Mohon tunggu...
Nilna R. Isna
Nilna R. Isna Mohon Tunggu... -

Dikenal dengan nama Nilna R. Isna. Lahir di Padang, 31 Mei 1989. Memiliki punya hobi wajib membaca dan sering mengakhiri kegiatan dengan menulis. Berkuliah di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas, Padang. Selama kuliah, mengawali aktualiasi dengan menulis artikel, berita, puisi, dan cerpen di berbagai media massa. Tahun 2009 menjadi Ketua HIMA PSIKM FK UNAND. Tahun 2010 terpilih sebagai Koordinator Wilayah I (Sumatera) Ikatan Senat Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia. Tahun 2011, terpilih sebagai Sekjend Ikatan Senat Masyarakat Indonesia (ISMKMI) yang merupakan pelaksana harian tertinggi di tingkat Nasional untuk mahasiswa Kesehatan Masyarakat se-Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pulanglah

18 Agustus 2012   06:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:35 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen Nilna R. Isna

“Pulanglah ke kampung. Sudah lama kamu tak pulang,” rayu Ibu dari dapur.. Di dapur, Ibu mengacau adonan untuk kue untuk hari Raya.

“Malas pergi sendiri, Bu. Tidak seru kalau tidak ada Ayah dan Ibu,” jawabku. Aku menuju dapur untuk mengambil minum. Tanganku kemudian menggilai tepung di panci sebelah Ibu.

“Ya, tidak harus bersama Ayah dan Ibu. Kamu sudah besar, sudah bisa pulang sendiri. Kalau ayah dan ibu ikut pulang, siapa yang akan menerima tamu disini?”

“Aku. Aku yang akan membantu menerima tamu disini.”

“Sama dengan ndak kalau begitu.”

Aku kembali ke ruang tengah. “Pulanglah, Nak. Ibu menyuruhmu pulang agar kamu tak lupa dengan keluarga-keluarga kita disana, juga agar orang-orang kampung tidak melupakanmu.” Ibu masih merayuku dari dapur. Aku tak menyahut. Pikiranku terfokus pada tayangan di televisi

***

Ndak jadi pulang kampung, Nak ?”

Aku diam. Mandi pagi terasa begitu menyegarkan, apalagi ini bulan puasa.

“Ayah juga menyuruhmu pulang.”

“Kenapa tidak kita bertiga saja kita pulang ?”

“Kamu lebih pantas pulang daripada kami.”

“Pantas?” Aku heran. Bertanya-tanya hanya dalam hati.

Sudah lama sekali aku dan keluargaku tidak pulang kampung. Tepatnya, sejak setahun setelah Angku meninggal dunia. Awal-awal setelah meninggal Angku, ayah dan ibu serta aku masih sering pulang ke kampung. Setidaknya sekali libur hari raya dan dua kali libur sekolah, Ibu mengajakku pulang untuk menziarahi makam angku dan anduang. Anduang meninggal lebih dulu dua tahun dari angku.

Lepas setahun itu, aku dan keluargaku beringsut-ingsut tidak pulang ke kampung. Selalu ada saja alasan ayah dan ibu jika orang kampung menelpon bertanya kenapa tidak pulang. Alasan ayah yang mungkin sudah diucapkan berulang-ulang : “Tidak sempat pulang, banyak tamu yang akan datang ke rumah di hari raya.” Kadang-kadang Ayah sengaja membiarkan telepon berdering di hari raya, langsung menduga kalau itu telepon dari kampung.

Karena ayah dan ibu selalu punya alasan untuk tidak pulang kampung, akulah yang setelah itu sering ditanyakan oleh sanak keluarga disana. “Kalau Uni ndak bisa pulang, si Ina lah yang pulang. Sebagai pengganti, pelepas rindu.” Biasanya aku mengiya-iyakan saja kata-kata dari seberang telepon.

“Iya Ncu, Ina mau pulang kampung. Tapi kalau pergi sendiri takut. Ina masih belum hapal jalan.” Biasanya itu saja alasanku setiap ditanya atau disuruh pulang. Aku memang pernah pulang kampung sendirian tapi waktu itu ‘talonsong’. Aku turun di kampung sebelah. Alhasil aku harus dua kali naik bendi untuk sampai ke kampung halaman. Maklum saja, aku termasuk penidur jika melakukan perjalanan jauh. Jadi alasanku tak mau pulang kampung sendirian karena takut ketiduran di atas bis.

“Uncu saja yang datang ke Padang,” ajakku balik.

“Kalau Uncu datang kesana, nanti merepotkan Ina.”

“Ndak apa-apa Ncu. Ina suka orang-orang rami di rumah.”

“Kalau Uncu ke Padang, Uncu akan bawa anak-anak uncu, mereka nakal-nakal, nanti kamu diganggu.”

Aku tidak suka anak kecil. Aku anak tunggal yang tidak terbiasa berbagi dengan orang lain apalagi anak kecil yang notabene suka mengacau. Tapi sesungguhnya, aku sudah sangat rindu pada adik-adik sepupuku itu. Karena mereka nakal, makanya aku rindu.

“Ya bagus kalau mereka nakal. Ina rindu dengan kenakalan mereka, hehe, ” jawabku sembari terkekeh.

“Sebaiknya kamu yang pulang ke kampung Ina. Banyak saudara yang ‘taragak’ sama kamu. Banyak keluarga yang musti kamu turut.”

Kalau sudah begini, aku kalah debat dengan Uncu. Sudah tidak tahu lagi mesti mengelak dengan cara apa. Paling aku bilang, ‘Insya Allah’ atau ‘doakan saja biar Ina bisa pulang kampung’. Lalu kami saling memutuskan hubungan telepon.

***

“Kamu masih kecil. Ya…, walaupun sudah SMA kamu tetap yang kecil dalam anggota keluarga kita.” Ayah menyorong bicara yang datang entah darimana, tiba-tiba sudah muncul di dapur, melirik kue yang dikeluarkan Ibu dari oven dengan penuh selera, sayang waktu itu bulan puasa.

“Terus, kenapa karena aku kecil, aku harus pulang ke kampung? ”

“Nah, itu bukti kamu masih kecil. Kamu masih belum paham. Ibu kamu ini anak pertama dalam keluarga. Di kampung kamu itu, yang kecil harus menurut yang besar. Kalau Ibu dan Ayah ke kampung, siapa yang mesti diturut? Anduang dan Angku sudah tidak ada lagi.”

“Mesti begitu? ”

“Tidak mesti tapi seharusnya orang di kampung juga menghormati kami. Setidakya menghormati ibumu. Lihatlah mereka. Mana pernah mereka menginjakkan kaki di rumah ini? Mana pernah? Tidak pernah kan? ”

“Ooo.”

“Jangan Ooo saja, kamu paham tidak?”

“Sedikit, Yah.”

“Kalau kamu yang kesana tidak apa-apa. Disana ada Etek sama Uncu kamu. Yang paling tinggi tingkatnya, si Zul. Nyiak etek kamu itu. Dia adik anduangmu tapi umurnya lebih kecil daripada kami.”

“Hm,, hehe.” Aku menyerengeh. Kubayangkan bagaimana ibunya Anduang (nenek buyutku) menggendong Nyiak Etek yang masih bayi sementara anak perempuannya (nenekku) juga sedang menggendong Ibu yang baru pandai makan nasi.

“Karena itu kamu wajib kesana. Mereka pasti merindukanmu.”

“Merindukan Ayah dan Ibu juga?”

“Mungkin. Tapi kalau mereka rindu, mereka pasti mau datang kesini, tidak hanya ngomong lewat telepon.”

“Ngomong itu mudah. Yang penting hatinya,” sambar Ibu dari dapur, keras sekali suaranya. Mungkin takut tidak kedengaran. Padahal aku dan ayah tidak perlu bicara sekeras itu untuk memberi kesempatan Ibu menguping. Atau suara itu keluar karena hatinya memanas campur mengiba setelah mendengar kata ‘rindu’.

Aku mengangguk-angguk tanda mengerti.

“Jadi, besok kamu mau pulang kampung,?” kini Ayah yang bertanya.

Aku menoleh heran lalu menggeleng cepat.

“Terus, kapan kamu pulang kampung?”

“Liat nanti, Yah.”

“Nanti?”

“Iya, tunggu Hari Raya dulu.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun