Saya awali tulisan ini dengan sebuah pengakuan dosa bahwa sudah lama saya tidak aktif menulis di Kompasiana. Postingan terakhir tercatat saya unggah pada 7 Oktober 2015. Itu artinya satu tahun saya menelantarkan media yang sudah saya ikuti sejak tahun 2012 silam. Minggu ini, saya kembali tergelitik untuk menebus dosa, kembali dalam dunia sepi kepenulisan setelah sebelumnya turut serta mendukung sebuah kampanye anti plagiasi yang diselenggarakan dalam rangka Festival Integritas Kampus Komisi Pemberantasan Korupsi 2016 dengan menjadi moderator sebuah workshop. Workshop tersebut menghadirkan penulis dan kolumnis ulung, St. Kartono yang tidak lain adalah guru saya di SMA. Materi yang dibawakan beliau sangat menarik dan relevan untuk saya tulis di sini sebagai pematik awal keberanian menulis kembali.
Salah satu alasan mengapa saya tidak menulis dalam jangka waktu lama adalah tidak mampu menemukan topik yang baik untuk sebuah tulisan. Satu tahun, ada banyak fenomena menarik yang berlalu begitu saja tanpa ada kesempatan bagi saya untuk membuat sebuah tulisan. Banyak fenomena, namun saya terlalu bingung memilih topik untuk diangkat. Hal ini nampaknya yang ditangkap St. Kartono sebagai fenomena umum kebingungan orang-orang dalam memulai menulis.
St. Kartono mengungkapkan bahwa ide itu banyak dan luas. Ia menggunakan sebuah metafora mengenai jamuan makan perkawinan atau dalam budaya Jawa disebut resepsi.Tamu yang datang ke sebuah acara perkawinan akan disuguhkan berbagai macam makanan oleh empunya hajat. Apabila kita adalah tamu tersebut dan makanan yang tersaji adalah ide, maka jelaslah keinginan kita untuk ‘melahap’ semua ide dalam sebuah tulisan. Inilah yang kerap membuat tulisan melebar dan tak tentu fokusnya. Kita kerap tidak menyadari bahwa piring yang kita bawa untuk mengambil makanan tidaklah cukup menampung banyaknya makanan tersebut.
Piring adalah batasan yang muncul dalam penulisan. Apabila kita akan mengikuti sebuah kompetisi menulis, tentu ada beberapa syarat yang harus kita perhatikan. Salah satunya adalah pembatasan panjang tulisan. Oleh karena batasan tersebut, kita tidak bisa seenaknya memasukkan semua ide di kepala ke dalam tulisan. Maka dari itu, perlu dilakukan ekstraksi gagasan. Contohnya apabila kita berkunjung ke Yogyakarta dan mendapati bangunan tua yang unik ketika berjalan-jalan. Kita dapat membuat tulisan dengan beberapa topik yang fokus pada sejarah, kegunaan, aspek sosial, budaya, atau lebih banyak lagi tergantung pada interest kita.
Topik yang dipilih setidaknya memenuhi kriteria konkret dan tajam. Konkret artinya nyata dan mampu dideskripsikan. Sedangkan tajam artinya fokus, mengupas satu hal dengan mendalam. Barulah setelah selesai dengan sebuah tulisan, kita bisa mencicipi topik di meja prasmanan lain. Demikian seterusnya. Saya rasa ini menjadi metafora yang konkret menjelaskan bagaimana baiknya memulai sebuah tulisan. Ah! lebih penting lagi adalah untuk berani memulai menulis. Saya dan banyak orang mungkin masih jauh dari kriteria penulis yang baik. Namun, ada baiknya mulai menulis daripada tidak sama sekali. Selamat memilih hidangan! AMDG.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H