Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah Negeri

11 Agustus 2023   09:01 Diperbarui: 11 Agustus 2023   09:25 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebentar lagi Agustusan..Bendera merah putih mulai  berkibar di mana- mana. Yang baru dan yang lusuh bersaing mengibas udara Agustus Yogya yang sejuk. Kesejukan yang membuat ngilu hati karena rindu para mantan Yogya. Kemeriahan Agustus menyusul kemeriahan Juli. Riuhnya orang tua cari sekolah. Tahun ajaran baru sudah dimulai akhir Juli kemarin. Ketegangan orang  tua 'pentengi' monitor untuk memantau penerimaan siswa baru, sudah turun sekarang. Ada yang mendapat sekolah negeri idaman, ada yang harus memilih sekolah negeri yang kurang tenar.

Orang tua berdompet makmur, dapat memilih sekolah-sekolah swasta masyur. Termasuk yang berlabel internasional. Yang kurang mampu masuk sekolah-sekolah bermahar murah, dengan kualitas yang belum tentu murahan.

Tiga putri kami, yang pertama sudah sarjana, adalah jebolan sekolah menengah negeri di Jogja berhati nyaman. Setelah tamat SD Katulik (Katolik), kami memutuskan mengirim mereka ke SMP dan SMA Negeri. Kecuali yang sulung, SD dan SMP milik yayasan Katulik.

Pilhan sekolah negeri itu pertama soal bayaran. Sekolah-sekolah swasta bagus itu biaya besar. Pake uang masuk, SPP, uang ini dan uang iti. Buat kantong seorang dosen, tiga anak di sekolah swasta elit bisa bikin bangkrut Republik Rumah Tangga. Cukup negara saja yang utang terus untuk menutup defisit APBN. APB-keluarga harus dijaga keseimbangan. Defisit sedapat mungkin ditekan serendah mungkin agar 'orang rumah' tidak sering mengkerut wajahnya. Sekolah negeri adalah bagian dari mitigasi defisit itu.

Namun alasan yang paling mendasar adalah soal pengalaman belajar. Nilai bagus dapat dikejar melalui las-les-lus yang brosurnya sering mampir ke Wazzup tanpa diminta. Yang anak-anak peroleh di sekolah negeri adalah pengalaman lintas kultural. Bertemu, belajar, bermain dan berinteraksi dengan teman-teman dari berbagai latar belakang budaya, agama dan strata sosial adalah pengalaman paling berharga. Kita sebut saja pengalaman 'kebangsaan'.

Ketika mau mengirim anak-anak ke sekolah negeri, banyak suara cemas yang kami dengar. Paling kuat adalah soal diskriminasi pada anak-anak minoritas. Saya tetap mengirim mereka ke sekolah negeri. Kecemasan ini bisa dimengerti karena ada beberapa kejadian yang mengarah pada diskriminasi.

Saat itu,  pikir kami, kalau itu terjadi, biarlah mereka belajar menghadapi tantangan. Yang paling penting mereka belajar dalam lingkungan plural. Kami membayangkan mereka akan bekerja dan tinggal entah di mana, di masa depan. Kantor, lingkungan, rumah tempat tinggal sangat besar kemungkinan tidak seagama, sesuku, segolongan apalagi sekelurga. Tidak ada perusahaan atau lembaga publik yang 100 persen seagama, tetapi tentu saja harus 100 % Indonesia. Menyemplungkan anak-anak ke 'kplam' sekolah negeri agar mereka belajar hidup dalam perbedaan dari sekarang.

Kecemasan akan diskriminasi mungkin dapat dipahami karena pengalaman di beberapa daerah. Di Yogya yang istimewa, hak anak-anak minoritas agam, suku, kelas sosial tetap diperhatikan. Anak tetangga  kami seorang penjual jamu, mendapat tepat di sekolah ranking satu di Yogya. .  Hak anak-anak beribadah tetap difasilitasi di sekolah-sekolah negeri di Yogya. Di SMAN dekat pojok beteng, tempat putri bungsu kami belajar, anak-anak Katulik memulai kelas pagi dengan berdoa secara Katulik. Hari Jumat pertama dalam bulan, setelah jam 12.00,  mereka dibebaskan dari pelajaran supaya bisa mengikuti misa.

Di sebuah SMAN top di Barat Yogya, anak-anak Katulik, doa Angelus setiap jam 12.00 siang. Di sekolah ini, pada setiap jumat pertama dalam bulan, anak-anak Katulik diantar dengan mobil sekolah untuk mengikuti perayaan ekaristi di gereja dekat-dekat situ. Menjelang hari kemerdekaan: semoga sekolah-sekolah negeri tetap menjadi tempat anak-anak belajar menjadi 'Indonesia'. MARDIKA

Yogya istimewa, menjelang kemerdekaan, di  malam tanpa kopi Bajawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun