Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dan Brown’s Inferno, Simbol-simbol yang Kehilangan Makna

9 September 2013   11:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:09 1443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Title                             : Inferno Author                         : Dan Brown Publisher                      : Doubleday Year of Publication         : 2013 Genre                           : Mystery, thriller, suspense. Language                      : English Membaca karya terbaru Dan Brown ini, beragam kecemasan dan kekhawatiran muncul di benak saya. Dan Brown, penulis laris yang menghasilkan jutaan kopi novelnya di seluruh dunia dan terkenal akan kontroversinya seperti pada The Da Vinci Code dan Angels and Demons ini seakan masih menjadi mesin pencipta pundi-pundi dollar dalam setiap karyanya. Setelah The Da Vinci Code dan Angels and Demons, Brown juga sempat membuat The Lost Symbol yang juga laris manis. Tak terhindarkan kecemasan dan kekhawatiran itu muncul di benak banyak pembaca dan terutama para kritikus. Saya sendiri menempatkan diri di kedua posisi tersebut. Kekhawatiran pertama muncul pada kemampuan Brown dalam hal penyajian ‘fakta’ dan ‘kontroversi’ yang telah ditanak sedemikian rupa sehingga terlihat lezat di atas meja. Setelah membaca seluruh karya Brown, saya khawatir bahwa kekuatan satu-satunya Brown hanya terletak pada iming-iming ‘fakta’ dalam kemasan karya fiksinya ini. Kehawatiran lain adalah bahwa kemampuan lain Dan Brown yang diwakili karakter utamanya, Robert Langdon, dalam hal penyimbolan dan simbolisasi mulai kehilangan makna. Dan kekhawatiran terakhir adalah bahwa Brown kedapatan memiliki kemampuan yang tidak begitu mumpuni dalam teknik menulis ups and downs, suspense, serta intrik karya fiksinya. Cerita dimulai ketika sang karakter utama, Robert Langdon, terbangun di rumah sakit di Florence, Italia dengan keadaan fisik yang parah. Selain terluka parah, Langdon juga menderita amnesia. Selama masa untuk mencoba mengingat apa yang terjadi, ia harus berpacu dengan waktu memecahkan beragam simbol sembari diburu oleh pembunuh bayaran dan otoritas. Bersama sidekick baru dalam novel ini, Sienna Brooks, mereka harus memecahkan simbol-simbol dan ingatan Langdon untuk menyelamatkan umat manusia dari kiamat. Kekhawatiran pertama terbukti selesai saya membaca Inferno. Pada The Da Vinci Code dan Angels and Demons, begitu kuatnya tema fakta dan kontroversi terus berhembus. Mempengaruhi para pembaca untuk ‘tidak sekedar’ membaca karya sastra Brown ini hanya sebagai karya fiksi belaka. Informasi yang dijual Brown mengenai intrik, manipulasi dan konspirasi serta ‘kebohongan’ dalam agama secara umum dan Katolik secara khusus (dalam hal ini diwakilkan oleh Vatikan) membuat banyak pihak meradang, banyak pembaca tidak sekedar mejadi pembaca namun juga analis, kritikus, bahkan skeptis. Setiap bagian dari ‘fakta’ mengenai bangunan dan arsitektur, sejarah, tokoh, serta organisasi kerap ditanggapi dengan serius. Sebagai hasilnya, informasi-informasi tersebut di dua karya sebelumnya – The Da Vinci Code dan Angels and Demons – menjadi kekuatan karya Brown. Sayangnya, dalam Inferno, informasi-informasi dengan embel-embel ‘fakta’ tersebut tidak lagi berpengaruh. Brown yang tanpa diragukan telah melakukan penelitian yang cukup baik dan mendetail mengenai sejarah, bangunan dan arsitektur, tokoh atau organisasi di Florence, Italia dan Istanbul, Turki, yang dimasukkan dalam Inferno, ternyata akhirnya tidak mampu lagi membuat elemen fakta ini menjadi penting. Fakta-fakta tersebut malah terlalu mmengganggu jalan cerita, dimana kerapkali Langdon sang karakter utama menyempatkan diri untuk memberikan kuliah. Bila sebelumnya kuliah Langdon sangat menarik, sekarang kuliah ini menjadi kosong dan tidak perlu. Bahkan kebiasaannya menyentil otoritas Vatikan menjadi sangat garing, tidak lucu, dan tidak lagi bersifat ofensif. Sepertinya Brown tidak memiliki amunisi yang cukup selain fakta dan kontroversi. Kekhawatiran berikutnya adalah pada penyimbolan dan simbolisasi yang merupakan elemen kuat lainnya dalam novel Brown yang mengikutsertakan dosen dan ahli simbologi, Robert Langdon. Kemampuan Brown dan Langdon nya dalam menjelaskan dan memecahkan beragam kode dan simbol harusnya sangat menarik. Hanya saja dalam Inferno, simbol-simbol tersebut harus kehilangan makna. Keberanian Brown dalam menggabungkan penerjemahan simbol-simbol Inferno (bagian dari epic poem atau sajak-sajak dalam The Divine Comedy) karya Dante Alighieri yang diterjemahkan dalam lukisan Boticelli, La Mappa dell’Inferno, dengan isu birth control, overpopulation atau ledakan populasi sebenarnya perlu dihargai. Kecerdasan Brown menggabungkan The Black Death dengan isu lingkungan hidup diharapkan menjadi ‘kontroversi’ lainnya. Well, ladies and gentlemen, it failed! Simbol-simbol terus kehilangan maknanya. Perlahan-lahan simbol-simbol menjadi teracuhkan. Simbol dan informasi fakta yang terus digeber Brown di sepanjang alur cerita menjadi seakan tempelan yang berlebihan dan irritating. Sebagai hasilnya kedua elemen tersebut bila sedikit dihilangkan mungkin malah akan membantu jalan cerita. Sialnya, dilema muncul pada kekhawatiran saya yang terakhir. Bila elemen simbol dan fakta dikurangi, jalan cerita akan terbantu karena tidak selalu diganggu dengan penjelasan-penjelasan yang tidak perlu. Namun, bila kedua elemen dikurangi, novel ini juga tidak berharga. Pada kenyataannya, Dan Brown bukanlan penulis cerita suspense dan thriller yang ulung. Tekniknya kalah jauh dibandingkan dengan Tom Clancy, John Grisham, Michael Chrichton, Stephen King, atau James Patterson. Ketegangan dan klimaks yang diciptakan selalu memiliki formula yang serupa. Bahkan saking serupanya pembaca tidak merasakan keterkejutan dan ketegangan lagi. Satu clue mengarah ke clue yang lain, satu simbol membuka sibol lain. Seperti menonton film National Treasure, namun dengan arah yang dapat ditebak. Secara pribadi saya terlalu sering skip bagian-bagian informasi yang tidak terlalu penting (penggambaran denah, arsitektur, dan sejarah remeh-temeh) untuk mengejar klimaks dan arah cerita. Inferno bukan sama sekali buruk, bukan sama sekali tidak bagus, hanya saja tidak memuaskan dan lemah dalam banyak sisi. Brown berhasil menjadi novelis dengan penjualan yang terus-menerus di daftar atas. Ia berhasil menciptakan gaya nya sendiri bersama fakta dan kontroversi serta simbol dan Langdon nya. Ia pun telah mengumpulkan para penggemar setia yang dengan semangat selalu menunggu aksi Langdon dan serial petualangannya. Namun ada baiknya Brown mulai berpikir mengenai pola dan formula karya-karyanya selain fakta dan kontroversi. Karena bila simbol-simbol kehilangan makna, yang tersisa hanya cerita tanpa arti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun