Mohon tunggu...
Ni Komang Triana Candraswari
Ni Komang Triana Candraswari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa PPG Calon Guru Universitas Pendidikan Ganesha

Mahasiswa calon guru memiliki minat di bidang pendidikan, kebudayaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjalin Hubungan Sesama Manusia Lewat Tradisi Perang Tipat (Siat Tipat Bantal) di Desa Adat Kapal

1 November 2024   18:06 Diperbarui: 1 November 2024   18:44 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BADUNG, BALI

Kata "perang" mungkin terdengar menyeramkan di telinga kita. Perang bukanlah selalu tentang konflik atau pertikaian. Di Desa Kapal, Kabupaten Badung, Bali. Kata perang merujuk pada sebuah tradisi bernama "Perang tipat". Perang Tipat atau yang biasa disebut "Siat Tipat Bantal" oleh masyarakat merupakan sebuah tradisi yang diadakan di desa Adat Kapal setiap tahunnya tepatnya pada hari purnama yang sakral yaitu Purnama Kapat. Hari suci Purnama kapat dimaknai sebagai hari suci purnama yang penuh berkah sebagai pertanda datangnya musim hujan.

Dalam konteks adat Bali, tradisi seperti Perang Tipat melibatkan nilaI-nilai spiritual yang kental sekaligus menjadi media untuk memperkuat hubungan sosial antarwarga desa. Meskipun terlihat sebagai permainan “lempar-lemparan”, Perang Tipat justru sarat akan pesan kebersamaan dan harmoni. Dalam setiap rangkaian acara ini, peserta terlibat dalam simbolisasi upaya menjaga keselarasan hubungan antar manusia, manusia dengan alam, serta manusia dengan Sang Pencipta. Lalu, bagaimana hubungan manusia terjalin melalui tradisi yang unik ini?

Memaknai Perang Tipat sebagai Simbol Persaudaraan

Rangkaian tradisi Perang Tipat dimulai dari acara persembahyangan bersama di Pura Puseh Desa Adat Kapal, yang diikuti oleh seluruh warga tanpa memandang usia. Persembahyangan ini sebagai wujud syukur atas limpahan rezeki dan berkah yang telah diterima selama setahun penuh. Setelah persembahyangan selesai, warga akan beralih ke pelataran desa, memulai ritual perang yang hanya menggunakan tipat atau ketupat sebagai "senjata". Ketupat atau tipat ,dijadikan sebagai sarana "perang" dalam tradisi ini. Tradisi perang tipat dilaksanakan dikarenakan konon dahulu di Desa Kapal terserang musibah dan paceklik. Saat itu kemudian diberikan petunjuk bahwa harus melaksanakan persembahan dengan mempertemukan "purusa" dan "predana" yang disimbolkan melalui Tipat dan Bantal. Setelah dilaksanakanya tradisi Siat Tipat Bantal ini perlahan paceklik dan musibah bisa teratasi. Pada saat tradisi Perang Tipat berlangsung, warga yang terlibat akan saling melempar ketupat, namun tanpa niat menyakiti. Justru, mereka melakukannya dengan rasa gembira, bahkan penuh tawa. Inilah pesan yang ingin disampaikan oleh masyarakat Desa Kapal bahwa konflik antar manusia, pada akhirnya, harus diselesaikan dengan kebersamaan. Setelah dilaksanakan perang tipat, biasanya masyarakat melakukan tradisi "megibung" yaitu makan bersama. Rasa kebersamaan terbentuk dan terjalin erat antar masyarakat melalui kegiatan megibung ini. 

Melalui Perang Tipat Menyatukan Generasi

Uniknya, Perang Tipat melibatkan semua lapisan masyarakat, mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua. Keterlibatan ini menunjukkan nilai-nilai kekeluargaan yang kental dan memperlihatkan bagaimana sebuah tradisi bisa menjadi jembatan penghubung antar generasi. Tradisi seperti Perang Tipat tidak hanya menjadi ajang berkumpulnya masyarakat, tetapi juga menjadi sarana untuk mewariskan nilai-nilai kebersamaan pada generasi muda. Hal ini penting, mengingat kemajuan zaman dan arus globalisasi seringkali membuat generasi muda cenderung melupakan budaya dan tradisi lokal.

Sebagai Simbol Persatuan

Tradisi Siat Tipat Bantal mencerminkan semangat kebersamaan, persatuan, dan cinta damai yang dimiliki oleh masyarakat Bali. Tradisi ini menekankan bahwa dengan adanya perbedaan, kita bisa tetap hidup berdampingan dengan rukun dan saling menghormati. Keberlanjutan tradisi Perang Tipat atau Siat Tipat Bantal di Desa Kapal menjadi bukti bahwa budaya lokal mampu mengajarkan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan bagi seluruh manusia. Melalui Perang Tipat, di balik kesederhanaan dan kesakralannya, menjadi pengingat bahwa esensi kehidupan bermasyarakat adalah menjalin hubungan yang harmonis, menjaga solidaritas, dan merayakan kebersamaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun