Penggemar musik jazz pasti tidak asing dengan event Ngayogjazz. Tanpa terasa, acara perhelatan musisi jazz yang rutin diadakan di Yogyakarta ini telah menginjak tahun ke-10. Saya sendiri mengenal Ngayogjazz dari ajakan teman untuk menonton pentas jazz yang diselenggarakan di Pasar Seni Gabusan pada tahun 2009 silam. Ketika itu saya masih buta mengenai jazz, pikiran saya tidak sampai membayangkan seperti apa dan bagaimana musik itu. Saya hanya tahu bahwa salah instrumen yang digunakan, sebut saja saxophone, mahal harganya dan penikmat musik seperti ini pasti harus mengeluarkan uang yang lumayan untuk menonton sebuah konser jazz. Namun, satu kalimat teman saya yang membuat saya beranjak pergi adalah, “Datang saja, gratis!”.
Ngayogjazz memang konsisten membumikan musik jazz ke kalangan yang lebih luas, masyarakat pada umumnya. Tidak peduli dari kalangan, profesi, latar belakang apa anda berasal, Ngayogjazz merangkul semua. Bayangkan saja, dalam satu kali penyelenggaraan Ngayogjazz, ada lebih dari 5 panggung yang disediakan dan semuanya gratis. Musisi yang hadir pun tidak bisa dipandang sebelah mata. Sejauh yang pernah saya saksikan, ada Dewa Budjana, Tohpati, Syaharani, Dwiki Dharmawan, Idang Rasjidi, Trie Utami, Glenn Fredly, Balawan, dan sederet musisi papan atas jazz tanah air lainnya yang belum saya tuliskan. Belakangan penampil dari komunitas-komunitas jazz dalam dan luar negeri juga semakin bertambah.
Di tahun 2016 ini, Ngayogjazz mengambil tema “Hamemangun Karyenak Jazzing Sasama” atau Membangun Karya Jazz yang Indah bagi Sesama Manusia (jogja.tribunnews.com). Tuan rumah penyelenggaraannya adalah Dusun Kwagon yang terletak di barat Kota Yogyakarta. Dusun ini lebih dikenal sebagai sentra industri genteng dan batu bata. Jadi, bisa dibayangkan para musisi jazz tampil di tengah-tengah pabrik pembuat genteng. Nama panggung-panggungnya pun diambil dari nama-nama genteng seperti garuda, paris, kodok, kripik, krepus, dan wuwung. Di sinilah kekuatan Ngayogjazz yang membuatnya mampu memikat segala kalangan.
Tidak hanya membumikan jazz semata, Ngayogjazz juga telah berperan mengangkat kearifan lokal setempat sekaligus mempromosikan desa wisata yang menjadi lokasi penyelenggaraannya. Pada tahun-tahun sebelumnya Ngayogjazz pernah diselenggarakan di Tembi, Gabusan, Brayut, dan desa wisata lain di Yogyakarta. Di lokasi yang seperti ini, interaksi antara panitia, musisi, penduduk setempat, dan penonton terjalin dengan apik. Semuanya membaur tanpa sekat dan menikmati eventjazz terbesar di Yogyakarta ini dengan caranya masing-masing.
Musisi jazz yang mendukung Ngayogjazz tentu mendapatkan pengalaman baru menampilkan karyanya di tengah pedesaan dan berinteraksi langsung dengan masyarakat yang belum tentu pernah mengenal jazz sebelumnya. Saxophonist Ricad Hutapea di tengah penampilan panggungnya semalam mengaku senang bisa terlibat untuk pertama kali dalam keseruan Ngayogjazz ke-10 di Dusun Kwagon ini. Masyarakat setempat pun memiliki syukurnya sendiri ketika dusunnya menjadi tuan rumah. Beberapa rumah mendirikan “warung dadakan” yang menyediakan makanan dan minuman bagi para pengunjung. Ada juga warga yang mempersilakan kamar mandi rumahnya dipakai untuk keperluan buang air kecil. Pun lahan warga disediakan untuk sarana parkir kendaraan. Semua merasakan manisnya Ngayogjazz.
Akhirnya bagi masyarakat Yogyakarta dan penonton pada umumnya, Ngayogjazz menjadi alternatif untuk menikmati jazz tanpa memikirkan gengsi. Saya sendiri mulanya sulit menerima musik jazz, namun berkat Ngayogjazz dan eventserupa lainnya, saya perlahan-lahan jatuh cinta. Tidak perlu berdandan necis, berduit, berpendidikan tinggi untuk dapat menikmati jazz. Melalui Ngayogjazz semua diajak untuk hadir, semua diajak untuk mengenal jazz, menyebarkan virus Aedes AeJAZZty. Salam! AMDG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H