Mohon tunggu...
Nilla Kurnia
Nilla Kurnia Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Amateur writer

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Alasan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diragukan banyak pihak

23 Desember 2024   15:22 Diperbarui: 23 Desember 2024   15:22 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perbedaan makanan yang diberikan dalam Program MBG (Sumber : Twitter)

Salah satu program Presiden Prabowo yang paling dinanti-nanti adalah program makan siang gratis (sekarang berubah nama menjadi makan bergizi gratis MBG). Program ini menjadi perhatian berbagai pihak karena program ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan menurunkan angka stunting. Namun, dibalik tingginya harapan masyarakat, program unggulan ini memiliki banyak celah yang perlu diperbaiki.

Program MBG merupakan program pemberian makanan bergizi dan susu kepada anak sekolah (PAUD, SD, SMP, dan SMA), serta bantuan gizi untuk ibu hamil, ibu menyusui dan anak balita. Tujuan dari program MBG yaitu; untuk meningkatkan kecukupan gizi, menurunkan angka stunting, memberdayakan UMKM dan meningkatkan ekonomi daerah. Program MBG dilaksanakan oleh Badan Gizi Nasional (BGN) kerjasama dengan pemerintah daerah. BGN membentuk satuan khusus daerah yang melayani 3.000 anak dari PAUD hingga SMA.

Setiap anak sekolah akan menerima makanan yang memenuhi satu pertiga dari kebutuhan kalori harian. Siswa PAUD dan SD kelas 1-2 akan menerima makan pagi sedangkan, siswa SD kelas 3-6, SMP dan SMA akan menerima makan siang. Anggaran yang ditetapkan per menu sebesar Rp10.000 yang meliputi sumber karbohidrat, sumber protein, sayur, buah dan susu. Pemilihan menu ditentukan oleh ahli gizi di setiap unit satuan tugas yang menyesuaikan dengan kondisi lokal. Uji coba pelaksanaan program/pilot program ini sudah banyak dilakukan di berbagai daerah, namun program ini secara resmi dimulai pada Januari 2025.

Tidak hanya dari sisi gizi dan kesehatan, program MBG juga diharapkan dapat meningkatkan sektor ekonomi masyarakat. Program MBG menjadi peluang untuk meningkatkan pemberdayaan UMKM, memingkatkan permintaan pangan lokal, menciptakan lapangan kerja untuk tenaga kerja sekitar, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program ini juga digadang-gadang mampu mengentaskan kemiskinan di Indonesia.

Program MBG terus mendapatkan perhatian sejak pertama kali diusungkan oleh pasangan presiden dan wakil presiden terpilih. Dampak positif program ini berulang kali diberitakan di berbagai media. Meskipun menjadi program unggulan, pelaksanaan program ini kerap diragukan oleh banyak pihak. Berikut beberapa poin yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan program MBG langsung di masyarakat. 

  • Transparansi program

Transparasi mengenai mekanisme program masih simpang siur. Sebagian besar pemberitaan mengenai pelaksanaan program hanya berkaitan tentang anggarannya saja. Kebijakan mengenai pelaksanaan program juga belum banyak yang ditetapkan. Sampai saat ini pemerintah belum mengeluarkan pedoman/juknis program MBG. Pedoman ini diperlukan sebagai standar dalam memberikan pelayanan, sehingga pelayanan yang diberikan di setiap daerah sama. Pedoman  juga dapat digunakan seabagai acuan untuk memonitoring dan mengevaluasi program. 

  • Target sasaran

Target sasaran program MBG dinilai terlalui luas dan kurang sesuai dengan tujuan program. Tujuan dari program MBG adalah menurunkan angka stunting dengan target sasaran program terdiri dari ibu hamil, ibu menyusui, anak balita, dan anak sekolah (PAUD, SD, SMP, dan SMA). Target sasaran ini berbeda dengan kelompok sasaran program Percepatan Penurunan Stunting (PPS) dalam Perpres No. 72 tahun 2021. Kelompok sasaran prioritas dalam PPS mencakup ibu hamil, ibu menyusui, dan anak usia 0-23 bulan dan kelompok sasaran penting meliputi anak usia 24-59 bulan, wanita usia subur (WUS), dan remaja putri. Kelompok sasaran tersebut menjadi prioritas karena gizi dan kesehatan pada periode usia tersebut berpengaruh terhadap stunting anak.

Saat ini program MBG berfokus pada pemberian makan untuk anak sekolah (PAUD, SD, SMP, dan SMA) dan santri, lalu bagaimana dengan anak yang tidak sekolah atau putus sekolah? Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada tahun 2023 jumlah anak yang putus sekolah dari SD hingga SMA mencapai 29,21% dari total 30,2 juta jiwa anak. Persentase tertinggi berada pada jenjang SMA sebesar 21, 61%. Kelompok ini juga perlu dipertimbangkan, karena status pendidikan ibu dapat berkontribusi terhadap masalah gizi stunting.

  • Pemberian makanan tidak menyelesaikan stunting 

Stunting memiliki penanganan yang kompleks, pemberian makan saja tidak cukup untuk mengatasi maslah gizi ini. Stunting secara langsung disebabkan oleh asupan gizi kurang dalam jangka waktu lama dan penyakit infeksi kronis atau berulang. Penyebab tidak langsung stunting meliputi ketersediaan dan akses makanan bergizi, akses terhadap layanan kesehatan, ketersediaan air bersih, pola asuh, pengetahuan tentang gizi dan kesehatan, higiene dan sanitasi lingkungan. Penyebab langsung dan tidak langsung tersebut juga dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pendidikan, status ekonomi, kebijakan pemerintah, jaminan sosial, jaminan kesehatan, dan faktor lainnya.

Untuk menyelesaikan masalah stunting, diperlukan penanganan penyebab stunting secara menyeluruh. Melalui program PPS, intervensi stunting dilakukan secara spesifik dan sensitif yang mencakup faktor-faktor penyebab stunting. Program MBG hanya membantu masyarakat  dalam mengakses pangan bergizi secara sementara dan menyumbang pemenuhan kebutuhan gizi. Program MBG tidak menyentuh faktor-faktor lainnya yang menyebabkan masalah gizi stunting.

  • Rp10.000 per menu dapat apa?

Gembar gembor mengenai anggaran program MBG kerap kali diberitakan. Besar anggaran  untuk program ini juga berubah-ubah, yang semula Rp15.000 turun menjadi Rp7.500 dan terakhir ditetapkan sebesar Rp10.000. Penetapan anggaran menjadi Rp10.000 karena besaran tersebut dianggap cukup untuk memberikan makanan yang bermutu dan bergizi di daerah-daerah. Pemerintah juga memastikan kebutuhan gizi akan tercukupi dengan pemberian setidaknya 600-700 kalori per menu yang memenuhi kebutuhan karbohidrat, protein, yodium dan zat besi. Pemerintah menggunakan standar UNICEF yang memiliki besar anggaran senilai US$1 per hari untuk makan siang gratis di sekolah. Pemerintah akan membeli bahan baku langsung dari produsen lokal dalam jumlah besar untuk menekan biaya yang digunakan.

Pada pelaksanaannya, anggaran Rp10.000 dibelanjakan untuk membeli bahan baku meliputi makanan pokok, lauk pauk, sayur, buah, dan susu. Selain itu, anggaran ini diperkirakan juga mencakup biaya pengemasan, dan biaya operasional dapur. Masyarakat meragukan kemampuan pemerintah dalam menyediakan makanan bergizi di tengah harga bahan pokok yang terus naik. Apalagi terdapat rancangan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Perubahan nama program yang semula Makan Siang Gratis menjadi Makan Bergizi Gratis juga membuat masyarakat menuntut pemerintah untuk tidak hanya memberikan makanan saja, melainkan makanan yang bergizi. Sesuai dengan tujuannya untuk menurunkan stunting, program MBG seharusnya mampu menyediakan protein hewani sebagai lauk pauk yang diberikan kepada target sasaran.

Uji coba program MBG telah dilaksanakan di berbagai daerah dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk kementerian, BUMN, dan perusahaan swasta. Kolaborasi dengan pihak ketiga ini membantu meningkatkan kualitas makanan yang diberikan di satuan unit tugas tertentu. Pemerintah daerah juga turut berkontribusi dalam menyukseskan program MBG. Namun, kerja sama dengan pihak ketiga sulit dilakukan secara merata di seluruh wilayah. Hal ini menyebabkan perbedaan kualitas makanan yang diberikan antar daerah. Satuan unit tugas yang memiliki kerja sama dengan pihak ketiga cenderung mendapatkan lauk pauk yang lebih bergizi dibandingkan wilayah lainnya. Ketimpangan ini menjadi tantangan yang perlu diatasi agar kualitas makanan bergizi dapat dinikmati secara merata oleh seluruh penerima manfaat program MBG.

 

  • Pro-kontra pemberian susu

Pelaksanaan program MBG  tidak hanya  dilakukan dengan pemberian makanan bergizi tetapi juga mencakup pemberian susu gratis kepada anak sekolah. Pemberian susu ini dipertanyakan karena pemerintah dianggap masih mengikuti pedoman lawas 4 sehat 5 sempurna. Slogan 4 sehat 5 sempurna yang dipopulerkan sejak tahun 1950-an sudah tidak digunakan lagi karena dianggap kurang revelan. Pedoman yang sekarang digunakan adalah Pedoman Gizi Seimbang (PGS) dalam Permenkes No 41 tahun 2014.

Pemerintah tidak mempertimbangkan bahwa banyak masyarakat indonesia yang memiliki intoleransi laktosa. Prevalensi malabsorbsi laktosa di Indonesia pada anak usia 6-11 tahun sebesar 57,8% dan 73% pada anak usia 12-14 tahun. Prevalensi intoleransi laktosa pada anak yang rutin mengonsumsi susu sebesar 56,2% sedangkan yang tidak rutin sebesar 52,1%. Intoleransi laktosa terjadi karena kekurangan atau ketidakmampuan enzim tubuh dalam memecah laktosa (jenis gula yang ada dalam susu) di usus halus. Konsumsi susu pada orang yang memiliki intoleransi laktosa akan mengakibatkan gejala perut kembung, diare, nyeri perut, mual dan muntah.

Sebagian besar jenis susu yang diberikan pada uji coba program MBG adalah susu kemasan berukuran kecil. Susu kemasan yang diberikan cenderung memiliki kandungan tinggi gula dan berpemanis buatan. Konsumsi minuman manis berlebih dapat memicu obesitas dan penyakit metabolik pada anak. Hal ini bertentang dengan tujuan utama program untuk perbaikan gizi dalam upaya penurunan stunting. 

Pemberian susu dalam program MBG juga meningkatkan kebutuhan susu nasional secara signifikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, produksi susu segar di Indonesia hanya mencapai hanya mencapai 968.980 ton setara dengan 20% dari kebutuhan nasional. Untuk memenuhi kekurangan tersebut, pemerintah berencana melakukan impor susu dalam skala besar serta impor sapi perah penghasil susu. Pemerintah harus mengeluarkan anggaran tambahan untuk impor susu dalam memenuhi peningkatan kebutuhan susu akibat program MBG. Impor susu akan memberikan dampak pada peternak susu lokal karena produsen susu lebih memilih susu impor daripada susu lokal. Susu impor juga tidak dikenakan bea masuk dan PPN sehingga harga susu impor lebih murah daripada susu lokal. Pemerintah diharapkan memperhatikan peternak susu lokal dalam rancangan impor susu berkaitan dengan program MBG.

Keraguan terhadap program MBG muncul karena tingginya antusias masyarakat pada dampak positif program. Masyarakat juga berharap program ini direalisasikan dengan dengan baik dan bukan sekedar omon-omon belaka. 

Referensi :

https://indonesiabaik.id/infografis/kenalan-sama-program-mbg

https://news.detik.com/berita/d-7617806/program-makan-bergizi-gratis-jadwal-berlaku-sasaran-hingga-aturan-pembagian

https://www.foodagogik.org/commentaries/makan-bergizi-gratis-untuk-indonesia-emas-2045

https://cdn.cisdi.org/documents/fnm-Policy-Paper-Makan-Bergizi-Gratis---Menilik-Tujuan-Anggaran-dan-Tata-Kelola-ProgramCISDIpdf-1723609579793-fnm.pdf

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun