Mohon tunggu...
Nilla Presilia
Nilla Presilia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi UIN Raden Mas Said Surakarta

Membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Serangan Fajar Lebih Unggul daripada Janji Manis

25 Februari 2024   15:17 Diperbarui: 25 Februari 2024   15:17 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara mengenai pemilihan capres dan cawapres , kepala daerah dan calon legislative beberapa pekan lalu, bukan hanya terjadi umbar janji manis yang mengacu pada politik uang tetapi juga tradisi menyebarkan sejumlah amlop yang berisikan uang kepada Masyarakat sebelum pemilu. Pemilu  bukan hanya memilih presiden dan wakil presiden namun terdapat pula para calon kepala daerah dan anggota legislatif  lainnya seperti pemilihan partai, DPRD, ataupun yang lainnya. Pembahasan ini tidak akan mengacu pada Capres dan Cawapres tetapi, lebih mengacu pada jabatan-jabatan dibawahnya. Dari beberapa pengamatan dan pengalaman hari-H menjelang pemilu, hal yang pasti diterima oleh masyarakat bukan hanya visi misi  serta janji manis dari kandidat yang mencalonkan tetapi, juga bingkisan seperti sarung, baju, maupun uang tunai. Sangat disayangkan dan miris melihat hal seperti ini, pemimpin itu membeli suara rakyat dengan mengunakan uang dan itu sudah menjadi budaya di masyarakat khususnya di pelosok. Dikutip dari Pusat Edukasi Anti-Korupsi , Serangan Fajar telah dilakukan sejak zaman Orde Baru dan seakan menjadi bagian dari proses demokrasi Indonesia. Hal ini dibuktikan dari survei LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada 2019 yang menyebutkan masyarakat memandang pesta demokrasi itu sebagai ajang "bagi-bagi rezeki".

Dapat dikatakan, semacam itu sama halnya dengan suap-menyuap bukan? Tidak hanya dikatakan sebagai menyuap, tetapi juga mengakibatkan masyarakat tidak memiliki komitmen dan pertimbangan yang kuat terhadap visi dan misi para calon pemimpin. Bagi pemimpin yang melakukan perbuatan tersebut akhirnya menjadi figure yang pragmatis, dan tidak memiliki integritas yang kuat. Mereka  melakukan segala cara untuk memenangkan ajang politik , itu bukanlah ciri pemimpin yang ideal. Bayangkan saja jika seorang calon kepala daerah memiliki visi dan misi yang kurang tepat tetapi dapat mengeluarkan cuan yang begitu banyak untuk membeli suara rakyat, setelah terpilih tidak lama kemudian mereka akan memanfaatkan kekuasaan yang telah dicapainya dan pastinya berusaha untuk mengembalikan dana yang telah dikeluarkan demi sebuah jabatan , kepentingan dirinya, keluarga akan jauh lebih penting daripada kepentingan umum.

Berdasarkan fakta diatas , KPK menyatakan bahwa pendidikan menjadi solusi dalam hal ini. Oleh karena itu,  KPK mencanangkan edukasi pendidikan, pencegahan, dan penindakan mengenai korupsi. Karena dengan pendidikan anti korupsi yang baik akan menghasilkan masyarakat yang cerdas dalam mengambil keputusan terhadap pemilihan pemimpin yang berintergritas dan berkualitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun