Mohon tunggu...
niluhwayanyasmiati
niluhwayanyasmiati Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Dosen PNS di Program Studi Ilmu Hukum Universitas Pandidikan Ganesha, Singaraja, Bali, Indonesia. Saat ini sedang menempuh pendidikan doktoral di Program Studi Ilmu Pendidikan, Program Pascasarjana, Universitas Pendidikan Ganesha (UNDIKSHA).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru sebagai Profesi yang Serba Salah: Mencetak Generasi Emas di Era Penuh Kecemasan

26 November 2024   22:40 Diperbarui: 26 November 2024   23:01 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ni Luh Wayan Yasmiati, S.H., M.Pd. bersama mahasiswa (Sumber: Dokumen pribadi Ni Luh Wayan Yasmiati)

Dulu, di tahun 1960-an sampai 1990-an, guru di Indonesia sangat dihormati. Bahkan Malaysia, negara tetangga Indonesia, sampai meminta guru-guru di Indonesia mengajar di negara mereka karena pada saat itu pendidikan di Indonesia lebih maju dibandingkan dengan Malaysia. Meski di kala itu guru masih belum diakui secara legal sebagai sebuah profesi, masyarakat sangat menghormati dan mengagumi sosok seorang guru. Sehingga, saat itu guru dikenal sebagai seseorang yang patut digugu dan ditiru. Guru adalah sosok yang sangat dipercaya dan dianggap sebagai role model oleh masyarakat. Oleh sebab itu, apabila ada seorang siswa dimarahi oleh seorang guru di sekolah, maka orang tua siswa tersebut juga akan memarahi anak mereka di rumah. Orang tua pada saat itu sangat yakin bahwa apabila seorang guru memarahi siswa, pasti siswa tersebut melakukan hal yang tidak baik. Begitu pula dengan siswa. Di era tersebut, tidak ada siswa yang meremehkan guru mereka.

Sayangnya, kini, di saat guru telah diakui sebagai sebuah profesi melalui Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005, dengan diberlakukannya sertifikasi guru, malah kehormatan guru semakin menurun. Guru tidak lagi dihormati seperti dulu. Bahkan sering kali, karena guru menegur, menasihati, dan mendisiplinkan siswa, mereka harus berurusan dengan pihak berwajib. Seperti kasus guru Supriyani, seorang guru honorer SDN 4 Baito, yang dipolisikan karena menegur siswa yang nakal. Kasus lainnya dialami oleh guru Zaharman, seorang guru SMA di Bengkulu, yang dipolisikan dan diketapel oleh orang tua siswa karena menegur siswanya yang merokok di kantin. Meskipun tindakan yang dilakukan oleh guru tersebut didasari alasan untuk mendidik dan mendisiplinkan, kedua guru tetap harus menjalani proses hukum. Kondisi tersebut membuat banyak guru kini enggan untuk menegur siswa meski melihat secara langsung siswa tersebut melakukan pelanggaran atau tindakan yang tidak baik.

Jika dipahami, peran guru tidak hanya sebagai pengajar tetapi juga pendidik. Apabila mengajar lebih berfokus pada peningkatan kemampuan kognitif, maka mendidik lebih pada aspek afektif. Secara sederhana, dapat disampaikan bahwa mengajar bertujuan untuk membuat siswa menjadi pintar, sedangkan mendidik bertujuan untuk membuat siswa menjadi bermoral. Sehingga, jika guru menegur siswa ketika siswa tersebut berperilaku tidak baik, maka proses tersebut sebenarnya adalah proses mendidik. Sangat disayangkan apabila kegiatan mendidik tersebut harus berujung pada proses hukum. Terlebih lagi, baru-baru ini banyak video viral yang memperlihatkan guru-guru mulai takut menegur perilaku buruk siswa karena takut terjerat hukum.

Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Jika kita lihat kembali fungsi pendidikan nasional, hal tersebut bertentangan dengan fungsi pendidikan nasional yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3, yakni pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada pasal tersebut secara jelas tersurat pembentukan watak bangsa. Seperti yang telah kita ketahui bersama, sampai saat ini permasalahan utama bangsa kita adalah permasalahan moral. Dengan kata lain, kriminalisasi tindakan mendidik oleh guru akan menjadikan pendidikan gagal menjalankan fungsinya untuk membentuk bangsa yang bermoral.

Lebih lanjut, melihat kondisi guru saat ini yang penuh dengan kecemasan, banyak calon guru, yakni mahasiswa jurusan kependidikan, mulai waswas dengan masa depan mereka. Banyak yang mulai berpikir bahwa mereka tidak ingin menjadi guru. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi apabila sebuah negara kekurangan guru. Pendidikan tidak akan bisa berjalan dengan maksimal tanpa adanya guru, karena guru merupakan instrumen utama dalam pelaksanaan pendidikan. Meski telah tersedia berbagai fasilitas yang dapat memudahkan siswa memperoleh informasi, seperti keberadaan berbagai aplikasi berbasis artificial intelligence (AI), berbagai kajian telah mengklaim bahwa posisi guru dalam proses pendidikan tidak akan bisa sepenuhnya tergantikan oleh AI.

Menyikapi kondisi tersebut, perlu dilakukan upaya dari berbagai pihak untuk menyelamatkan profesi guru demi masa depan bangsa. Jangan sampai Indonesia Emas 2045 menjadi Indonesia Cemas karena dunia pendidikan di Indonesia carut-marut akibat proses pendidikan yang tersandera ketakutan guru dalam mendidik siswa. Sekolah seharusnya menjadi tempat untuk membentuk aspek kognitif, afektif, dan psikomotor siswa. Dalam prosesnya, perlu ada aturan yang harus diikuti. Peraturan sekolah seharusnya menjadi kesepakatan bersama antara guru dan orang tua siswa. Komite sekolah sebagai perwakilan orang tua dan wali siswa harus berperan aktif untuk ikut menyusun, menyosialisasikan, dan menegakkan aturan sekolah. Sanksi untuk setiap pelanggaran aturan tersebut harus menjadi kesepakatan antara guru, siswa, dan orang tua. Selain itu, guru juga perlu mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas mereka sebagai pendidik, utamanya dalam menegakkan kedisiplinan siswa. Sehingga, regulasi dalam bentuk undang-undang perlindungan guru menjadi hal yang mendesak untuk segera direalisasikan.

Dalam menghadapi era penuh kecemasan ini, sudah saatnya kita semua, baik itu guru, orang tua, siswa, pemerintah, dan masyarakat harus berjalan beriringan untuk memulihkan kehormatan profesi guru dan memastikan pendidikan mampu mencetak generasi emas yang berkarakter. Guru bukanlah musuh, melainkan mitra yang berjuang tanpa henti untuk masa depan bangsa. Dukungan dalam bentuk perlindungan hukum, regulasi yang adil, serta kerja sama antara sekolah dan keluarga adalah langkah awal yang harus kita ambil. Jangan biarkan rasa takut menghalangi para guru dalam menjalankan tugas mulianya sebagai pendidik. Mari wujudkan Indonesia Emas 2045 dengan pendidikan yang bermartabat, di mana guru dihormati, siswa dibimbing dengan bijaksana, dan moral bangsa kembali tegak. Masa depan Indonesia ada di tangan kita semua, dan pendidikan adalah kunci utama untuk mencapainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun