Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Korupsi, Etika Pancasila, dan Lampu Lalu Lintas

19 Agustus 2022   10:15 Diperbarui: 2 September 2022   10:21 985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pancasila(DOK KOMPAS/HANDINING)

Selama bertahun-tahun, bangsa Indonesa telah bergulat dengan permasalahan korupsi, kolusi dan nepotisme yang telah menggerogoti sendi-sendi kebangsaan. Tidak hanya permasalah ekonomi negara yang terus-menerus terpuruk sehingga pembangunan pun menjadi terhambat, tetapi juga dari segi moralitas dan nilai-nilai yang selama ini kita anut.

Terlalu banyak suara yang berpendapat bahwa akar dari korupsi adalah birokrasi struktural serta permasalahan kultural. Padahal bangsa ini sudah sedari awal memberikan jawaban atas salah satu permasalahan besar bangsa ini: Pancasila.

Pancasila tidak pernah gagal sebagai ideologi bangsa Indonesia, kitalah yang gagal menerapkannya di dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahkan, permasalahan korupsi ini sejatinya dimulai dari persimpangan jalan dan lampu lalu-lintas.

Lantas apa hubungannya, korupsi, Pancasila dan lampu lalu-lintas?

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, korupsi didefinisikan sebagai sebuah tindakan melanggar hukum yang "merugikan keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan dalam pengadaan, gratifikasi," (Setiadi, 2018, p. 249).

Dari penjelasan ini, jelaslah bahwa korupsi bukanlah sebuah masalah yang main-main. Korupsi dilakukan secara struktural dan terencana, melibatkan kekuasaan dan pengaruhnya.

Masyarakat menilai bahwa karakter bangsa dapat dilihat dari kualitas hukum dan kredibilitas pemimpinnya. Logika yang berjalan adalah bahwa jika semakin banyak produk hukum dibuat, malah makin mempertegas anggapan bahwa tindak korupsi makin besar dan meluas, sekali lagi ini diarahkan pada para aparatur negara, pejabat dan pemimpin bangsa yang melakukan tindak korupsi itu sendiri dikarenakan mereka memiliki kekuasaan (Soemanto, Sudarto, & Sudarsana, 2014, p. 81).

Di dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Khair (Khair, 2014) mengenai pandangan masyarakat warga RT. 05 Keluaran Tanah Grogot, Kabupaten Paser terhadap pemberitaan mengenai kasus korupsi yang sedang marak terjadi di Indonesia melalui televisi, 85% warga berpendapat bahwa penahanan yang dilakukan kepada pelaku tindak korupsi sangat tidak sesuai dengan kerugian terhadap keuangan negara yang jumlahnya sangat besar.

Warga masyarakat RT. 05 juga sadar dan paham benar bahwasanya para pelaku korupsi adalah mereka yang duduk di lingkaran kekuasaan, seperti politisi, pengusaha, pejabat negara, pemimpin partai, atau menteri dan artis dalam konteks pilkada.

Hal tersebut di atas semakin menunjukkan kesan yang kuat bahwa korupsi memang hanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dan berada dalam struktur kelas atas dalam masyarakat, termasuk di dalamnya adalah artis atau pengusaha. Masyarakat biasa hanyalah korban dari perilaku budaya korupsi yang sudah terjadi lama dan mendarah daging dalam diri bangsa ini.

Padahal, menurut Kepala Kanwil DKJN Kalimantan Barat, Edward Nainggolan, perilaku korupsi ini akan dianggap perbuatan wajar jika masyarakat sudah bersikap permisif dan tidak membangun sikap anti korupsi. Masyarakat bisa saja ikut andil dalam perilaku korupsi tersebut dan mengganggu jalannya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia (Nainggolan, 2021).

Sebagai contoh, masyarakat mewajari pungutan liar yang terjadi di berbagai sektor. Ini adalah sikap permisif yang sangat berbahaya bagi atmosfir pemberantasan korupsi di Indonesia.

Menyitir pernyataan Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM, masyarakat masih banyak yang mengira korupsi hanya sebatas pada pidana korupsi yang ada di dalam undang-undang saja. Dalam artian, korupsi langsung tertuju langsung pada bidang hukum dan politik saja dan merujuk pada beberapa profesi seperti Polisi, KPK, DPR, dan Kepala Daerah.

Padahal pengertian korupsi sangat luas dengan bibit-bibit korupsi yang berpotensi tumbuh di mana saja, termasuk di keluarga, lingkungan terdekat, dan bisa dilakukan oleh masyarakat kecil sampai besar, di pedesaan dan perkotaan serta berpendidikan maupun tidak.

Maka bisa dikatakan sebenarnya secara hukum dan perundang-undangan, tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi (MSi, 2020).

Perilaku permisif masyarakat terhadap korupsi skala kecil atau tindakan lain yang tidak dianggap sebagai bagian dari korupsi itu menyebabkan masyarakat juga sebenarnya menyumbangkan aktifitas korupsi yang berkelangsungan dan berkelanjutan. Masyarakat kerap menyalahkan para pelaku tindak korupsi dan menganggap diri mereka sebagai korban.

Ada banyak kejadian ketika seorang warga golongan masyarakat kecil melakukan kesalahan, misalahnya melanggar lampu lalu lintas, atau merokok di wilayah publik, ia akan dengan mudah berseloroh bahwa seharusnya petugas kepolisian berfokus pada pelaku tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara yang jauh lebih besar, dibanding menindak rakyat kecil.

Pernyataan-pernyataan semacam ini adalah bentuk ketidakpahaman masyarakat bahwa tindakan mereka sendiri adalah termasuk korupsi walau dalam skala yang sangat kecil serta menjadi semacam pembenaran bagi perilaku salah mereka.

Permasalahan korupsi ini sejatinya akan dapat diselesaikan bila kita sebagai warga negara dan masyarakat bangsa Indonesia mau menerapkan etika Pancasila secara utuh dalam melawan korupsi. Pancasila telah dimiliki Indonesia yang berperan sebagai ideologi, pegangan dan/atau pedoman bangsa.

Pancasila juga memiliki fungsi menjembani perilaku setiap warga negara untuk berkehidupan dengan benar, meski tidak bersifat dogmatik dan apologetik (Firmansyah, 2021). Ini berarti pula bahwa Pancasila memiliki nilai-nilai etika yang menjadi landasan tindakan dan perilaku warga negara dan anak-anak bangsa di dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Di dalam Pancasila telah termaktub beragam nilai-nilai etika seperti keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, pengakuan terhadap adanya keadilan, nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan. Pancasila sebagai dasar, ideologi dan falsafah negara juga berperan sebagai pandangan hidup bangsa.

Pancasila juga menjadi representasi hukum negara Indonesia, dimana menciptakan Indonesia sebagai sebuah negara hukum dengan meletakkan hukum sebagai bagian terpenting di kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai ideologi, Pancasila memberikan kekuatan bagi bangsa agar kokoh dan tak terombang-ambing oleh kerasnya hidup berbangsa dan bernegara (Asatawa, 2017). Ini artinya, Pancasila sebagai ideologi bangsa memberikan jati diri atau identitas bangsa yang membuatnya berbeda dengan negara-negara lain.

Ini dapat dibuktikan dengan lima butir mutiara kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu religius monotheis, humanis universal, nasionalis patriotis yang berkesatuan dalam keberagaman, demokrasi dalam musyawarah mufakat dan yang berkeadilan sosial.

Kelima prinsip dasar Pancasila ini bukanlah tiruan dari ideologi bangsa lain, sebaliknya merupakan cerminan nilai amanat rakyat dan hasil dari kejayaan keluhuran bangsa.

Pancasila kemudian menciptakan semacam arahan atau bimbingan bagi masyarakat, warga negara dan pemerintah Indonesia untuk untuk menghadapi persoalan bangsa.

Ketika Pancasila tidak diacuhkan bahkan ditinggalkan, maka bangsa akan kehilangan jati diri dan martabat. Kehidupan bangsa terkoyak karena kita melupakan ideologi bangsa yang memiliki cita-cita luhur untuk salah satunya adalah menyejahterakan kehidupan bangsa. Maka, korupsi adalah salah satu hal paling utama yang menjadi lawan ideologi Pancasila ini.

Oleh sebab itu, jelas bahwasanya, bila setiap individu di dalam negara Indonesia menempatkan Pancasila sebagai dasar perilaku dan tindakan mereka di dalam kehidupan sehari-hari baik dalam sisi hukum, falsafah maupun etika, maka permasalahan korupsi dapat dihadapi bahkan diselesaikan.

Dengan Pancasila, masyarakat dapat membentengi diri mereka dari godaan-godaan menyesatkan korupsi dengan falsafah dan nilai-nilai luhurnya. Tidak benar bila dikatakan bahwasanya korupsi adalah budaya bangsa Indonesia yang sudah terjadi bahkan sejak masa kolonialisme karena menurut Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Indonesia (Lemhnnas RI) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo yang disampaikan pada saat Upacara Hari Lahir Pancasila, 1 Juni, 2021, "Pancasila sendiri merupakan nilai-nilai luhur yang digali dari budaya bangsa di nusantara dan memiliki nilai dasar kehidupan manusia yang diakui secara universal dan berlaku sepanjang zaman," ujarnya (Agus Widjojo: Pancasila Merupakan Nilai Luhur dari Budaya Bangsa, 2021).

Bagaimana mungkin korupsi adalah budaya bangsa Indonesia, bila Pancasila sendiri sebagai ideologi bangsa digali dari budaya bangsa yang nilai-nilainya berlaku sepanjang masa? Bukankah ini berarti Pancasila harus menjadi bagian yang utama dalam kehidupan berbangsa dan tidak boleh digeser oleh budaya-budaya negatif yang dibentuk kemudian?

Nilai-nilai etika Pancasila harus kembali direngkuh oleh bangsa dan segenap rakyatnya dalam segala sisi kehidupan. Secara hukum, masyarakat juga sadar benar bahwa Pancasila juga berfungsi sebgai landasan segala sumber hukum.

Pancasila berkedudukan sebagai ideologi hukum, kumpulan nilai-nilai yang harus berada di belakang keseluruhan hukum Indonesia, asas-asas yang harus diikuti sebagai petunjuk dalam mengadakan pilihan hukum di Indonesia, serta sebagai suatu pernyataan dari nilai kejiwaan dan keinginan bangsa Indonesia (Pusdatin, 2021).

Sudah seharusnya masyarakat berhenti melanggar lampu lalu lintas dan tidak membandingkannya dengan tindakan melanggar hukum lainnya, seperti korupsi, yang dianggap lebih buruk.

Dengan sikap Pancasilais, taat pada hukum dan menghormati hak-hak orang lain -- seperti hak pengendara -- adalah sebuah hal yang niscaya.

Semua nilai-nilai Pancasila yang dianut dan diterapkan dengan baik oleh masyarakat dan bangsa ini akan membantu kita untuk melihat segala persoalan bangsa dari kacamata jati diri bangsa. Kita tidak lagi dapat bersikap tak acuh, menyepelekan dan permisif pada tindak pidana korupsi bahkan dari skala kecil dan sederhana, karena sekecil apapun itu sudah melanggar nilai-nilai dan etika Pancasila yang luhur dan kaya.

Membuang sampah sembarangan, merokok di ruang publik, atau melanggar peraturan lampu lalu lintas tidak hanya melanggar hukum sepele, tetapi juga melanggar etika nilai-nilai Pancasila dan pada akhirnya akan menyumbang pelanggaran-pelanggaran hukum dan etika yang lebih besar, yaitu tentu saja korupsi.

Bila mayarakat kembali kepada Pancasila, kehidupan berbangsa dan bernegara akan sesuai dengan cita-cita bangsa sedari dahulu serta budaya masyarakat itu sendiri. Bila melanggar lampu lalu lintas saja bisa dihindari, apalagi korupsi. Bila taat pada peraturan lalu lintas saja mampu, apalagi tidak korupsi.

***

Referensi

Agus Widjojo: Pancasila Merupakan Nilai Luhur dari Budaya Bangsa. (2021, June 01). Retrieved from lemhannas.go.id: http://www.lemhannas.go.id/index.php/berita/berita-utama/1093-agus-widjojo-pancasila-merupakan-nilai-luhur-dari-budaya-bangsa

Asatawa, I. P. (2017). Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Bali: Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

Firmansyah, S. B. (2021). Sekitar Pancasila & Etiket Mempelajarinya. Sukabumi: CV Jejak.

Khair, D. M. (2014). Pendapat Masyarakat Tentang Pemberitaan Kasus Korupsi di Televisi (Studi Pada Warga RT. 05 Kelurahan Tanah Grogot, Kecamatan Tanah Grogot, Kabupaten Paser). eJournal Ilmu Komunikasi, 207-218.

MSi, S. S. (2020, Desember 14). Permisivitas Masyarakat Indonesia Terhadap Korupsi. Retrieved from radarbali.jawapos.com: https://radarbali.jawapos.com/nasional/14/12/2020/permisivitas-masyarakat-indonesia-terhadap-korupsi/

Nainggolan, E. (2021, March 14). Budaya Korupsi atau Korupsi Membudaya. Retrieved from dkjn.kemenkeu.go.id: https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13755/Budaya-Korupsi-atau-Korupsi-Membudaya.html

Pusdatin. (2021, July 28). Pancasila sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum, Apa Artinya? Retrieved from brip.go.id: https://bpip.go.id/berita/1035/859/pancasila-sebagai-sumber-dari-segala-sumber-hukum-apa-artinya.html#:~:text=Adapun%20fungsi%20Pancasila%20sebagai%20sumber,mengadakan%20pilihan%20hukum%20di%20Indonesia

Setiadi, W. (2018). Korupsi di Indonesia (Penyebab, Bahaya, Hambatan dan Upaya Pemberantasan, Serta Regulasi). Jurnal Legislasi Indonesia, 249-263.

Soemanto, R., Sudarto, & Sudarsana. (2014). Pemahaman Masyarakat Tentang Korupsi. Yustisia, 80-88.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun