“Dia lagi .. dia lagi… kenapa harus selalu ngomongin soal dia?” umpatku penuh kekesalan dalam hati. Kekesalanku ini bukan sekali saja kualami. Hampir setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit, aku mengalaminya. Dan yang mengakibatkan hal ini terjadi bukan lagi seorang musuh atau orang rese’ yang tiba-tiba sok kenal padaku. Melainkan sahabatku sendiri, Bima. Aku Chika. Usiaku dan Bima kini baru menginjak 17 tahun. Kami bersekolah di sekolah yang sama, dan selalu duduk sebangku selama SMP. Sudah hampir tiga tahun lebih, aku bersahabat dengan dia. Awal kita cocok, karena aku merasa dia mirip sepertiku. Dia kesepian, dia kurang kasih sayang dari kedua orang tua seperti aku. Tapi, keakraban kami justru karena sebagian perbedaan yang ada diantara kami. Kami, aku dan Bima maksudnya, punya kebisaaan yang beda. Kami punya hobby, kesukaan, dan selera yang berbeda.
Aku sebal pada Bima akhir-akhir ini. Semenjak kenal Dinda, cewek yang didekatinya, dia dan aku jadi sering berselisih paham mengenai cewek itu. Bima yang asik dengan acara pdkt-nya kadang juga membuat intensitas bertemu kami jadi berkurang. Setiap ngobrol bareng Dinda, aku selalu jadi obat nyamuk yang tidak pernah dianggap oleh dia. Dan aku sebal, karena sebagai seorang sahabatnya, aku harus rela menyiapkan kupingku setiap hari untuk mendengarkan cerita yang sama dari Bima mengenai happynya jalan bareng Dinda. Sebenarnya gak papa juga sih. Toh ini adalah kehidupannya. Tapi, perasaan inilah yang aneh. Jujur, aku sebenarnya tidak begitu suka Bima dekat dengan cewek yang ikut ekskul modeling itu. Berkali-kali, aku mencoba menghilangkan perasaan ini. Aku merasa ini hanya perasaan iri karena kini Bima tidak lagi seperhatian dulu padaku. Namun, rasanya bukan. Aku sungguh tidak ingin mengatakan hal ini jauh dari lubuk hatiku sendiri, bahwa selama ini aku suka pada Bima.
Selama ini, aku bohong pada Bima. Aku tertawa, tersenyum melihatnya bercerita, itu adalah sebuah kebohongan yang aku tampakkan dihadapannya. Padahal, setiap malam, aku menangis. Menangis mendengar semua pengakuan tadi. Aku menangis sejadi-jadinya demi seorang cowok. Dan itu adalah sebuah kebodohan yang kulakukan untuk pertama kali padanya.
"Chik, kamu pulang sendiri yah? aku mau nganterin Dinda hehehe..." ungkap Bima yang langsung membuatku terdiam. Beberapa saat kemudian, aku sudahmelepas helm biru milik Bima yang selalu kukenakan sewaktu nebeng bareng dia pulang sekolah. Kuberikan pada Bima dengan senyum yang kupaksakan untuk muncul.
"Sip dah. met bersenang-senang yah? ntar kabarin aku kalo ada kabar lanjutan dari proses pdktan kamu itu? kalo udah jadi, kamu harus dan mesti neraktir aku makan di kafe langganan kita. ok"jawabku menenangkan hatiku sendiri.
"Yah, kamu selalu aja pengen ditraktir. Kapan kamu neraktir aku duluan.? eh,beneran nih gak papa? Ntar kamu pulangnya terus gimana? naik bus?"
"Kan aku udah sering antar jemput bus. Tenang aja." Bima diam. Melihatku penuh rasa khawatir. membuatku juga sedikit berat untuk melihat ekspresi wajahnya.
"Udah, aku bakalan baik-baik aja. Tenang aja kenapa sih? " ujarku sedikit membuatnya lega. Beberapa saat, tanganku sudah menunjuk ke arah gerbang sekolah yang masih kelihatan rame. Di samping pos, berdiri seorang cewek tinggi, putih dengan rambut panjang yang terawat menengok ke arah belakang mencari seseorang. Itu jelas Dinda. Dan dia sedang menunggu Bima. "Tuh, calon cewekmu. Aku duluan yah?" Aku udah kabur sebelum Bima melihat air mataku yang pengen keluar. Aku tidak kuat melihat orang yang ku sayang menanti cewek lain dihadapanku. Tapi, Bima adalah sahabat. Dia tetap akan menganggapku sebagai seorang sahabat. Tidak pernah lebih dari itu. Jadi, tidak mungkin aku bisa mengganggap Bima sebagai orang yang lebih dari seorang sahabat. Haduh, ini sudah keterlaluan Chika? kamu harus melupakan rasa cintamu itu dan menganggapnya sebagai seorang sahabat. Tidak boleh lebih...Batin Chika sambil berjalan menjauh dari tempat Bima berada.
Udah hampir dua minggu ini aku tidak melihat sedikit pun batang hidung Bima di sekitarku. Liburan sekolah yang harusnya bisa kumanfaatkan dengan bermain bersamanya pun rasanya hanya sebuah mimpi yang tidak akan pernah jadi nyata. Terakhir ketemu, Bima hanya berkata bahwa liburan tahun ini akan dimanfaatkanya bareng Dinda.
Alhasil, yang bisa kulakukan untuk mengisi waktu luangku hanyalah berada dirumah. Sesekali, kadang juga jalan sendiri menuju sebuah mall besar yang tidak jauh dari rumah. Kusibukkan diriku, juga fikiranku yang sedari tadi tidak pernah berhenti memikirkan Bima dengan bermain di time zone selama mungkin. Hampir semua permainan juga sudah kucoba. Aku juga iseng-iseng foto box dengan gaya urakan yang sering kulakukan bareng Bima. Dan setelah merasa lelah, aku duduk di bangku panjang di depan sebuah toko buku dengan kepala tertunduk. Lengkap sudah penderitaanku kali ini. huft…
“Chika yah?” sapa seseorang di depanku. Kepalaku yang tadi tertunduk sedikit mendangak untuk menyaksikan siapakah orang yang menyapaku tadi. Dan betapa terkejutnya aku melihat bahwa orang itu adalah … “Rama…!!” ungkapku kaget. Aku berdiri dengan telunjuk yang masih mengacung ke arahnya.
“Yap… itu aku. Masih inget juga ternyata. Kamu lagi ngapain di sini? Duduk kayak orang gak ada kerjaan sendirian di sini?”
“Gak lagi ngapa-ngapain sih. Tadi aku kecapekan gara-gara habis main di time zone. Jadi … ya gitu deh.” Jawabku asal-asalan. Dia lantas mengajakku makan di restoran jepang yang tidak jauh dari sana. Memesankan makanan faforitku, Sushi.
“Kamu masih inget aja makanan faforit aku.” Rama adalah seorang mantanku. Dulu, kami sempat menjalin hubungan selama setahun. Tapi hubungan itu berakhir karena dia harus pergi ke luar negeri untuk meneruskan sekolahnya di sana.
Rama tersenyum. Dia lalu sibuk melihat mukaku dengan serius. Tanpa sedikitpun mengedipkan matanya. “Kamu ngapain sih?” Kataku dengan terbata-bata. Malu juga tau’ kalo diliatin kayak gitu.
“Kamu tahu gak Chik, Jujur, aku kangen banget sama kamu. Dan kamu, gak pernah berubah.” Jawabnya membuat pikiranku kembali ke jaman dulu. Dimana aku dan dia masih sama-sama mencintai.
“Eh, kamu kapan datang dari Ausi?” aku mengalihkan pembicaraan. Dia tertawa kecil. Menunjukkan sedikit giginya yang rata dan putih.
“Seminggu yang lalu. Liburan di sana itu gak asik. Makanya aku balik lagi kesini. Kamu apa kabar?”
“Baik. Masih seperti dulu. Kamu?”
“Yah, sama. Btw, nomermu masih tetap kan?”
Hubunganku jadi tidak menyenangkan dengan Bima. Kami berantem sangat sengit danberselisih pendapat gara-gara masalah yang tidak penting. Urusan asmara. Bima protes padaku karena aku tidak pernah menghubunginya dan hanya sibuk mengurusi acara kencan dengan Rama setiap hari. Dan aku, protes pada Bima. Karena dia yang sok tahu itu, juga tidak pernah meluangkan waktunya sedikit untukku. Sebenarnya, apa yang harus dipusingkan? Ego masing-masingkah? Mungkin saja.
Menurutku, ini cuman urusan ego yang sama-sama tidak mau mengatakan bahwa kita sama-sama butuh. Aku butuh Bima, juga dia. Ini yang kurasakan selama ini. Dari sejak kemunculan Dinda, aku kehilangan Bima yang dulu. Apalagi saat Rama hadir. Kami kini jadi seperti seorang musuh yang saling membenci. Tidak pernah bertegur sapa bila bertemu, juga tidak pernah mau mengalah untuk berkata siapa yang salah.
Aku sedih. Jujur, ini bukan yang aku harapkan. Aku tidak mau semua menjadi seperti ini. hanya gara-gara hal yang sepele, kehidupan kami yang dulunya penuh kasih dan kepedulian, kini menjadi permusuhan tujuh turunan. Aku juga sedikit mulai meyakini bahwa perasaan suka yang aku rasakan untuk Bima tidak akan membuat semua kejadian akhir-akhir ini menjadi lebih baik. Malah, akan membawa masalah semakin menumpuk dan berkembang sedemikian rupa. Jadi, yang bisa aku lakukan untuk saat ini hanyalah diam. Aku mencoba introspeksi diri, dan berfikir segala yang pernah terjadi selama ini. Semoga, semuanya akan baik-baik saja. Semoga saja.
“Chik, kamu beneran gak pengen bilang soal perasaanmu sama Bima? Ini udah terlalu meyakinkan aku bahwa kamu sama dia jadi seperti musuh?” Tanya Rama. Pasti kaget yah, kenapa Rama tahu aku suka Bima? Yah, akhir-akhir ini hubungan kami adalah sahabat. Dan Rama adalah sahabat yang baik yang bisa dicurhatin mengenai perasaanku pada Bima. Aku sedikit ragu awalnya untuk menceritakan hal ini padanya. Secara, baru dialah yang kuijinkan mengetahui rahasia besar yang aku sembunyikan selama ini. tapi, Rama ternyata memang seseorang yang tepat. Dia jauh lebih memahami perasaan seorang cewek yang menyukai cowok sejenis Bima. Dia sering memberiku masukan yang membuat pikiranku sedikit tenang.
“kayaknya iya. Sekarang hubunganku dan dia jadi hancur. Aku gak bisa bayangin bila dia harus tahu perasaanku buat dia. Pasti semua…. “ aku menggelengkan kepalaku. Mencoba untuk tidak memikirkan hal yang tidak-tidak yang akan terjadi. Sore ini, aku dan Rama sedang makan di kafe langganan kami.
“Terus? Kamu pengen kayak gini terus? Kamu yang bakalan sakit. Yah, paling enggak, kamu bisa meyakinkan dia bahwa dia sudah melupakanmu. Dan kamu merindukannya.”
“Itu mudah bagi cowok. Tapi tidak bagi cewek kayak aku.”
“Lalu kamu ingin menunggu dia sampai dia tahu? Sampai kapan? Sampai dia pacaran, sampai dia dan kalian tidak bertemu, atau sampai dia bercerai setelah menikah? Itu waktu yang lama? Setulus itukah kamu menanti dia?” jawab Rama membuatku melotot.
“Ya sampai aku siap. Yang jelas, bukan sekarang.”
“Terserah kamu deh.” Kata Rama akhirnya pasrah juga.
Aku menelungkupkan kepalaku ke meja. Capek rasanya kepalaku selama ini berfikir dan memikirkan Bima yang jelas-jelas tidak pernah memikirkanku.
“Hei, Rama. Elo akhirnya balik ke Indonesia juga.” Sapa cowok yang suaranya ku kenal. Itu Bima. Aku mengambil sikap tegak. Ku mainkan sedotan dalam gelas jus pesananku. Sedikit kemudian, ku minum jus itu sambil mengalihkan pandanganku ke arah luar kafe. Aku tidak mau melihat muka Bima sekarang. Rasanya itu akan membuatku menangis.
Bima duduk di sebelahku. Mungkin dia tidak menyadari keberadaanku. Dia asik mengobrol dengan Rama yang sebentar-sebentar melihat khawatir kepadaku.
Cukup lama mereka mengobrol. Beberapa saat kemudian, Rama pamit ke belakang. Meninggalkan aku dan Bima seorang diri. Sekarang, dia sedang meminum jus yang dipesannya sambil terus memainkan game di handphonenya.
“Kenapa kamu gak ngehubungin aku duluan?” ungkapnya. Sepertinya ditujukan kepadaku.
“hah…” aku kaget. Aku berusaha memastikan bahwa pertanyaan ini memang ditujukan untukku. Ku beranikan menoleh ke arahnya yang juga sedang melihatku dengan pandangan sayu.
“Kenapa kamu gak ngehubungin aku selama ini?” tanyanya sekali lagi.
“Karena… karena aku gak punya alasan buat ngehubungin kamu.” Jawabku pelan. Benar-benar jawaban dari hatiku sendiri. Jawaban itu membuat Bima terus menatapku tanpa berkedip sedikitpun. Seakan-akan menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulutku setelah ini.
“Aku gak mau ngeganggu acaramu. Itu alasan yang cukup logis kan?” ucapku sekali lagi.
Bima menghembuskan nafas sebentar. Dia memainkan sedotan jusnya.
“Aku rindu. Rindu kamu yang biasanya cuek dan cerewet itu padaku. Aku rindu sifatmu yang selalu mengalah bila tiap kali kita mengomentari film yang baru kita tonton. Aku rindu saat kita masih suka foto box dengan gaya paling jelek kita berdua. Saat kita merayakan malam minggu bersama sebagai seorang sahabat yang sama-sama jomblo. Dan yang paling aku rindukan, adalah senyumanmu yang tulus yang selalu kamu berikan padaku untuk menyemangatiku tiap ada masalah. Yang tidak bisa kutemukan pada diri Dinda.” Cerita yang mengharukan sekaligus pengakuan paling panjang yang pernah didengar olehku dari bibir Bima yang selama ini dikenalnya sering pelit bicara. Ingin rasanya aku tertawa. Tapi, ini bukan saat yang tepat. Bima sudah mengganti posisi duduknya sedari tadi dan kini sudah berhadapan dengan tubuhku. Jelas, dia bisa melihat betapa merahnya pipiku karena perkataannya tadi.
Aku menunggu senyumnya yang biasanya menertawakan pipi merahku. Tapi tidak ada. Dia, pelan-pelan menyentuh tanganku dengan lembut.
“Dia banyak cerita soal kamu kepadaku.”
“Siapa yang kamu maksud dengan dia?” tanyaku penasaran. Perasaanku sudah tidak enak.
“Rama. Diayang menceritakan semuanya kepadaku.”
Aku mengomel dalam hati. Memarahi Rama sekarangpun juga tidak akan mungkin. Dia tidak ada disana. Oh iya, jangan-jangan ini juga…..
“Aku ada disini juga karena dia. Karena dia bilang padaku, bahwa di antara kita, merasa sama-sama ingin bicara.”
Tuh kan benar. Awas kamu Rama. Aku tidak akan segan-segan memintamu membelikan segudang coklat kesukaanku atau sebanyak mungkin tissue untuk mengganti perasaan maluku gara-gara kamu menceritakan rahasia penting itu pada Bima. Awas … batinku.
“Maaf yah Chik, aku udah banyak buat kamu nangis. Aku gak pantas jadi sahabatmu. Apalagi orang yang suka sama kamu.”
Aku melotot. Ucapan terakhir itu membuatku sedikit merasa kaget.
Bima tersenyum. Membuatku bertanya “Apa ini udah saatnya kita tertawa menertawakan kebodohan masing-masing?”
Dia tersenyum lagi. “Aku tersenyum, karena ternyata, selama ini perasaanku juga gak bertepuk sebelah tangan.”
Aku kaget minta ampun. Akhirnya, dia menceritakan semuanya. Sewaktu SMA, di tahun kedua kita bersahabat, dia menyukaiku. Dia terus berusaha menghilangkan perasaan itu sama seperti aku. Lalu, dia juga berkenalan dengan Dinda karena ingin mencoba menghilangkan rasa sukanya padaku. Tapi, setelah menjalani, dia tidak bisa mengingkarinya lagi. Dia yang mendengar kehadiran Rama berkali-kali membuat perhitungan dengan cowok itu. Sampai pada akhirnya Rama membantunya hari ini untuk mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya. Aku sedikit ingin meneteskan air mataku. Tapi, tidak bisa.
“Berarti saat itu,. Aku masih bersama Rama kan?” aku mencoba mengkonfirmasi. Cowok itu menundukkan kepala. Aku menepuk jidatku karena mengingat sesuatu.
“Yah, makanya saat itu aku sempet bermusuhan sama Rama. Karena dia ngambil kamu tanpa seijinku. Enak aja.” Ucapnya membuatku tertawa lepas.
Rasanya aneh sekali melihat sebuah kebenaran yang terjadi saat ini. Sungguh sebuah anugerah dari tuhan yang telah menunjukkan kebenaran itu lewat kehadiran Rama. Cinta yang tadinya hanya terkubur di dalam lubuk hati masing-masing kini menjadi satu dalam sebuah situasi yang indah. Aku tersenyum menyaksikan kebenaran itu di antara jendela kafe yang memamerkan keindahan hujan gerimis yang turun sore ini. Bima juga sama. Tangannya juga tidak berniat sedikitpun lepas dari tanganku. Di antara sepasang sejoli yang sedang kasmaran itu, terlihat dua orang yang dengan senyum bangga menyaksikan kebahagiaan mereka. Rama dan Dinda. Dua orang yang turut membuka kebenaran dengan jalan berbeda. Keduanya juga tidak luput memandang mereka dengan senyum dan gandengan tangan yang erat. Rama dan Dinda, juga merasakan kebahagiaan itu hari ini. Dinda mendapatkan orang yang tepat untuknya, Rama. Cowok yang ternyata merupakan sahabat chattingnya di internet.
“Saat matahari terbit, kita dapat merasakan panasnya dan enggan melihatnya. Tapi, setelah dia terbenam barulah kita menyadari betapa indahnya dia… begitu juga dengan seseorang yang hadir mengisi hari-hari kita yang terasa biasa. Namun, setelah dia menghilang dan pergi dari hidup kita, barulah kita menyadari betapa berartinya dia bagi kita. Itulah cinta. Jadi cintailah orang yang mencintai kamu karena bisa jadi dia pergi di saat kamu mulai mencintainya”
Chika…. Ada Cinta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H