Lahan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia, yang di mana dari lahan tersebut dapat menghasilkan sumber daya alam. Permukaan lahan di bumi yang dapat dihuni hanya sekitar 25 % dengan dihuni sekitar 6 milyar jiwa sisanya permukaan lahan tersebut berupa samudera. Dimana luas lahan sekitar 14.800 juta ha dan sekitar 1.400 juta ha diliputi es sehingga tersisa hanya 13.400 juta ha sajalah yang dapat digunakan untuk semua kegiatan di bumi.[1] lahan  menjadi salah satu faktor keberhasilan dari pertanian, jika daerah di lahan tersebut maupun perawatan dilakukan dengan baik, karena hampir semua usaha pertanian berbasis pada sumber daya lahan. Lahan adalah suatu wilayah daratan dengan ciri mencakup semua watak yang melekat pada atmosfer, tanah, geologi, timbulan, hidrologi dan populasi tumbuhan dan hewan, baik yang bersifat mantap maupun yang bersifat mendaur, serta kegiatan manusia di atasnya. Jadi, lahan mempunyai ciri alami dan budaya.
Permasalahan sering terjadi jika bersangkutan denga lahan yaitu sengketa lahan, hal ini lah yang sering diributkan antara orang orang yang mengaku mempunyai hak atas tanah tersebut. Sengketa pertanahan sering kali terjadi di Indonesia, pada umumnya sengketa ini terjadi antara pihak satu dengan pihak individu lainnya namun sekarang bisa kita lihat bahwa persengketaan tanah tidak hanya terjadi  antara individu individu melainkan sudah terjadi di semua kalangan masyarakat contohnya seperti sektor pertanian, kehutanan, dan pertambangan. Selama ini kasus sengketa dapat diselesaikan dengan cara yang baik, baik penyelesaian di luar pengadilan yaitu secara negoisasi (Alternative Dispute Resolution (ADR)) maupun di pengadilan dengan cara diajukan ke pengadilan umum dan pengadilan tata usaha negara.
Faktor penyebab terjadinya sengketa tanah yang sering terjadi ialah tumpang tindih kepemilikan yang muncul dikarenakan lemahnya bukti bukti kepemilikan, bukti yan kurang kuat ini akan menimbulkan masalah. Bisa saja seseorang memanipulasi bukti atas kepemilikan tersebut terutama pada lahan lahan yang mnggunakan tanah adat. Hal ini akan berdampak pada masyarakat sekitar yang kehilangan hak atas wilayahnya dan juga sumber penghidupan akan menjadi berkurang.
Seperti yang terjadi pada kasus yang akan dibahas yaitu mengenai petani Kalesey Dua di Kabupaten Minahasa yang mempertahankan kebun terakhirnya. Pada 7 November 2022 sudah berjaga dan berkumpul di posko Solidaritas Petani Penggarap Kalesey Dua (SOLIPETRA) pada jam 06.00 WITA, tak lama dari itu setelah para petani menyempatkan diri untuk beribadah sekitar pukul 07.30 ratusan aparat mendatangi tempat itu. Perwakilan dari petani tersebut meminta agar upaya penggusuran dihentikan karena warga masih melakukan upaya hukum dengan menggugat SK Hibah Pemrov Sulut No. 368 Tahun 2021 kepada Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tentang tanah seluas 20 hektar di lahan yang sudah turun temurun dikelola oleh petani Kalesey Dua. Namun para aparat yang berjumlah ratusan itu tetap menorobos masuk dan lahan itu digusur habis oleh para aparat.
Sengketa yang terjadi antara para petani di Kalesey dengan aparat memperlihatka betapa kompleksnya sengketa peratanahan di Indonesia. Hal ini tidak hanya menyangkut klaim kepemilikan dari tanah tersebut melainkan hak atas tanah di Kalesey yang sudah dikelola oleh masyarakat selama bertahun tahun, kasus ini menunjukkan adanya timpang tindih kepemilikan dari tanah tersebut. Sengketa ini juga mencerminkan ketidakadilan dalam pembagian sumber daya alam yang seringkali mengesampingkan kepentingan masyarakat sekitar, para aparat pun memakai kekerasan untuk melakukan penggusuran wilayah tersebut. Seharusnya penyelesaian yang dilakukan lebih didorong daripada memaksa secara sepihak yang menyebabkan para petani tersebut terluka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H