wardana (Wawan) suami dari Airin Rachmi Diany yang tidak lain adalah Wali Kota Tangerang Selatan, Banten. Tb Chaerul Wardana atau wawan adalah adik kandung dari Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Wawan ditetapkan sebagai tersangka bersama Akil karena diduga memberi suap Rp 1 miliar kepada sang ketua MK.
Bermula dari dari kisruh suap pilkada ini menyeret nama besar Gubernur Banten, yaitu Ratu Atut Chosiyah. Atut diduga memerintahkan memberikan suap kepada koleganya dipartai Golkar yaitu Akil Mochtar yang menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi untuk memenangkan calon kepala daerah yang diusungnya di Kab Lebak.
Untuk menelisik keterlibatan orang nomor satu di provinsi Banten ini, KPK melakukan penyidikan dengan menggeledah kantor Tb Chaerul Wardana.Dari hasil penggeledahan di kantor tersebut memunculkan dugaan-dugaan korupsi di pemerintahan Banten yang dipimpin oleh Atut. Walaupun dalam kasus Akil ini posisi Atut masih sebagai saksi, namun tidak pelak menimbulkan dugaan-dugaan tindak korupsi yang terjadi di Banten selama Atut memimpin propinsi ke 36 ini. Berbagai dugaan korupsi tersebut antara lain terkait penggunaana dana hibah senilai 340, 46 miliar, penyalahguanaan APBD, penggelembungan dana proyek, penyimpangan pengadaaan alat kesehatan dan sebagainya.
Dugaan korupsi di Banten terlihat masif , berbagai proyek – proyek pembangunan di wilayah Banten tidak berjalan dengan baik. Pelaksanaan kegiatan proyek dimenangkan oleh perusahaan-perusahaan yang masih berafiliasi dengan kekuasaan di Banten. Sementara itu pengawasan oleh lembaga pengawas terasa mandul. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang juga bertugas sebagai pengawas pelaksanaan anggaran belanja daerah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. DPRD juga ikut melanggenggkan terjadinya korupsi dan nepotisme dengan merestui APBD tiap tahun tanpa ada koreksi berarti.
Bagaimana hal ini terus terjadi di propinsi Banten yang secara geografis mempunyai posisi sangat stategis? Tidak dapat dipungkiri sebagian besar angggota dewan daerah dan pemangku kekuasaan politk di wilayah ini dikuasai oleh kerabat dan kroni sang Gubernur. Sehingga memuncul politik dinasti dengan puncak piramida pada Gubernur Rt. Atut Chosiah. Politik dinasti inilah yang menyebabkan terjadinya “ewuh pekewuh” dalam pergaulan politik, sehingga melanggengkan kekuasan walaupun berjalan melenceng dari koridor yang benar.
Politik dinasti secara teoritik sah-sah saja, jika lebih dari satu anggota keluarga sama-sama terjun dalam kancah politik, seperti menjadi pengurus parpol, menjadi anggota legislatif, menduduki jabatan politik di suatu daerah dan sebagianya. Namun iu semua didasarkan pada kapabilitas dan kompetensi serta dipercaya oleh rakyat. Sayangnya tidak dalam praktik, yang terjadi politik dinasti hanya digunakan untuk melanggengkan kekuasaan dan memperkaya diri sendiri maupun keluarganya.
Begitupun dinasti politik yang dibangun oleh Atut dan keluarganya dinilai telah menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya keluarga dan kroninya. Keluaraga Atut telah mendominasi peta politik di propinsi Banten. Kekuasaan dinasti Atut menguasai empat wilayah kabupaten/ kota di Banten, yaitu Walikota Tangerang Selatan (adik ipar), Walikota Serang (adik tiri), Wakil Bupati Serang (adik kandung), dan Wakil Bupati Pandeglang (ibu tiri).
Dengan kekuasaan politk di wilayah kabupaten/kota, praktis tender proyek – proyek yang mengalir di daerah kabupaten/kota dimungkinkan untuk dikuasai/dimenangkan. Tak tanggung-tanggung, ICW mengatakan Atut menguasai sekitar 175 proyek pengadaan barang atau jasa di Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan Pemerintah Provinsi Banten. Hal ini tentu dapat dengan mudah dilakukan mengingat banyaknya perusahaan yang dikuasai baik langsung maupun tidak oleh keluarga Atut. proyek-proyek daerah yang seharusnya menjadi hal yang menyejahterakan rakyat malah semakin menyengsarakan rakyat. Hal ini bisa dilihat dari betapa kontrasnya kehidupan mewah dan glamour petinggi daerah Banten dengan kehidupan yang serba susah masyarakat Banten terutama yang berada di daerah pelosok, jalan-jalan yang rusak, sarana kota dan transportasi yang jauh dari kata layak.
Dinasti politik pada hakikatnya diperbolehkan karena setiap warga negara mempunyai hak berpolitik baik itu memilih ataupun dipilih. Begitupun dengan Atut dan keluarganya. Namun dinasti politik yang dibangun Atut sudah tidak berkualitas karena kaderisasi cenderung dipaksakan dan tidak melalui seleksi jadi tidak melihat kualitas dan kemampuannya. Proses politik yang seperti ini jelas merusak tatanan demokrasi.
Jadi yang perlu diperhatikan disini bukan hanya tentang dinastinya tapi bagaimana proses kompetisinya dan tahapan kaderisasi, jangan karena mempunyai hubungan kekerabatan maka bisa menduduki jabatan dengan mudah. Selain itu peran masyarakat dalam memilih juga sangat menentukan hasil akhirnya, sebagian masyarakat tidak memperhatikan latar belakang orang yang dipilihnya melainkan hanya berorientasi pada money politiknya saja karena biasanya rakyat terlalu terbuai dengan nilai uang yang akan didapatnya dari calon tersebut.
Selain itu profesionalitas dalam bekerja juga sangat dibutuhkan dalam berbagai bidang pekerjaan apalagi dalam politik. Banyak cara yang dilakukan para politikus untuk memeperoleh kekuasaan, baik dengan cara halal maupun menghalalkan segala cara. Contohnya nepotisme, pengangkatan anggota keluarga atau kerabat untuk menduduki jabatan strategis dalam suatu kekuasaan.
Kalau saudara atau kerabat dari para pejabat tersebut ingin mencalonkan diri itu sah-sah saja. Karena negara ini merupakan berlandaskan asas demokrasi, siapapun mempunyai hak untuk berpartisipasi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap politik Indonesia. Tetapi itupun tidak semena-mena harus ada batasan yang jelas misalnya hanya boleh bapak, ibu, anak, suami dan istri yang boleh mencalonkan diri selebihnya hanya berpartisipai secara tidak langsung. Batasan itu harus dibuat agar lebih mudah melakukan pengawasan karena jika semua posisi strategis dipegang oleh satu keluarga maka aliran keuanganpun akan rancu dan pasti tidak akan terjadi tranparansi.
Selain itu karena negara ini negara hukum maka perlu adanya UU yang mengatur tentang dinasti politik ini, baik itu meniadakan atau sekedar membatasinya. Karena jika tidak ada maka tidak bisa diambil tindakan tegas terhadap oknumnya, mereka akan bersembunyi dibalik lemahnya hukum yang mengatur dinasti politik ini.
Fenomena ini sudah sangat jelas mengganggu, sistem politik yang demikian cepat atau lambat akan membuat masyarakat gerah karena dalam dinasti politik yang negatif ini syarat dengan munculnya KKN. Pengangkatan seseorang berdasarkan sistem kekerabatan bukan karena kemampuannya menyebabkan munculnya pemimpin yang minim kualitas.
Banyak modus yang dapat digunakan seseorang untuk melakukan korupsi dan salah satunya adalah dengan memperbanyak kaderisasi kekeluargaan dengan begitu mereka bisa memanipulasi data-data intern dan menghambat transparasi masalah. Sebeneranya dinasti politik atau politik kekerabat adalah bahasa halus dari nepotisme.
Maka dari itu persoalan ini tentunya bukan hanya semata sebagai permasalahan pemerintah saja melainkan menjadi permasalahan dari semua lapisan masyarakat khususnya para aktivis dan organisasi-organisasi kemasyarakatan. Masyarakat diharuskan membuka mata terhadap apa yang terjadi dengan bangsa kita dan menelaahnya, selain itu masyarakat juga diharuskan melek politik agar tidak mudah dibodohi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan money politik dan semacamnya. Khususnya untuk kalangan masyarakat ekonomi bawah dan kurang mendapatkan pendidikan, mereka harus diberi sosisalisasi khusus mengenai politik dan hal-hal yang melingkupinya agar mereka sadar dan tahu apa yang baik untuk mereka lakukan dan dikehidupan kedepannya bagi kesejahteraan hidup mereka.
Dengan munculnya fenomena politik yang seperti ini kita sebagai masyarakat dituntut untuk kritis dalam memilih pemimpin. Tentunya sebagai masyarakat kita tidak ingin terus-menerus terlarut dalam lubang kesengsaraan yang dibuat oleh pemimpin kita sendiri bukan? Maka dari itu kita sebagai bagian dari negara ini harus pro terhadap politik Indonesia. Pepatah mengatakan “bangsa yang baik dilihat dari moralitas pemimpinnya yang baik”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H