Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Langit-Langit

16 Januari 2025   08:23 Diperbarui: 16 Januari 2025   08:29 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
AI-generated dan Canva-edited

Aku ingat kejadian beberapa tahun yang lalu itu sesegar embun pagi, sangat jelas. Pernikahan adik ipar dari adikku dilaksanakan di Jogja. Sesungguhnya itu adalah sebuah momentum yang tepat bagiku untuk mengajak istri dan anakku yang baru berusia satu tahun lebih untuk ikut serta.

Aku sudah pernah menjanjikan kepada istriku untuk pergi berlibur sejak awal kami menikah. Namun, kesempatan untuk ini baru saja tiba ketika rencana dan undangan pernikahan itu dikirimkan kepada kami.

Kami sangat bersemangat. Pertama, karena istriku belum pernah ke Jogja sama sekali, sedangkan aku sudah pernah tinggal di Jogja selama kurang lebih lima belas tahun sebelum kemudian memutuskan untuk pindah ke Pontianak, kota kelahiranku. Aku sering bercerita kepada istriku bahkan sejak pacaran, bagaimana kenyamanan Jogja sewaktu dulu aku tinggal di sana. Bagaimana Jogja memberikan semacam memori yang sulit untuk dilupakan, lengket bagai getah alami. Atau bagaimana budaya, seni dan tempat-tempat wisata yang tersebar di segala penjuru dan sudut-sudut kota mampu memanjakan semua indra kita.

Aku ragu anak perempuanku, mengingat semua kejadian ketika kami berada di Jogja waktu itu. Aku juga tidak yakin apa ia mengingat barang satu dua kejadian di sana. Itu karena ia memang masih kecil, berjalan pun belum mahir, masih menyusu dan cenderung memilih untuk berada di gendongan orang tuanya. Namun, yang jelas, ketika sampai di Jogja dan dijemput oleh adik perempuanku dan suaminya, kami yakin bakal menikmati liburan kami di Jogja sekaligus menghadiri pernikahan adik ipar dari adikku itu.

Dugaanku tak salah. Kami sungguh menikmati hari-hari kami di Jogja, walau kami juga tidak bisa tidak mengindahkan begitu saja sebuah kejadian khusus di masa itu.

Sebenarnya, keluarga kami adalah sebuah keluarga unik yang memiliki latar belakang budaya yang kaya. Aku berasal dari keluarga Jawa. Papaku lah yang asli Jogja, tetapi kemudian tinggal di Pontianak, Kalimanta Barat bertahun-tahun lamanya. Aku sendiri menikah dengan seorang gadis Dayak, asli Kalimantan. Adik perempuanku ini tinggal di Jogja. Ia dinikahi oleh, sebut saja Wicaksana, laki-laki keturunan Jawa dan Bali. Sedangkan, adik perempuan Wicaksana, sebut sana Dwi, dinikahi oleh laki-laki berdarah Batak.

Jadi, bisa dibayangkan bahwa pernikahan Dwi melibatkan keluarga-keluarga dari latar belakang budaya Jawa, Bali dan Batak. Sanak saudara Dwi dan suaminya mengenakan pakaian adat yang kaya dan berwarna-warni di dalam gereja Katolik Santo Fransicus Xaverius, Kidul Loji, di arah Timur Malioboro pada saat misa pemberkatan pernikahan.

Malam sebelum pemberkatan di gereja, diadakan sebuah acara adat dan budaya. Tujuan dasar acara ini adalah untuk memberikan wejangan kepada kedua calon mempelai sebelum benar-benar disahkan oleh agama dan hukum menjadi sepasang suami istri. Acara itu diadakan di sebuah rumah milik keluarga calon mempelai perempuan. Aku ingat bahwa rumah tersebut juga digunakan sebagai tempat melaksanakan acara yang serupa ketika adik perempuanku menikah dengan Wicaksana beberapa tahun sebelumnya.

Di acara itu hadir tetangga dan kerabat kedua mempelai. Selain doa-doa dan wejangan, sudah barang tentu makanan tersedia bagi para tamu.

Rumah yang digunakan adalah rumah tradisional Jogja yang bernama Joglo. Rumah itu bisa diperkirakan telah berumur cukup tua. Untuk pastinya aku tak begitu tahu, tetapi yang jelas, bentuk kamar dan ruangan serta arsitektur rumah menggambarkan seberapa tua umur banguan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun