Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Antara Vicky Prasetyo, Caisar dan Jejaring Sosial (Social Network)

15 September 2013   10:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:52 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Tren baru muncul dengan tiba-tiba. Perilaku seseorang dengan nama Vicky Prasetyo sontak menjadi pembicaraan dimana-mana. Cara berbicara yang ‘sok’ intelek dengan beragam kosakata ‘absurd’ nya seakan sekarang menjadi jargon populer yang menggantikan kosakata ‘gaul’ sebelumnya seperti ‘galau’ atau ‘unmood’. Hanya saja, kosakata ciptaan dan rekaan Vicky seperti kontroversi hati, konspirasi kemakmuran, labil ekonomi, kudeta, harmonisisasi, atau statusisasi menjadi olok-olokan dan penggunaannya sengaja dilebih-lebihkan.Seseorang akan sengaja menciptakan satu kata dengan penambahan imbuhan berupa akhiran –si atau –sasi merujuk pada kontroversi, konspirasi, harmonisisasi atau statusisasi ala Vicky. Misalnya, sebut saja seseorang akan menggunakan namanya sendiri untuk di ‘-sasi’ kan: Andisasi, Budisasi, dan sebagainya. Hampir semua penyimak fenomena ini sadar bahwa ‘tabiat’ Vicky ini tidak tepat dan bukanlah kata-kata yang menunjukkan keintelektualitasannya. Sebaliknya, Vicky terlihat (maaf) bodoh dan membingungkan karena susunan kalimat dan penggunaan kosakata ‘sok’ inteleknya susah dipahami dan hampir tidak bermakna. Seperti menurut seorang peneliti bahasa, Gaffar Rushkan dari wawancaranya dengan surat kabar Tempo (Selasa, 10 September 2013) yang menyatakan bahwa tindakan Vicky ini bukanlah sebuah tindakan intelek, namun lebih kepada faktor gengsi. Penggunaan istilah asing malah akan mengaburkan makna sebenarnya, apalagi Vicky nampaknya tidak benar-benar memahami makna yang sebenarnya dari kosakata-kosakata tersebut. Kosakata Vicky yang menjadi populer dan bahan olok-olok tersebut menunjukkan bahwa semua penyimak media (masyarakat) sadar bahwasanya bahasa begitu penting. Penggunaan bahasa yang salah akan menimbulkan kesalahpahaman, ketidaktahuan dan bahkan ‘pelecehan’ dalam hubungannya dengan komunikasi. Bila sudah seperti ini, seharusnya masyarakat juga harus melihat fenomena bahasa ini dengan gambaran yang lebih besar. Bila banyak yang mengejek Vicky dengan kosakata ‘sok’ intelek dan pidato bahasa Inggrisnya pada pemilihan Kades yang juga dianggap tidak dapat dipahami dan salah, kita juga harus melihat kasus-kasus lain yang juga serupa. Vicky di dalam video yang diunggah di Youtube juga terkenal dengan penggunaan bahasa Inggris yang ‘amburadul’ seperti twenty nine my age, my said, inpest, japanese and Asia, dan sebagainya. Rasanya, kita juga perlu menyimak ‘common mistake’ atau kesalahan umum dalam bahasa Inggris yang dipakai oleh masyarakat Indonesia, terutama yang terjadi di dalam media massa dan jejaring sosial di Internet. Perihal fenomenal lain yang muncul di media televisi misalnya, adalah goyang atau joget Caisar dengan musik dangdut yang dinamis. Begitu populernya Caisar dan goyangan yang diciptakannya dalam beberapa show di sebuah stasiun televisi seakan bersanding dengan goyang ala Korea Gangnam Style atau ala Amerika, Harlem Shake. Selain goyangannya yang enerjik dan melibatkan massa, Caisar juga dikenal dengan penggunaan bahasa Inggrisnya, yaitu ‘Keep Smile’ yang diucapkan sebelum musik dan goyangan dimulai. Bila kita menjadikan penggunaan bahasa Inggris dan sok intelek campur aduk ala Vicky sebagai bahan ejekan karena kesalahan-kesalahan Vicky sendiri, ada baiknya kita juga sadar bahwasanya penggunaan frasa keep smile adalah tidak tepat. Ketika seorang pembicara bahasa Indonesia sadar dalam menggunakan bahasa asing, ia juga harus sadar untuk memahami ‘aturan main’ penggunaan bahasa asing itu sendiri. Dalam kasus Caisar, keep smile hanyalah terjemahan bebas dari bahasa Indonesia ‘tetap tersenyum’ tanpa mengindahkan aturan dalam bahasa Inggris itu sendiri. Di dalam bahasa Inggris kata keep adalah sebuah kata kerja atau verba (verb) yang ketika diikuti oleh sebuah kata kerja lainnya, harus ditambahkan dengan –ing. Kata smile yang semula juga merupakan sebuah verba harus diubah menjadi verba yang dinominakan (kata benda) atau noun dalam bahasa Inggris. Kasus ini disebut dengan gerund. Jadi, frasa keep smile harusnya menjadi keep smiling. Begitu juga dengan verba lain setelah kata keep: keep talking, keep walking, keep thinking, keep making, dan sebagainya. Beberapa kata lain dalam bahasa Inggris yang harus diikuti dengan bentuk gerund adalah avoid, enjoy, finish, miss, imangine atau stop. Misalnya ketika kita memutuskan menggunakan kata stop, verba setelahnya harus berupa gerund: ‘I can’t stop thinking about you’ bukan ‘I can’t stop think about you.’ Tulisan ini tidak menyoroti pada kesulitan atau ketidaktepatan pelafalan (pronounciation) bahasa Inggris, seperti yang biasanya diutarakan oleh para non pengguna bahasa Inggris. Karena pelafalan bahasa Inggris sendiri memiliki banyak dialek, dialek Amerika, Inggris, Australia, Eropa, Jamaica, Afrika, Singapura bahkan melayu. Oleh sebab itu Indonesia pun pasti memiliki dialek khas tersendiri yang membedakannya dengan bahasa Inggris yang berasal dari negara asalnya (Inggris dan Amerika). Jadi pelafalan, selama masih dapat dipahami, bukan merupakan letak kesalahan Caisar, melainkan tata bahasa dan ketidakpahamannya (atau siapapun yang menggunakan kata keep smile) pada bahasa Inggris. Daftar ‘kesalahan’ ini juga ternyata cukup panjang. Penggunaan bahasa asing ‘ala Vicky’ sebenarnya terjadi di banyak sisi, terutama yang akan disoroti adalah dalam dunia jejaring sosial. Di Facebook misalnya, penggunaan istilah tfc (thanks for confirm), frasa thanks God di dalam status, (feel) boring, atau unmood (silahkan cek tulisan saya mengenai unmood disini), digunakan secara sporadis tanpa memperhatikan kaidah tata bahasa, penulisan, dan makna yang tepat. 1. Tfc yang biasa dikenal sebagai kependekan dari thanks for confirm juga merupakan terjemahan bebas dari bahasa Indonesia ‘terimakasih karena sudah mengkonfirmasi’ atau ‘terima kasih atas konfirmasinya’. Ini tidak tepat, karena yang seharusnya dipahami adalah thanks for confirming atau thanks for the confirmation. Sebuah verba dalam bahasa inggris harus ditambahkan dengan suffix (imbuhan) –ing (gerund) bila didahului dengan preposition (kata depan) seperti at, in, on, for, to, atau kata-kata seperti before, after, beside, dan sebagainya. Misalnya saja kalimat ‘I am good at making people happy’ (saya pintar membuat orang bahagia) adalah tepat karena setelah preposition at verbanya menjadi gerund. Begitu pula dengan tfc harusnya menjadi thanks for confirming karena verba confirm menjadi gerund setelah preposition for. Kata confirm dapat pula diubah menjadi nomina dengan suffix –ion menjadi thanks for the confirmation. 2. Thanks God juga tidak tepat. Kesalahan umum yang sangat sederhana. -      Thanks adalah bentuk informal dari thank you yang artinya terimakasih. -      Thank merupakan verba yang berarti ‘berterimakasih’. -      Thanks juga merupakan nomina jamak dari thank. Jadi thanks bisa berarti ‘banyak terimakasih’. Jadi frasa thanks God adalah terjemahan bebas dari ‘terimakasih Tuhan’ atau ‘alhamdullilah’ atau mengutarakan kelegaan dan rasa syukur. Pada faktanya, dalam bahasa Inggris tidak dikenal frasa thanks God, melainkan thank God (tanpa huruf ‘s’). Thank God adalah tepat karena konsepnya thank God adalah ‘I thank God’ atau saya berterimaksih kepada Tuhan. Merunut pada penjelasan thanks pada poin pertama diatas, thanks God bisa saja benar bila kita berkomunikasi langsung dengan Tuhan: thanks, God (terimasih ya Tuhan), sama seperti berterimakasih kepada seorang teman atau kekasih atas hadiah yang ia berikan ‘thanks for the gift’ (terimasih ya atas kadonya). Jadi, ketika seseorang bersyukur atas apa yang terjadi, atau merasa lega terhadap sebuah situasi, ia harus mengatakan ‘thank God’ bukannya ‘thanks God’. 3. Kesalahan umum lainnya adalah penggunaan kata boring. Lagi-lagi secara literal, boring diterjemahkan sebagai bosan. Padahal boring adalah bentuk adjektiva (kata sifat/adjective) dalam bahasa Inggris yang merupakan present participle. Dalam bahasa Inggris, ada dua bentuk adjective, yaitu present participle dan past participle. Present participle biasanya adalah sebuah adjektiva yang ditambahkan dengan akhiran –ing yang menunjukkan ‘sifat’ sesuatu. Misalnya interesting, amazing, relaxing, dan boring. Benda atau keadaanlah yang dapat dijelaskan dengan kata-kata ini. Misalnya: ‘the movie is interesting’ (film tersebut menarik), ‘you are amazing’ (anda luar biasa), atau ‘my life is boring’ (hidup saya membosankan). Sedangkan bentuk past participle biasanya sebuah adjektiva ditambahkan –ed, misalnya: interested, amazed, relaxed, dan bored. Kata-kata ini digunakan untuk menunjukkan ‘perasaan’ atau ‘keadaan’ seseorang. Misalnya ‘I am interested to the movie’ (saya tertarik pada film tersebut), ‘I am amazed by you’ (saya terpesona oleh anda), atau ‘I am bored with my life’ (saya bosan dengan hidup saya). Jadi bila seorang pengguna jejaring sosial meng-update status ‘campuran’ bahasa Indonesia dan bahasa Inggris ‘Sedang boring nih’, maknanya akan berbeda, yaitu ‘saya sedang membosankan’ padahal mungkin yang ia maksudkan adalah ‘saya sedang merasa bosan’ atau ‘sedang bored nih’ atau dalam bahasa Inggris adalah ‘I am bored’ atau ‘I am feeling bored’. Tulisan ini secara sederhana ditujukan untuk kita semua, masyarakat Indonesia baik penyimak media massa (termasuk Internet) maupun masyarakat biasa non penyimak untuk sadar bahwa fenomena Vicky (atau mencuri gaya Vicky sendiri menjadi Vickynisasi) adalah bentuk dari ketidakpahaman dan keacuhan kita akan penggunaan bahasa yang benar. Lebih jauh, Vicky hanyalah korban dari sumbangsih masyarakat yang tidak hanya kurang paham, namun juga acuh terhadap bahasa, baik bahasa asing atau bahasa Indonesia itu sendiri. Dengan memperolok penggunaan bahasa Vicky sebenarnya suka tidak suka kita juga memperolok diri sendiri karena toh kita juga acuh terhadap kesalahan bahasa yang kita buat. Kasus Vicky ini juga mungkin dapat menjadi ‘peringatan’ kepada orang-orang dengan status sosial yang dianggap tinggi untuk bijak dalam berujar, dimana orang-orang tersebut acapkali menggunakan kosakata ‘intelek’ dan asing dalam ranah politik, ekonomi atau sosial itu sendiri untuk mendapatkan kesan ‘tinggi’.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun