Polemik sedang membuntuti pejabat negara. Indikasi serta derasnya pemberitaan bertubi-tubi mengarah kepada para pembantu Presiden tersebut. Hingga akhirnya, keterlibatan mereka terbongkar publik.
Kini publik bertanya, apakah Presiden mengetahui hal tersebut? Apakah Presiden mendengar suara rakyat yang mencecar habis-habisan para menterinya? Atau jangan-jangan, Presiden sedang mempelajari alur rangkaian gurita bisnis PCR yang mencekik rakyat selama pandemi Covid-19?Â
Apapun pertanyaan yang terlontar, jawabannya 'toh masih sama. Belum menemui titik terang! Dari sejak terkuaknya kasus tersebut di awal bulan November hingga kini, Presiden Jokowi belum mengeluarkan sikap untuk menindak tegas para menterinya sesuai hukum yang berlaku.
Kendati demikian, publik pun tak hanya tinggal diam menunggu keputusan presiden. Sejumlah ormas dan tokoh politik sudah bergerak melaporkan menteri-menteri yang terlibat dalam dugaan korupsi di bisnis tes  PCR ke aparat penegak hukum seperti KPK, BPK hingga DPR.
Memangnya menteri-menteri yang terlibat dalam bisnis PCR ini bisa dilaporkan ke penegak hukum dan ditindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku? Itu yang pertama. Kedua, apakah para penegak hukum akan bertindak secara profesional? Atau, bisa saja sudah ada "skenario" yang telah dijalankan? Suara-suara di ruang publik pun deras dengan ragam pertanyaan terkait. Benarkah menurutmu?
Sebagaimana halnya dengan suara yang keluar dari seorang Asfinawati, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tersebut bersuara karena berdasarkan ungkapan Jodi Mahardi, Jubir Kemenko Marves yang dibawahi oleh Menko Luhut Binsar Pandjaitan. Secara gamblang, Asfinawati mengindikasikan ada keterlibatan bosnya dalam PT GSI meski memiliki saham hanya 10 persen.
Asfinawati mengatakan bahwa bosnya itu menerima manfaat lebih kecil dan poin yang ditekankan adalah ketidakjujurannya meskipun sahamnya hanya 10 persen saja.Â
Asfinawati lebih lanjut mengatakan bahwa Luhut dan juga menteri lainnya yang terlibat bisa dikenakan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Menurut Asfinawati, nepotisme itu tidak harus dengan bukti korupsi. Keterlibatan Luhut yang mempunyai saham 10 persen di perusahaan bisa jadi bukti.
Selain itu dirinya juga mengingatkan Perpres Beneficial Ownership atau Peraturan Presiden Nomor 13 tahun 2018. Peraturan ini menjelaskan tentang Penerapan Prinsip Mengenali Manfaat dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Pada peraturan tersebut mengatur pemilik manfaat baik orang perorangan untuk memiliki kewenangan untuk mengangkat, menggantikan, atau memberhentikan anggota direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina atau pengawas pada korporasi dan memiliki kemampuan untuk mengendalikan korporasi sehingga berhak dan atau menerima manfaat dari korporasi secara langsung atau tidak langsung serta menyoal kepemilikan saham lebih dari 25 persen hak suara lebih dari 25 persen, menerima keuntungan lebih dari 25 persen laba per tahunÂ