Kalimat "Piye kabare? Isih penak jamanku to?" adalah slogan di dalam bahasa Jawa yang artinya kurang lebih adalah, "Bagaimana kabarnya? Masih enak di jamanku, 'kan?". Kalimat ini sempat ramai muncul di era pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan dimulai pada tahun 2013.Â
Slogan ini ditengarai merupakan respon masyarakat terhadap pemerintahan SBY yang dianggap buruk dan tidak memuaskan. Slogan ini seperti mewakili kelompok masyarakat yang merasa bahwa pemerintahan SBY cenderung autopilot dan mengecewakan. Terutama mengingat bahwa SBY dipilih secara demokratis, secara langsung oleh rakyat. Pemerintahan SBY adalah hasil dari proses dan gerakan reformasi dari pemerintahan sebelumnya yang dianggap korup dan non-demokratis.
Slogan ini muncul dari bentuk cuitan-cuitan ataupun meme di media sosial, disertai foto atau gambar presiden kedua Republik Indonesia, yaitu Soeharto. Jelas tujuan dari slogan ini merujuk pada perbandingan terhadap pemerintahan sebelumnya.
Meskipun fenomena ini telah lama terjadi, sebenarnya kejadian tersebut adalah bentuk dari romantisasi dan glorifikasi pemimpin yang juga muncul di masa kini. Sebut saja misalnya pada nama Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia dan pahlawan Proklamasi.Â
Nama Soekarno hampir selalu melekat dengan semangat nasionalis dan Pancasilais. Beliau juga dianggap sebagai tokoh pluralisme. Nama Soekarno seperti selau berada di atas dari deretan pemimpin-pemimpin (presiden) Indonesia.Â
Padahal sepanjang sejarah, Soekarno juga memiliki banyak kelemahan dan keputusan serta kebijakan beliau yang kontroversial yang menyebabkan ia diturunkan dari tampuk kepemimpinan oleh rakyat dan mahasiswa. Perilaku pribadinya yang playboy dan flamboyan, serta kedekatannya dengan gerakan komunisme juga adalah hal-hal kontroversial yang menjadi salah satu dari kelemahannya.
Paling baru, adalah celoteh Abdur Arsyad, komika Indonesia, yang secara implisit mengatakan bahwa SBY lebih baik dibanding Jokowi dalam hal kebebasan berbicara. Ia mengatakan walaupun SBY adalah mantan anggota militer, tetapi ia 'selow'. Di zaman pemerintahan Jokowi, ia takut mengkritisi pemerintah karena bakal ditangkap dan bisa-bisa dihukum mati (Sumber).
Contoh-contoh tersebut adalah bentuk dari romantisasi dan glorifikasi pemimpin. Banyak orang yang mengenang kembali kepemimpinan sebelumnya karena dirasa pemerintahan sekarang dirasa memiliki kinerja yang buruk. Barang-barang menjadi mahal, hal-hal yang bisa dan biasa dilakukan sebelumnya menjadi tidak, atau ada harapan-harapan yang ingin dicapai tetapi tidak terjadi.
Romantisasi menurut saya wajar saja. Ini manusiawi dan alamiah, serta dapat menjadi bagian dari komparasi atau perbandingan dengan pemerintah, pemimpin atau penguasa sebelumnya.Â
Dengan adanya romantisasi, masyarakat dapat menilai kinerja pemerintah dan memutuskan langkah-langkah serta pilihan politik di masa depan. Apakah mereka akan memilih tokoh, dari partai dan 'kroni-kroni' yang sama atau tidak. Mungkin dengan tidak dipilihnya tokoh-tokoh yang berhubungan dengan Demokrat saat itu adalah bentuk dari romantisasi 'Isih penak jamanku to?". Hanya saja, tentu hal buruk dari romantisasi adalah ketidakmampuan seseorang untuk move on serta menghadapi perubahan zaman dan politik yang niscaya terjadi.