Siapa yang tidak gemas dengan prestasi yang KPK raih sejauh ini? Menguak perkara-perkara korupsi para petinggi negeri. Prestasi yang baik, memang. Tapi apakah prsetasi itu membawa kabar gembira? Siapa pun tentunya akan menjawab tidak. Mengapa? Selain menguras kas negara, perbuatan kotor itu juga secara merugikan rakyat, baik secara langsung pun tidak langsung. Penghasilan yang disisihkan untuk membayar pajak diselewengkan begitu saja. Nominal sekian rupiah pada struk belanja yang dikenal dengan ppn pun setali tiga uang. Walaupun sedikit, tapi jika dilakukan sacara masif dan masal tentu akan mengerucut pada jumlah yang spektakuler.
Disadari atau tidak, bibit-bibit koruptor bertebaran dan bertaburan dengan melimpah di sekeliling kita. Yakni pada bagian jebloknya rasa hormat terhadap sebuah kejujuran. Hal tersebut bisa kita lihat pada ‘budaya’ mencontek yang mudah ditemui mulai siswa SD sampai mahasiswa. Cara menconteknya pun semakin lama semakin beragam dan canggih. Kalau dulu hanya ditulis di kertas kecil atau dibuat coretan di atas meja, sekarang cukup dikirim melalui sms. Bukan hanya ulangan harian, semesteran bahkan ujian nasional pun tidak luput dari upaya contek-mencontek. Parahnya lagi ditingkat mahasiswa, skripsi yang dibuat pun hasil mencontek.
Era yang berlari kencang ternyata belum mampu terkejar. Kita selalu menjadi bangsa yang tertinggal. Fondasi kokoh bernama kejujuran tidak benar-benar kita genggam. Bahkan menuai kejujuran dari benih kecurangan yang kita pupuki ibarat menanam ilalang berharap berbuah padi. Kejujuran kini menjadi sesuatu yang asing bagi Republik ini. Akan seperti apa wajah negara ini nanti?
Kecurangan UN
Pendidikan digadaikan demi sebuah target kelulusan seratus persen. Kejujuran tidak lagi berarti ketika situasi berada dalam tekanan. Kalimat menghalalkan segala cara tentu menjadi pertimbangan yang senantiasa dipuja. Oknum pendidik bahkan membuat koalisi dengan siswa untuk menyukseskan praktik kotor mereka. UN menjadi semacam momok menakutkan yang memberikan beban psikis hingga akhirnya meyebabkan keruskan mental dan moral yang semakin akut.
UN dijadikan sebagai rujukan untuk mengukur tingkat pendidikan siswa. Prestasi belajar selama tiga tahun akan ditentukan oleh hasil ujian yang hanya tiga hari. UN sebenarnya menjadi simulasi betapa hancurnya negara ini. Siswa yang kelak diharapkan menjadi penganti generasi terdahulu telah dipupuki praktik kecurangan sejak dini. Maka tidak heran kita dapati negara ini dari pagi hingga pagi lagi selalu di hiasi berbagai pemberitaan miring.
Indonesia Corruption Wacth (ICW) menemukan idikasi kecurangan UN di sebuah SMK di Jakarta Selatan tahun lalu. (Tribunnews.com, 10/06/2013). Di Sumatera Utara, suatu sekolah siswa pagi-pagi sekali datang menyalin kunci jawaban. (Tribunnews.com, 19/4/2012).
Bocornya jawaban UN telah menjadi rahasia umum. Semua orang tahu itu, namun telah mencapnya sebagai suatu kelaziman. Bahkan orangtua dari siswa itu turut mendukung praktik-praktik kotor ini agar anak mereka dapat lulus. Bahkan, tidak jarang orangtua justru menjadi penyemangat dalam melakukan tindakan-tindakan yang mencurangi diri sendiri. Orangtua secara sadar membiarkan anak-anak mereka berenang dalam kubangan ketidak jujuran.
Menuju UN Bersih
Siswa seharusnya dididik, diayomi dan ditanamkan nilai-nilai kejujuran. Nilai kejujuran inilah yang nantinya akan menumbuhkan rasa tanggungjawab terhadap negara. Paket UN yang bertambah nyatanya tidak dapat memusnahkan praktik kecurangan. Ada yang salah? Tentu saja! Bagaimana tidak, jika yang dilahirkan sepaket UN adalah generasi-generasi "penipu".
UN mungkin menjadi salah satu alternatif untuk menentukan kelulusan, jika UN dilaksanakan dengan jujur dan bersih dan sedikit perbaikan dalam tubuh UN sendiri. Selain pertemuan dan pembelajaran dibuat menjadi lebih intens, menurut saya alangkah baiknya jika juga diseimbangkan dengan kegiatan kerohanian, meningkatkan imtaq (iman dan taqwa), dan lain sebagainya yang sekiranya dapat membantu menurunkan tekanan psikis yang rentan dialami siswa pra-UN. Apalagi tuntutan kelulusan tahun ini lebih besar dan menantang. Mengingat baik jenjang SMP pun SMA menjadi angkatan terakhir sebelum penggantian kurikulum 2013. Siswa “tidak bisa” tidak lulus karena kurikulum yang digunakan berbeda.
Ada yang perlu dibenahi dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini. Mutu pendidikan tidak hanya diukur dari jumlah siswa yang dapat lulus setiap tahun, tetapi berapa jumlah yang terserap ke dunia perguruan tinggi dan mampu memanfaatkan peluang usaha atau peluang kerja setelah lulus. Terjun ke medan. Mutu pendidikan tentu harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah, guru, orangtua dan siswa itu sendiri. Perubahan tidak akan tercipta dengan hanya berharap pada orang lain. Kejujuran merupakan nilai utama yang menghasilkan UN bersih dan jujur. UN tahun depan tentunya penuh pengharapan, perbaikan mutu pendidikan dan perbaikan ahklak siswa. Semoga..
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H