Kepentingan rakyat pemilih bukan merupakan agenda utama setelah mereka terpilih. Dengan demikian, pemilu lima tahun sekali memiliki posisi strategis dalam menantang hukum besi oligarki. Rakyat dapat menolak memilih oligarki yang mengabaikan aspirasi dan hak mereka.
Sistem Pemilu Distrik dan Proporsional
Secara umum ada tiga sitem pemilu yang diterapkan negara-negara demokrasi yakni sistem distrik, proporsional dan campuran. Meskipun demikian yang paling umum dipakai adalah sistem distrik dan proporsional.
Sistem distrik berlaku 'single member constituency' di mana satu daerah pemilihan hanya tersedia 1 wakil. Daerah pemilihan dibagi ke dalam distrik berdasarkan jumlah pemilih. Misalnya 1 distrik 50.000 pemilih
Prinsip yang digunakan adalah calon yang mendapat suara terbanyak menjadi pemenang dan berhak mewakili daerah pemilihan tersebut. Suara yang diperoleh calon yang kalah dianggap hilang dan tidak dapat diakumulasi secara nasional oleh partai.
Sistem distrik sering dikritik karena kesenjangan antar jumlah suara dan jumlah kursi dalam parlemen nasional. Prinsip 'winner takes all' membuat sebuah partai yang memperoleh jumlah suara lebih besar secara total, justru mendapat jumlah kursi lebih sedikit dalam parlemen.
Model distrik juga menguntungkan partai besar, merugikan partai kecil, kepentingan minoritas terbaikan. Wakil cenderung memperjuangkan kepentingan distrik dan menempatkan kepentingan nasional nomor dua.
Sisi positif sistem distrik adalah secara alamiah mendorong pengurangan jumlah partai. Karena jumlah kursi hanya satu dalam setiap distrik, partai-partai cenderung melakukan fusi.
Fragmentasi partai dan kecenderungan pembentukan partai baru dapat dicegah. Penyederhanaan jumlah partai dapat dilakukan tanpa paksaan.
Selain itu, wakil yang akan dipilih lebih dekat dan dikenal para pemilih, hubungan dengan pemberi suara erat, wakil memiliki komitmen pada pemilih. Konflik dalam parlemen juga rendah karena jumlah partai sedikit.
Model pemilu distrik tidak cocok untuk sebuah negara plural secara etnis, budaya, agama dan kesukuan. Karena itu, negara-negara besar dan plural cenderung memilih model pemilu proporsional yang menerapkan model 'multi member constituency'.