Namun, setelah bertambahnya jumlah penduduk dan dikenalnya Budaya Eha’a ini, proses pemanenan buah kelapa jadi dilakukan secara bersama-sama, dan buah kelapa yang dipanen dalam sekali panen ini jumlahnya sangat banyak. Proses memanen buah kelapa dalam jumlah yang banyak secara bersama-sama ini, oleh masyarakat setempat dikenal dengan istilah ‘Mako’e’.
Pada saat ingin memulai Budaya Eha’a, para tetua adat dan Ratumbanua (Ketua adat) akan berkumpul di kebun kelapa mayarakat. Biasanya para tetua adat akan mengenakan jubah berwarna ungu, dan hanya Ketua adat saja yang mengenakan jubah berwarna kuning.Â
Di lahan mereka akan berdiri di sekitar patok yang terbuat dari pohon kelapa yang di bagian ujungnya dilingkari kain berwarna merah.Â
Nahh…perlu diketahui lahan yang sudah diberi patok tidak boleh dilintasi dan buahnya tidak boleh diambi, biasanya Budaya Eha’a dilakukan selama 3 bulan.Â
Lalu, perwakilan dari tetua adat akan membawa patok tersebut ke tempat tetua adat, Ratumbanua, dan masyarakat berkumpul. Setelah kedua patok sampai, para tetua adat akan berkumpul dan membacakan doa dalam bahasa lokal. Dan setelah itu barulah masyarakat bisa mulai melakukan pekerjaannya, seperti memanen buah kelapa, membersihkannya, dan mengolahnya.
Aspek social budaya (People)
Dilihat dari aspek social budayanya, Budaya Eha’a dapat diterima oleh masyarakat setempat, dibuktikan dengan budaya ini tetap diturunkan dan tidak luntur. Budaya Eha’a ini akan dilakukan secara bersama-sama antar masyarakat, dimana budaya ini dapat mempererat hubungan social antar masyarakat setempat, terutama antar petani kelapa.
Makna mendasar dari budaya ini adalah keikhlasan dan ketulusan. Dimana setiap masyarakat akan saling bahu membahu atau melakukannya secara gotong-royong, mulai dari saat panen, pembersihan buah, sampai pengolahan buah kelapa. Dan secara tidak langsung sistem gotong-royong ini akan meringankan pekerjaan petani.Â
Namun seiring berjalannya waktu, makna dari Budaya Eha’a ini mulai bergeser, karena masyarakat terutama petani kelapa dihempit dengan kebutuhan akan uang.
Aspek Ekonomi (Profit)
Jika melihat aspek ekonomi, budaya Eha’a ini percaya tidak percaya dapat meningkatkan ekonomi masyarakat setempat, karena dengan melakukan Eha’a ini dipercaya hasil produksinya akan lebih banyak, dan ketika dijual pendapatan petani akan meningkat.