Mohon tunggu...
Nikolas Mauladitiantoro
Nikolas Mauladitiantoro Mohon Tunggu... Lainnya - hanya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan

Seorang introvert pecinta kuliner dan terkadang mengamati permasalahan yang ada di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Bea Keluar Progresif Nikel: Siapa Untung, Siapa Buntung?

25 Oktober 2022   17:24 Diperbarui: 25 Oktober 2022   17:36 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada medio tahun 2022, pengusaha pertambangan digemparkan dengan kebijakan baru dari Pemerintah Indonesia. Pasalnya, Indonesia merilis PP RI No. 26/2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia. Di dalam PP tersebut, diatur pula bea keluar atau pajak ekspor progresif salah satu mineral yakni nikel. Tak hanya nikel, kabarnya pemerintah bakal menerapkan juga ke komoditas mineral lainnya seperti timah dan bauksit. Untuk besaran pajaknya adalah 5% untuk harga US$15.000 hingga US$16.000 per ton. 

Menurut pemerintah Indonesia, kebijakan ini berfungsi untuk mendorong hilirisasi dan mengembangkan investasi produk nikel yang memiliki nilai tambah. Lalu selanjutnya untuk menjaga cadangan bijih nikel sebab sumber daya alam ini tidak bisa diperbaharui.

Namun yang menjadi janggal adalah, apakah pemerintah sudah melihat dari sudut pandang lainnya, salah satunya dari kacamata pengusaha. Sebab, kebijakan yang 'bijak' tentu harus disepakati oleh kedua belah pihak agar kebijaksanaan nyata terjadi, kan? Lalu mengapa kebijakan pajak progresif nikel harus dilaksanakan ketika ekonomi dunia sedang tidak pasti?

FYI, menurut International Monetary Fund (IMF) sendiri, ekonomi global akan mengalami 'kelam kabut'di tahun 2023. Tanda-tandanya pun sudah terlihat, salah satunya adalah meningkatnya inflasi global dan adanya 'teror' resesi keuangan pada beberapa negara gegara pasar keuangan global rupanya sedang tidak stabil. IMF bahkan memprediksi output global akan mencapai US$4 triliun di sepanjang 2022-2026, hal ini disebabkan ekonomi dunia yang sedang mundur.

Padahal, BKPM melaporkan kalau 5 sektor dari Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri yakni industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya mencapai investasi Rp131,8 triliun, disusul dengan pertambangan Rp96,5 triliun. Hal ini didukung pula oleh data dari Minerba One Data Indonesia (MODI) dari ESDM, pada Senin (3/10), penerimaan negara dari sektor pertambangan minerba mencapai Rp118,34 triliun. Besaran pemasukan tersebut bahkan melebihi target rencana penerimaan Indonesia tahun 2022 yakn Rp42,37 triliun. Waw, lebih dari 279,32% dari target, loh!

Tambahan lagi, Indonesia juga mengalami pertumbuhan ekspor barang pada Q2 2022, khususnya di sektor pertambangan. Menurut BPS, ekspor dari sektor pertambangan mencapai US$5,93 miliar yakni tumbuh 103,6% dari tahun 2021 (yoy). 

Namun, dengan adanya bea keluar progresif nikel ini, beragam produk nikel yang hendak dikirim ke luar negeri, apalagi yang barang intermediate akan dikenakan pajak, loh! Nah, apakah ini akan merepotkan pelaku usaha pertambangan dan bikin kemunduran bagi pencapaian Indonesia di atas? Tentu iya!

Hal ini diamini oleh Bernadus Irmanto, Direktur Keuangan emiten pertambangan nikel dari PT Vale Indonesia Tbk (INCO). Ia menilai jika pemerintah nantinya menetapkan kebijakan pajak progresif nikel, maka dapat dipastikan akan menekan industri nikel dalam negeri. Ia juga menambahkan, jika tujuan pengenaan pajak ini bertujuan untuk mendorong hilirisasi, perlu dikaji ulang kembali terkait kapan waktu tepat dilaksanakannya serta ketersediaan fasilitas hilirisasi di Indonesia. 

Kalau memang bea keluar progresif nikel ini diterapkan untuk produk nikel intermediate, mengapa Indonesia tidak fokus pada pembuatan industri dan fasilitas pengolahannya saja, agar Indonesia mampu berdikari atas sumber daya alam yang dimiliki. 

Mengenai ketersediaan fasilitas hilirisasi tersebut, CEO PT IMIP, Alexander Barus menerangkan, bahwa saat ini Indonesia masih mengalami kekosongan pada industri intermediate. Dia menjelaskan, dari tiga tingkat kini Indonesia sudah memiliki pabrik untuk tingkat kedua pengolahan bahan baku feronikel yang memproses 3 juta metrik ton. Di tingkat ketiga inilah Indonesia masih kekosongan alias tidak memiliki industri yang mengolah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun