Pada Maret 2012, Bank Indonesia menerbitkan kebijakan yang disebut Loan to Value (LTV) yang mana di khususkan untuk Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB). Kebijakan LTV tersebut mengatur besarnya jumlah kredit yang dapat diberikan oleh Bank terhadap nilai agunan pada saat awal pemberian kredit, yaitu ditetapkan maksimal 70%. Loan to Value juga yang memberikan batasan yang jelas mengenai jumlah uang minimum yang  harus dimiliki oleh konsumen untuk membeli suatu perumahan. Saat itu tepatnya pada akhir Maret 2012, terjadi peningkatan pertumbuhan kredit pemilikan rumah dan kredit kendaraan bermotor yang mana hal tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan masalah bagi perekonomian. Sebab selain jumlah kredit yang meningkat, harga dari properti-properti saat itu juga mengalami peningkatan yang begitu tajam. Dengan demikian, maka dikeluarkalah kebijakan Loan to Value untuk mengantisipasi terjadinya krisis seperti yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2008 yang mana banyak debitur yang mengalami gagal bayar.
Kondisi Kredit KPR Sekarang
Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia menunjukkan pertumbuhan KPR pada 2011 mencapai 23,4% dan mengalami penaikan menjadi 31,7% pada 2012. Namun, sejak aturan LTV diberlakukan pertumbuhan kredit mulai melambat yang tercermin dari pertumbuhan tahunan sepanjang 2013 dan 2014 yang masing-masing mencapai  26,6% dan 12,5%. Sedangkan untuk Maret 2015 nilai pembiayaan KPR yang disalurkan oleh Bank umum mencapai Rp305,95 triliun atau meningkat 12,48% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, pertumbuhan ini lebih kecil dibandingkan pertumbuhan 2013 dan 2014 atau artinya KPR mengalami penurunan dari tahun ke tahun setelah adanya kebijakan Loan to Value.
Dengan demikian rencana BI untuk tetap meningkatkan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) yaitu dengan cara melakukan pelonggaran kebijakan Loan to Value (LTV). Karena telah diketahui bahwa sektor perumahan merupakan salah satu sektor yang memiliki pengaruh besar terhadap roda perekonomian sebagai penggerak ekonomi nasional. Seperti yang dikatakan oleh Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mulya E. Siregar, yang mana jika negara sedang mengalami resesi, sektor perumahan akan dilonggarkan karena akan menghasilkan efek domino. Industri lain ikut terangkat, seperti industri semen, ubin, pasir, dan genteng. Yang mana semua industri tersebut membutuhkan pembiayaan. Sehingga hal tersebut memiliki efek yang berantai.
Rencana pelonggaran kebijakan Loan to Value (LTV)yang akan dilakukan oleh Bank Indonesia, hal ini berkaitan dengan uang muka kredit (down payment) dimana terdapat kemungkinan untuk diturunkan. Sehingga, jika pelonggaran kebijakan tersebut memang benar dilaksanakan maka dengan uang muka yang diturunkan bisa membuat banyak masyarakat kembali untuk melakukan kredit kepemilikan rumah. Karena kita tahu bahwa masih banyak sekali masyarakat Indonesia yang belum memiliki rumah sehingga dengan adanya perubahan kebijakan LTV yang mana akan dilakukan pelonggaran maka, dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah untuk memperoleh rumah layak. Oleh karena itu, pelonggaran ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta mendorong perekonomian untuk semakin tumbuh.
Akan tetapi, jika ditengah jalan kebijakan pelonggaran tersebut kembali membuat jumlah kredit yang melonjak tinggi dimana berpotensi debitur mengalami gagal bayar. Maka solusi utama adalah mengatur kembali kebijakan Loan to Value. Sehingga, sebelum diberlakukannya pelonggaran LTV ini maka perlu dikaji lebih dalam oleh Bank Indonesia supaya kebijakan tersebut dapat berjalan secara efektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H