Saya masih ingat ketika masih bekerja di kota Surabaya beberapa tahun lalu. Bersama teman saya, asal Aceh, makan di warung ikan segar, di daerah Sedati, Juanda.
"Mari mas, silakan masuk. Makan pake ikan apa?" tanya ibu setagah baya, pemiliki warung.
"Kakap merah, dua bu."
"Tunggu ya, sabar. yang pesan cukup banyak."
Kami duduk di tikar, alias lesehan. Beberapa kali suara pesawat mengelegar diatas warung itu, seperti bunyi seng yang dipukul beramai-ramai.
Kira-kira 10 menit, "ini mas pesannya"
"terima kasih." sahut temanku.
Kami menikmati sajian ikan kakap nerah diiringi suara dangdut koplo, karena beberapa meter dari warung itu ada orang yang lagi punya hajatan.
"Buset! bang. udah habis nasi sepiring?"
"Lapar."
"Bu, tambah nasi ya?" suara dangdut koplo menghambat pendegaran.