akademisi peserta pelatihan Pekerti dosen yang mengerjakan tes mendahului ratusan peserta lain meski belum diperbolehkan panitia.
"Duh, skor kuis saya sudah 800 padahal pelatihan belum dimulai. Boleh dipakai nggak nih?"Â celetukan seorangSeringkali terbaca celetukan pamer senada di berbagai grup akademik yang tersebar di media sosial dan platform digital. Barangkali celetukan tersebut sudah dianggap sebagai normalisasi saking banyaknya terjadi di lingkungan akademis bahkan sebelum masa pandemi. Lebih-lebih lagi di masa pandemi, yang mana dunia virtual menjadi pusat aktivitas akademik maupun non-akademik sementara, sehingga tulisan senada yang berseliweran makin jelas terbaca dengan intensitas tinggi. Agaknya masyarakat akademisi di Indonesia sudah mulai terbiasa membaca kalimat bertendensi covert pamer semacam itu. Sebagian bahkan mungkin menganggapnya sebagai lelucon semata atau malah dijadikan sebagai bagian penting dari personal branding di lingkungan sejawat. Apakah salah jika seorang akademisi melakukan aktivitas covert pamer akademik?
Tercatat dalam website PDDikti milik Kemendikbud yang dikases per-Agustus 2021 bahwa jumlah dosen di Indonesia mencapai jumlah 294,687 dengan perguruan tinggi sebanyak 4,591 yang diakui pemerintah. Melihat data tersebut secara sekilas sudah dapat dibayangkan bagaimana persaingan ketat yang harus dilalui oleh ribuan -atau bahkan mungkin puluhan ribu dosen jika ditambahkan dengan jumlah yang belum terdata, untuk bisa mempertahankan eksistensinya sebagai seorang akademisi di perguruan tinggi. Jika dilihat dari perspektif matematis saja barangkali rasio tersebut masih berada dalam kurasi angka normal. Jika dilihat dari kacamata sosial, terbaca potensi polemik yang timbul di tengah gejolak persaingan yang terjadi. Salah satunya fenomena covert pamer. Secara teoritis, efek peningkatan daya saing berimplikasi positif terhadap kultur akademis dan kualitas akademik yang ditandai dengan berkurangnya budaya pasif. Peningkatan daya saing menjadi pemantik positif yang mengarah pada produk kinerja berbasis challenging untuk ditaklukkan oleh akademisi. Tetapi menghasilkan efek negatif jika peningkatan daya saing justru disikapi dengan kepanikan, sehingga menimbulkan gaya bersaing instan dan oportunis yang berorientasi pada kemenangan. Misalnya gaya senioritas, intervensi kepemimpinan, atau pembunuhan karakter di lingkungan sejawat. Efek terburuk dari gaya bersaing ala akademisi panik adalah budaya covert pamer yang overdosis.
Covert pamer secara harfiah diadopsi dari istilah covert marketing yang merupakan istilah ekonomi untuk menyampaikan pesan komersial kepada konsumen melalui cara yang tidak terduga. Kalau dalam pendidikan dapat direlevansikan dengan konsep pengembangan citra diri atau persepsi diri di mana seorang pendidik harus mampu menyampaikan internalisasi nilai kepada peserta didik melalui sikap dan gaya yang melekat dalam dirinya sebagai sosok uswatun hasanah. Dalam bahasa gaul, istilah covert pamer dikenal dengan humblebragging yang mana manusia dengan segala kelebihannya sebagai ciptaan Allah secara naluriah memiliki kemampuan tersebut.
Membaca fenomena covert pamer ini awalnya mungkin kita dapat berpikir positif, "Oh dia sedang membangun citra dirinya secara halus dan elegan sebagai seorang akademisi," Sayangnya, jika covert pamer ini dilakukan berulang kali secara tidak apik, hasilnya justru merepresentasikan citra individu sebagai tukang pamer terselubung. Dalam konteks ini, padanan kata pamer terselubung lebih mengarah pada konteks riya' dan overpride yang dapat membesarkan ego. Sikap convert pamer yang niatnya dilakukan untuk membangun citra diri secara elegan justru terkesan berlebihan dan mengarah pada banalitas intelektual yang dinormalisasi di ruang publik akademis.
Contoh sederhananya, akademisi A yang memiliki jabatan struktural di dalam lembaga melakukan covert pamer di sebuah grup. Apa yang dipamerkan si A sebetulnya bukan sesuatu yang 'wow' lagi di lingkungan akademik, tetapi mengingat jabatan si A yang tinggi secara kelembagaan maka akademisi di grup tersebut berlomba-lomba menyambut manis tindakan covert pamer yang dilakukan dengan memberikan feedback berupa pujian yang berlebihan. Saking berlebihannya, hingga rasa-rasanya jika dipaksakan berlindung dibalik kata 'apresiasi' tetap saja terasa janggal. Berbanding terbalik jika kebetulan ada si B yang jelas memiliki kompetensi intelektual baik, tetapi tidak berjabatan di lembaga. Capaian-capaian intelektualitasnya bahkan nyaris tidak terdengar jika kebetulan yang bersangkutan tipe pribadi yang enggan melakukan covert pamer di lingkungannya.
Jika diperhatikan dengan seksama, kondisi semacam ini seolah mengasumsikan bahwa covert pamer adalah milik mereka yang berkuasa sehingga sah-sah saja untuk dimanjakan dengan pujian yang overpride. Normalisasi lain mengarah pada anggapan bahwa lapang dadanya seorang akademisi terhadap pencapaian orang lain adalah jika mereka mampu yang menampilkan pujian berlebihan di ranah publik. Konteks ini menjadi kontradiktif dengan prinsip apresiasi yang semestinya mengedepankan nilai-nilai objektivitas dan sinergitas tanpa didominasi dengan tendensi politis tertentu.
Ada baiknya sebagai akademisi kita mengingat nasihat bijak di dalam kitab Al-Arba'in fi Ushul ad-Dien, di mana Ghazali mengutip peringatan Rasulullah, ''Jika seseorang berjalan kepada orang lain membawa sebilah pisau tajam, maka itu lebih baik daripada dia memuji seseorang di depan hidung orang tersebut.''Â Kalimat tersebut mengindikasikan ngerinya sebuah pujian. Ghazali bahkan menyebutkan bahwa orang yang suka memuji cenderung memiliki sifat munafik yang tampak manis di luarnya tetapi mematikan di dalamnya. Tentunya ruang pendidikan khususnya pendidikan Islam di Indonesia tidak ingin jika wadah keilmuan kita diwarnai dengan karakteristik tersebut.
Oleh karennya akademisi perlu mengembalikan batas kewajaran covert pamer yang hendak dilakukan. Salah satu caranya adalah melalui sikap menumbuhkan rasa peka. Seorang akademisi perlu menyadari betul bahwa tidak semua ruang dapat dijadikan sebagai media untuk covert pamer. Dengan kepekaan itulah rasa empati kita terhadap kondisi orang lain menjadi semakin terasah dan objektivitas terhadap keilmuan menjadi semakin luas. Terlebih selama masa pandemi, ada banyak luka dan derita dari sesama akademisi yang tidak mampu dilihat dengan telanjang mata, tetapi hanya dapat dibaca dan dirasakan melalui eksistensi individu di grup-grup dan sosial media saja. Menjadi akademisi adalah tentang membentuk citra diri akademis yang peka terhadap kondisi, bukan sekedar ramai dalam capaian intelektualitas namun sepi dalam nurani. Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H