Pertama-tama, kita harus bersyukur bahwa Mahkamah Konstitut Republik Indonesia (MKRI) pada tanggal 13 Agustus tahun 2023 ini sudah menginjak usia yang ke-20 tahun. Usia yang cukup dewasa bagi sebuah institusi tinggi negara ini. Ibarat seorang anak manusia, yang telah masuk dalam fase mengelola diri sendiri.
Dalam perjalanannya, bukan hal yang mudah untuk tetap menjaga marwah MKRI sebagai salah lembaga yang memiliki kekuasaan dalam kehakiman. Sesuai dengan tugasnya yang berhubungan dengan penegakan konstitusi, tentu menyediakan ruang kekuasaan yang sangat berdampak bagi para pihak yang dipertemukan dalam sidang.Â
Menyitir ungkapan dari Lord Acton,"power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely" (=kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang absolut, secara absolut akan korup), MKRI pun telah mengalami berbagai ujian. Tanpa harus melangkah ke belakang, semua punggawa MKRI harus ekstra hati-hati untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab, terutama sembilan hakim MKRI, yang disimbolkan langsung sebagai sembilan pilar yang berdiri kokoh di Gedung MKRI.
Kesembilannya harus tetap menjaga diri, sebagai penyokong keadilan dari semua sengketa yang tersaji di hadapannya. Namun, seperti ungkapan di awal, kita harus bersyukur karena MKRI masih tetap berdiri dengan kokoh di usia yang semakin bertambah.
Sebagai rakyat Indonesia, kita harus benar-benar memahami apa yang menjadi tugas dan kewenangan MKRI. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), pasal 24C ayat 1, MK bertugas dan berwenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (judicial review), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil pemilu (pemilihan umum).
Selain itu, dalam UUD 1945 tersebut, pasal 7 ayat 1-5, dan pasal 24C disebutkan bahwa MK berkewajiban untuk memberi keputusan atas pendapat DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) bahwa Presiden dan/atau Wakil Presidan telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sesuai konstitusi.Â
Dengan kata lain, MKRI berwenang untuk memutus upaya dalam pemakzulan Presiden/Wakil Presiden. Ini merupakan kewenangan yang sangat besar. Peran hakim MK dalam memutus perkara untuk dalam lingkup tugas, kewenangan, maupun kewajibannya, dianggap sebagai sebuah putusan yang final dan mengikat (binding). Sehingga, tidak ada upaya hukum lain yang bisa dilakukan apabila para hakim MK sudah mengeluarkan putusan.
Dari sini, kita harus banyak berdoa dan berharap, bahwa para penegak konstitusi yang dipercayakan di MK merupakan orang terbaik dari negeri ini, setidaknya menurut saya dalam dua kualifikasi: keahlian dalam hukum dan keahlian dalam menjaga integritas. Ada banyak ahli hukum, namun belum tentu berintegritas. Orang yang berintegritas, sebaiknya pun paham hukum, meski berbicara hukum konstitusi, tetap memerlukan banyak perspektif.
Lalu apa yang menjadi tantangan MKRI saat ini?
Pertanyaan ini, sejenak memutar memori saat pernah mengikuti temu wicara konstitusi yang diadakan oleh MKRI 25-27 Maret 2011 di Jakarta. Sudah 12 tahun berlalu, namun kesan bahwa pemahaman konstitusi memang sangat penting untuk terus digaungkan untuk semua kalangan.
Saat itu, dalam setiap sesi acara, para hakim konstitusi bisa menjabarkan pentingnya pemahaman berkonstitusi dan bagaimana hukum acara yang berlaku di MKRI.Â
Dengan uraian tersebut, para peserta dapat memahami peran warga negara untuk bisa mengawal proses pembentukan undang-undang (UU) dan bila sudah disahkan menjadi undang-undang, bisa kembali diuji (judicial review) di MK untuk memastikan bahwa UU tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan hak konstitusional warga negara.Â