Mohon tunggu...
Nilna R. Isna
Nilna R. Isna Mohon Tunggu... -

Dikenal dengan nama Nilna R. Isna. Lahir di Padang, 31 Mei 1989. Memiliki punya hobi wajib membaca dan sering mengakhiri kegiatan dengan menulis. Berkuliah di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas, Padang. Selama kuliah, mengawali aktualiasi dengan menulis artikel, berita, puisi, dan cerpen di berbagai media massa. Tahun 2009 menjadi Ketua HIMA PSIKM FK UNAND. Tahun 2010 terpilih sebagai Koordinator Wilayah I (Sumatera) Ikatan Senat Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia. Tahun 2011, terpilih sebagai Sekjend Ikatan Senat Masyarakat Indonesia (ISMKMI) yang merupakan pelaksana harian tertinggi di tingkat Nasional untuk mahasiswa Kesehatan Masyarakat se-Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Plat Motor Pak Haji Guru

27 Agustus 2012   16:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:15 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen Nilna R. Isna

Pak Haji Guru sungguh benci dengan guyonan lokal yang sedang ngetrend di kompleknya. Guyonan itu tak lain datang dari Udin yang baru pulang merantau dari kota. Udin menebarkan virus ‘kota’nya kepada pemuda-pemuda sebayanya. Tak ayal, hampir semua muda-mudi kampung mengikut gaya trendy Udin. Membuat Pak Haji Guru benci sejadi-jadinya.

Gaya trendy Udin itu tak lain tak bukan hanyalah tentang sebuah singkatan. Singkatan itu pun datangnya hanya dari dua buah huruf yang biasa ditulis di belakang nomor polisi atau plat sepeda motor. Kini, akibat virus dari Udin itu, orang-orang kampung jadi waspada terhadap nomor plat motor atau mobil mereka.

BA 1714 SR adalah nomor polisi sepeda motor skutermatik milik Herlina yang jadi bulan-bulanan pertama, korban Udin. Herlina yang bisa dibilang kecentilan senang berkeliling kampung menggunakan skutermatiknya. Kadang ia sendiri, kadang membonceng teman perempuan, dan sering sekali berboncengan bersama teman lelakinya. Jika sudah bersama teman lelakinya, maka Herlina yang dibonceng. Hampir tiap hari Herlina keliling kampung terutama bila senja-senja hari, baik dari arah rumahnya maupun menuju rumahnya. Jika hari Minggu, Herlina sudah standby di depan pagar dengan sepeda motornya menunggu seseorang, lelaki, mungkin kekasihnya, untuk kemudian dibonceng oleh kekasihnya itu.

Jika hari kerja, Herlina hanya bisa memakai sepeda motor jika sudah lewat zuhur. Setelah diusut, ternyata sepeda motor itu tak murni punya Herlina, tapi punya bapaknya. Maka dari itu, Herlina hanya bisa memakai sepeda motor itu sepenuh hari di hari Minggu dan setengah hari di hari kerja.

Namun, bukan Herlina yang menjadi permasalahan melainkan sepeda motornya itu. Kalau dibaca lagi cerita di atas, kita bisa tahu bahwa ternyata si sepeda motor skutermatik milik bersama keluarga Herlina tak pernah berdiam lama di rumah. Sebentar saja si Motor itu beristirahat setelah dibawa Bapak Herlina, ia sudah harus melaju lagi bersama Herlina. Alhasil, sepeda motor itu selalu saja raun kemana-mana setiap harinya.

Bagi Udin dan kawan-kawan, kisah sepeda motor itu menjadi menarik. Kemudian, tanpa minta izin dahulu pada siapapun, Udin dan kawan-kawan melabeli sepeda motor itu dengan “Motor SR alias Motor Senang Raun”.

Tentu saja “SR” ini diambil dari dua huruf terakhir pada nomor plat sepeda motor Herlina. Hingga, terkenallah sepeda motor Herlina ke seantero kampung sebagai si SR.

Mirip dengan Herlina, kasus yang sama menimpa Pak Burhan, ketua RT kampung ini. Pak Burhan punya sepeda motor jenis kap yang bernomor polisi BA 4146 JD. Sepeda motor Pak Burhan ini dinamai Udin sebagai “si Jarang Di rumah”. Nama ini sungguh mewakili nasib sang sepeda motor.

Pasalnya, banyak warga yang ingin menjumpai Pak RT untuk meminta tanda tangan. Akan tetapi, Pak RT sungguh jarang sekali berada di rumah. Padahal, aka nada banyak surat yang harus ditanda-tangani pak RT. Satu di antara surat yang paling mendesak itu adalah surat izin menikah.

Khusus untuk warga di kampung ini, harus jauh-jauh hari sebelum tanggal menikah mengajukan surat kepada Pak Burhan. Ini karena, selain Pak Burhan jarang “tertangkap basah” berada di rumah, juga karena orang rumah Pak Burhan pelupa tak alang kepalang. Bahkan ada satu cerita yang mengatakan surat izin menikah itu menginap di rumah Pak Burhan selama tiga bulan. Angka yang sudah tidak rasional lagi.

Ditelisik, rupanya surat yang menginap tiga bulan itu karena orang rumah Pak Burhan tak ingat pernah ada orang yang meminta tanda tangan suaminya. Ketika itu, istri Pak Burhan sedang membongkar baju-baju lama anak sulungnya untuk dipakaikan lagi kepada anak bungsunya. Begitu ia menerima surat, lalu anaknya yang paling bungsu berumur 3 tahun menangis, ia tinggalkan surat itu bersamaan dengan tumpukan baju-baju lama itu.

Esoknya, ketika sang peminta tanda tangan datang lagi ke rumah Pak Burhan, orang rumahnya beralasan surat itu belum ditandatangani karena suaminya sibuk hingga tak sempat tanda tangan. Padahal, surat itu sudah hilang.

Esoknya, orang yang meminta tanda tangan itu datang lagi, alasan istri Pak Burhan sama dengan kemarin. Esoknya lagi, sang peminta tanda tangan datang kembali menagih suratnya, istri Pak Burhan masih berasalasan sama. Kemudian tiga hari berikutnya, pemuda yang akan menikah dan meminta tanda tangan Pak RT itu kembali ke rumah Pak Burhan, masih dengan tujuan menagih suratnya. Kali ini orang rumah Pak Burhan mengaku lupa tapi ia sumringah. Ia salahkan mengapa tak datang dua hari yang lalu karena dua hari yang lalu itu Pak Burhan seharian ada di rumah. Sekarang Pak Burhan sedang tugas keluar kota selama seminggu.

Sang peminta tanda tangan surat izin menikah itu gondok bukan main. Ia memasang tampang kesal. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan istri Pak Burhan yang memajang wajah sumringah penuh kemenangan. Sang peminta tanda tangan yang akan menikah lagi itu pun tak balik-balik menjemput suratnya. Sampai tiga bulan berikutnya, istri Pak Burhan menemukan surat itu kembali di lemari pakaian lama anak sulungnya.

Begitu ia menemukan surat, diserahkan pada suaminya yang super sibuk yang sama sekali tak mengecek isi suratnya. Selepas suaminya pergi ke kantor, istri Pak Burhan datang ke rumah sang peminta tanda tangan yang lalu itu. Sesampai di rumah orang yang dimaksud, setelah mengucapkan ‘Assalamualaikum’, istri Pak Burhan tanpa rasa bersalah berkata, “Ini surat izin menikahnya. Kenapa tidak dijemput-jemput. Ini karena saya prihatin anak ibu tak jadi menikah, maka saya antarkan surat ini.”

Si ibu yang diajak bicara oleh istri Pak Burhan menerima surat itu. Akan tetapi, istri Pak Burhan tak tahu, bahwa yang diajak bicara itu adalah ibu mertua sang peminta tanda tangan tiga bulan yang lalu itu. Entah bagaimana caranya ia berhasil menikah tanpa tanda tangan Pak Burhan. Tapi yang jelas Pak Burhan beserta keluarganya yang super sibuk dan extrovert itu tak diundang dalam pernikahan pasangan baru itu.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman itulah, warga kampung ini hanya akan meminta tanda tangan jika Pak Burhan ada di rumah. Pertanda Pak Burhan ada di rumah adalah sepeda motor yang diparkir di depan rumahnya. Jika sepeda motor itu ada, maka Pak Burhan ada di rumah, maka saat itulah warga bisa dengan sukses dan selamat mendapatkan tanda tangan Pak Burhan.

Lain Herlina dan Pak Burhan, lain pula Ustadz Ramli. Ustadz Ramli punya motor berdasarkan hadiah pemerintah daerah sebagai garin teladan se-kota. Ustadz Ramli sebenarnya perantau dari kota lain yang senang bertualang berpindah-pindah mesjid atau mushalla. Cuma di Masjid kampung inilah Ustadz Ramli bertahan hingga delapan tahun. Akan tetapi prediket teladan ini bukan karena lamanya ia menjadi garin di kampung ini tapi karena memang sifat-sifat beliau yang patut diteladani. Ustadz Ramli seorang alim yang cerdas dan punya banyak skill. Ia tak hanya pandai mengaji, menjadi imam, dan membawakan ceramah tapi juga pandai memperbaiki listrik yang koslet, mengecat rumah, memperbaiki atap rumah yang bocor, memperbaiki televisi yang rusak, sampai pandai menyanyi. Akan tetapi bukan pula karena pandai memperbaiki atap rumah yang bocor itulah Ustadz Ramli menjadi teladan melainkan karena Ustadz Ramil meraih nilai paling tinggi pada tes tulis untuk garin se-kota itu. Keahlian lainnya hanya sebagai pendamping kehebatan Ustadz Ramli.

Hadiah dari lomba garin teladan se-kota itu adalah sebuah sepeda motor. Sepeda motor itu kemudian mendapatkn nomor polisi BA 4052 JG. “JG” cocok sekali dengan sejarahnya, singakatan itu dipanjangkan oleh Udin dan kawan-kawan menjadi “Jatah Garin”. Benar-benar sesuai dengan asal mulanya.

Dan dari semua korban Udin dan kawan-kawan, Pak Haji Guru lah yang paling membenci kelompok muda mudi pemberi nama panjang plat motor ini. Pak Haji Guru adalah guru SMA Udin. Udin adalah murid paling bandel di mata Pak Haji Guru. Dari seluruh murid bandel yang membuat dada Pak Haji Guru naik turun, Udin lah yang menempati urutan teratas. Akan tetapi, entah nasib baik darimana, hanya Udin lah yang lulus diterima di salah satu pendidikan D3 di pusat kota. Sesuatu yang teramat mustahil bagi Pak Haji Guru.

Setamat Udin dari studi D3-nya, Udin kembali ke kampung, berbaur lagi dengan teman-teman berandal SMA-nya. Kemudian membentuk genk pemberi nama panjang plat sepeda motor. Pak Haji Guru semakin menjadi-jadi kekesalannya terhadap Udin.

Dulunya, Pak Haji Guru hanya dipanggil Pak Guru. Setelah beliau naik haji, label haji melekat di belakang panggilannya. Sehingga dipanggil Pak Haji Guru. Tapi, meskipun sudah Haji dendamnya pada anak-anak bandel dan berandal tak hilang-hilang. Rupanya sifat Pak Haji Guru ini berimbas balik pada dirinya. Anak-anak bandel dan berandal, mantan muridnya itu, tak kalah dendamnya pada Pak Haji Guru.

Sebulan yang lalu, Pak Haji Guru membeli sepeda motor. Sepeda motor itu jenis keluaran terbaru. Berhubung baru dan disebut-sebut paling mahal harganya, Pak Haji Guru bangga sekali dengan sepeda motornya itu. Kebanggaannya lama-lama menjadi ria. Teman-teman sejawatnya jadi tak suka padanya karena dari hari ke hari Pak Haji Guru hanya menceritakan tentang kehebatan dan kemahalan sepeda motornya.

Obrolan kawan-kawan sejawat Pak Haji Guru sampai ke telinga Udin. Udin yang dari dulu juga tak suka pada Pak Haji Guru yang sok-sokan, ingin tahu bagaimana pula rupa dan bentuk sepeda motor yang dibangga-banggakan Pak Haji Guru.

Hingga suatu hari, Udin menemukan sepeda motor Pak Haji Guru yang diparkir sembarangan di halaman rumahnya sewaktu Udin sedang asyik makan gorengan di depan rumah Pak Haji Guru.

BA 8951 JK. “JK” Udin berpikir keras mencari-cari kepanjangan huruf JK. Pokoknya kepanjangan ini harus logis dan mudah dipercayai masyarakat. Dua hari dua malam Udin memikirkan kepanjangan JK. Udin sengaja tak memberi tahu kawan-kawannya mengenai proyek barunya ini. Biar jadi surprise dan menimbulkan kontroversial nantinya.

Dua hari dua malam berlalu dan tercetuslah ide cemerlang Udin. Kali ini, Udin tak pakai data akurat. Ia hanya ingin mengembangkan gossip saja di kalangan masyarakat kampung. Pagi-pagi sekali, Udin datang ke warung lontong, mencari lowongan untuk dapat menebarkan gosip. Setelah lontong dibungkus, ketika Udin membayar uang beli lontongnya, Udin berbisik, “Ni, tau ndak Ni, apa kepanjangan JK?” Uni penjual lontong geleng-geleng kepala. JK yang ia tahu hanyalah Jusuf Kalla, ia tak kreatif mencari kepanjangan seperti Udin.

Udin menjentikkan jarinya bahagia. Lalu, dengan suara yang ditekankan, Udin bersabda, “JK itu Jasa Koperasi.” Kemudian, dengan suara yang kembali dilunakkan, Udin menyampaikan argumennya kepada Uni penjual lontong dengan sangat logis dan mudah diterima masyarakat. “Jadi Uni, tiap tahun itu, ada sepeda motor yang dijual murah kepada anggota koperasi. Pak Burhan itu kan anggota koperasi.” Uni penjual lontong mengangguk-angguk.

Udin pulang ke rumah. Uni penjual lontong yang kebetulan tidak sekolah dan mudah sekali menerima omongan orang lain serta sering salah menyebutkan istilah, menyebarkan kalimat Udin dengan semacam system pesan berantai.

Jika dalam pesan berantai kesalahan kata terjadi pada pertengahan, maka pada sistem yang dimulai dari Uni penjual lontong yang berdasar pada kalimat Udin ini, kesalahan terletak di awal yakni pada Uni itu sendiri.

Uni penjual lontong, langsung duduk di depan salah satu pelanggannya, berkata dengan nada mistis, “Ternyata Pak Burhan itu anggota korupsi. Sepeda motornya itu karena korupsi. Kan mereknya “JK”. Jasa Korupsi.”

Uni penjual lontong berbicara melengking dan keras. Meskipun lawan bicara yang ditujunya adalah sosok di depannya, semua orang pengunjung warung lontong akan mendengar apa yang dikatakannya.

Maka, semenjak itu, terkenallah sepeda motor Pak Haji Guru dengan si Jasa Korupsi. Pak Haji Guru tertekan bukan main. Ia kini tertunduk dengan sepeda motornya. Panggilan Jasa Korupsi benar-benar panggilan yang telah menampar jiwanya.

Padahal sebenarnya, motor Pak Haji Guru bukanlah jasa korupsi melainkan seperti apa yang dimaksudkan Udin yaitu Jasa Koperasi. Motor mahal keluaran terbaru itu benar-benar diperolehnya karena mendapat diskon dari koperasi. Persis seperti apa yang diterka-terka oleh Udin. Sama sekali bukan korupsi.

(Telah terbit di Padang Ekspres, 14 Desember 2008)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun