Beberapa waktu lalu, teman-teman Gen Literate (Gen L) membuka diskusi untuk kegiatan voluntary di salah satu Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di daerah Tangerang Selatan. PKBM ini menampung siswa putus sekolah ataupun tidak mampu, untuk jenjang SMP -- SMA. Saat ini, jumlah murid sekitar 120 siswa.
Sebagai informasi, PKBM merupakan lembaga pendidikan informal yang bertujuan untuk memperluas kesempatan masyarakat khususnya yang tidak mampu untuk meningkatkan keterampilan dan pengembangan diri. Jika pernah dengar program paket A, B, C -- nah ini biasanya ada di PKBM. Dalam praktiknya, PKBM berada dibawah pengawasan dan bimbingan Dinas Pendidikan Nasional. PKBM juga biasanya gratis alias tidak berbayar.
Ide kegiatan voluntary di PKBM tersebut sejatinya bermula dari kegiatan diskusi buku yang di gelar tokoh literasi, Maman Suherman di sekolah tersbeut, beberapa waktu lalu. Dari ngobrol-ngobrol dengan pihak PKBM, lalu berlanjut membahas literasi -- salah satu problem siswa di sana dan harapan pihak PKBM untuk dapat meningkatkan kemampuan literasi siswa.
Singkat kata, sejumlah pentolan Gen Literate, yang juga sangat concern dengan dunia literasi merangkum rencana kegiatan voluntary yang rencananya mulai dilaksanakan akhir Januari ini. Namun sebelumnya, perlu pembahasan mengenai materi lebih lanjut dengan pihak sekolah, agar materi dan metode ajar tepat sasaran dan bermanfaat bagi siswa.
Dari diskusi yang cukup padat dengan sejumlah  guru -- yang ternyata juga relawan di PKBM tersebut, kami mencatat persoalan-persoalan yang mungkin dapat dibantu sesuai kompetensi teman-teman Gen L. Terkait literasi misalnya, ternyata tidak mudah bagi siswa memahami pertanyaan dalam bentuk teks tertulis. Apalagi pertanyaan dalam bentuk soal cerita, mereka sangat sulit untuk memahami apa inti dari pertanyaan tersebut. Penyebabnya sudah bisa ditebak, kebiasaan membaca yang sangat rendah.
Dalam hal menulis, kebiasaan siswa menulis kalimat dengan menggunakan gaya bahasa anak jaman now -- [mohon dikoreksi jika istilah yang saya gunakan ini kurang tepat] -- seperti penulisan "lainnya" menjadi "lainx", dan lain sebagainya.
Dalam hal komunikasi-pun, para guru merasa kewalahan. Cara berbicara yang tak pantas -- ini didukung oleh latar belakang dan lingkungan siswa: minus perhatian keluarga. "Ada beberapa siswa, yang mau terbuka untuk pendampingan, perlahan-lahan sikap dan attitudenya membaik. Cara komunikasinya jadi lebih bagus," tutur salah satu guru di sana. Namun, tidak sedikit yang tidak menunjukkan perubahan. Lagi-lagi alasan lingkungan seolah menjadi pembenaran.
"Sekiranya bisa, kami juga berharap teman-teman Gen L juga bisa membantu kami soal adab ini," harap sang guru.
Aduh, sungguh berat PR yang diberikan. Sebagus apapun materi atau pengajarnya, tapi jika lingkungan terdekat mereka -- dalam hal ini keluarga tidak support, sepertinya hanya akan menggambar pasir di pinggir pantai. Saat ombak datang, menyapu gambar dan pantai kembali seperti sedia kala: kosong  atau malah menyisakan sampah. Sesungguhnya, kami tidak tahu apa yang akan kami hadapi selanjutnya, tapi setidaknya, kita lakukan yang terbaik. Demikian niat kami di awal tahun ini.
Sembari melakukan persiapan untuk menjadi volunteer, saya membantu komunitas lain menyelenggarakan kegiatan edukasi di salah satu SMA favorit di Jawa Barat. Mengingat status yang lumayan ok, saya sendiri menaruh ekspektasi tinggi terhadap 300 siswa yang akan menjadi audiens: smart, aktif dan mestinya bagus dalam berkomunikasi. Saya membayangkan para siswa yang aktif bertanya, menjawab dengan lantang atau menyampaikan pendapat dengan berani.
Sayangnya, ekspektasi tersebut  buyar dalam 10 menit pertama kegiatan berlangsung. Saat aula sekolah tempat dilaksanakan edukasi sudah siap, narasumber dan pengisi acara sudah standbye, para siswa hanya mondar mandir di depan aula dengan acuh. Pihak sekolah bahkan sudah memberi tahu agar siswa memasuki aula, namun tidak banyak yang menanggapi. Saya bertanya-tanya, apakah wajar sikap siswa tersebut?
Hal yang lebih membagongkan terjadi saat acara sudah mulai berlangsung. Saat narasumber pertama menyampaikan materi, beberapa siswa malah memainkan lato-lato. Main HP saat orang lain bicara saja sudah nggak sopan, ini malah main lato-lato. Seorang guru tampak menegur siswa tersebut. Mereka berhenti sejenak, dan beberapa menit kemudian mengulangi lagi permainannya. Suara lato-lato terdengar bersahut-sahutan dengan suara pembicara.
Seorang guru kembali menegur. Kejadian ini berlangsung hingga 3-4 kali, hingga akhirnya sang guru berteriak dari pinggir "Kalau tidak berhenti lato latonya ibu ambil!" . Saya sungguh sakit kepala melihat ini. Di kepala saya melayang-layang kata adab. Ternyata bukan hanya siswa PKBM yang dari latar belakang keluarga tidak mampu yang memiliki masalah adab. Siswa sekolah unggul pun ternyata perlu mencari adabnya.
Selanjutnya, saya dapat menyimpulkan audiens kali ini ternyata tak sesuai ekspektasi. Saat sesi diskusi dan tanya jawab, sejumlah peserta yang tunjuk tangan untuk menjawab pertanyaan dengan iming-iming hadiah, tampak berfikir lama untuk pertanyaan sederhana dari moderator.
"Ada yang tau, soda itu termasuk jenis minuman apa?" Seorang siswa menjawab setelah berfikir beberapa detik "Ngg...sprite, fanta.."
"Buku apa yang dibaca dalam 1 minggu ini? Ada yang berani maju dan ceritakan isinya kepada teman-teman di sini?" . Hening, tidak ada yang bergerak. Bahkan sekedar membaca komik pun tidak ada. Bagaimana kita bicara literasi kalau anak-anak yang sangat mampu menyisihkan uang jajannya untuk membeli buku ini tidak ada yang membaca buku?
Tahun lalu, saya bertemu salah satu guru besar dari Universitas Airlangga di Surabaya. Dalam obrolan ngalor ngidul, beliau melontarkan keluhan susahnya menghadapi mahasiswa saat ini. "Seperti ada yang saya sampaikan tapi mereka tidak paham. Kalau dibilang saya yang tidak bisa mengajar, tapi saya ini sudah puluhan tahun mengajar lho, mahasiswa saya sudah banyak yang jadi orang," demikian kurang lebih perkataan beliau saya ingat.
Dapat dikatakan kemampuan literasi dan cara berkomunikasi, tidak bisa dikatakan disebabkan latar belakang keluarga, status sosial ataupun tingkat pendidikan. Seringkali kita 'mewajarkan' anak-anak dari keluarga tidak mampu atau putus sekolah memiliki cara berkomunikasi yang kurang baik. Nyatanya, hal yang sama juga ditemukan di kelompok siswa dari keluarga mampu, meskipun dalam bentuk yang berbeda.
Kejadian-kejadian di atas, semakin menguatkan kita betapa pentingnya menggerakkan literasi di segala usia. Baik anak-anak hingga dewasa bahkan paruh baya. Literasi tidak sekedar membaca. Namun lebih dari itu, literasi adalah memahami, menyadari dan mengimplementasikan dalam sikap dan perbuatan. Literasi baik, akan berdampak pada komunikasi dan adab yang lebih baik lagi.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H