Perang Ukraina telah menjejak hari ke 5. Perang yang kemudian menyita mata dan waktu agar tetap ngap-date. Forum-rorum zoom tumbuh subur bicara tentang perang ini. Perang yang tak perlu di tengah perayaan kebebasan dunia. Kebebasan untuk bepergian, bertemu dengan banyak kebudayaan, banyak lidah dan banyak wajah. Bepergian demi alasan-alasan serius, atau agar IG bisa memamerkan gambar-bamabr baru yang haus akan 'like'
Hari ke 5 perang itu, sebuah perang lain dihadapi tubuh. Entah dari mana, melalui perjumpaan mana, virus itu masuk ke tubuh. Senyap seperti rudal-rudal berpesisi tinggi Rusia. Tanda-tanda serangan itu, dirasakan saat pagi senin masih sangat belia. Demam dan hidung tersumbat total. Berkeringat luar biasa banyak. Lebih banyak dari saat itu. Saat baru tumbuh jakun dan bulu rasa malu, lalu  harus bilang 'Nina, aku suka kamu".
Agak disorientasi. Pucuk-pucuk mangga di halaman belakang seperti tangan-tangan ganda, melambai. Hari bertanya "ini mata saya kenapa'? Ke dokter mesti ditanyakan. Dalam keadaan badan berkeringat, sebuah laboratorium jadi tempat mengecek kebenaran.
Kebenaran butuh teknikalisasi. Memakai alat ukur, prosedur, pakaian khusus, APD. Dalam bangunan yang disepakati sebagai laboratorium. Oleh mereka yang dilatih secara teknis, lalu dinamai ahli kesehatan. Maka kemudian hasil itu tentu dianggap benar: POSITIF COVID.
Padahal alat tes juga bisa dibeli. Tes sendiri di rumah. Seperti tes kehamilan. Rasa debar-debar juga sama. Apalagi kalau yang dites pacar anda dan 'engkau masih anak sekolah, satu esema" seperi lagu Chrisye. Tetapi itu sudah, teknikalisasi. Karena Ibu rumah tak bisa menerbitkan 'surat bukti' bernama hasil lab, agar dapat 'surat izin' menebus obat, bernama resep. Yang bernama Ibu dokter saja bisa memberi 'surat izin' itu.
Lalu ritual berikut adalah 10 hari perang. Perang melawan virus dalam tubuh, sambil memonitor berita-berita perang. Di ruang sendirian. Tiga kali sehari, mengirim peluru-peluru kecil bernama obat anti virus. Lewat koridor bernama tenggorokan yang memang agak sakit.Â
Vitamin-vitamin datang. Buah-buahan kiriman sahabat.  "Baru dipanen' katanya. Dipanen dari Superindo. Masih ada  madu, sambiloto dan makanan. Lalu isolasi mandiri menjadi semacam jamuan kecil dengan menu tablet dan berbagai makanan penambah gizi.
Perang berikut adalah  bagaimana melawan kejenuhan? Pandemi ini mengkerutkan ruang bergerak menjadi kosmos kecil bernama kamar isolasi. Dan sekali lagi keahlian teknis-lah yang menentukan berapa lama. 10 hari dan harus dipercaya. Karena mereka dilatih bertahun-tahun dalam lembaga pelatihan bernama Fakultas Kedokteran. Kalau Sastrawan bilang "10 hari" isolasi, mana ada yang percaya, karena ia tak punya modalitas teknis bernama 'kesehatan'.
Bukan perkara mudah, mengubah tradisi tubuh yang selalu bergerak, sibuk dan menyibukkan diri. Dunia luas bernama kota, dengan sudut-sudut sepi. Sudut bernama kafe  yang menjadi suaka temporer saat lelah, mesti dijauhi.
Membaca lalu menjadi rutinitas. Berita-berita perang, tulisan-tulisan teman-teman di Kompasiana dikunjungi. Lalu 10 hari mengalir dari kalender tanpa disadari. Mereka menjelma jadi tulisan-tulisan lepas.
Menulis menjadi usaha membunuh waktu. Dan mengalahkan virus yang sedang berusaha membunuh sel-sel darah putih. Ada yang selesai, ada yang masih dalam bentuk potongan-potongan ide di laptop.  Tiga tulisan itu lalu muncul di kompasiana. 10 hari menjadi semacam  kelas menulis personal, gurunya adalah diri sendiri. Teman sekelas adalah ribuan tulisan di Kompasiana dari mana, gaya menulis, tekni menuangkan ide bisa dipelajari.