Namanya Joao Sebastian Kaju. Ia dibaptis saat kecil oleh imam Katolik asal Porto. Alih-alih diberi nama Yohanes, imamnya memberi nama Joao, 'John' dalam versi Inggris, 'Giovanni' di Italia, 'Juan dalam versi Spaniard atau mungkin jadi Jono dalam versi Jawa.
Masalahnya bukan di situ. Masalahnya kami berselisih paham soal nama. Ia tak suka dipanggil Pak Kaju. Ini adalah nama keluarga warisan moyang, para penakluk laut Sawu, lalu mendiami lembah dan gunung di Flores. Kawan ini, bukan satu-satunya orang yang tak suka dipanggil dengan nama keluarga. Beberapa orang yang saya temui juga tak suka dipanggil dengan nama lokal. Nama yang diberi diberi oleh dukun bayi. Ditetapkan setelah si bayi bersin tiga kali saat dipanggil.
Nama lokal sering bermakna dalam. Kaju, kayu dalam bahasa Indonesia itu 'genuine', melambangkan keteguhan tapi juga kelenturan. Karena itu, rumah-rumah adat di Ngada berbahan kayu, tanpa paku, saling menggenggam atau menggunakan pasak kayu juga. Sebuah arsitektur vernakular yang lahir dari kecerdasan mengobervasi iklim dan pola gempa selama ratusan tahun.
Rumah-rumah ini, yang sekarang menginvasi instagram, menari saat gempa dan hanya mengangkat pantatnya saat badai, agar angin lewat. Jarang sekali rubuh. Flekibilitasnya ada pada Kaju. Kaju hidup adalah tempat bernaung, dan menggantung kehidupan yakni bahan pangan, seperti jagung atau dendeng karabau.
"What's in a name? Kata William Shakespeare, pujanggga Inggris. "Mawar dikasih nama lain pun akan tetap harum" kata dia. Bapak ini keliru. Bapak Pembangunan , penguasa Orde Baru, Jenderal besar, Soeharto, tidak akan memaksa turunan Tionghoa meng-indonesia-kan nama, kalau tidak ada alasan penting.
Integrasi nasional, asimilasi adalah tujuan yang membuat Lim Sioe Liong menjadi Sudono Salim. Katanya, kebijakan ini membuat seorang pastor Eropa yang menjadi WNI memilih nama belakang Sulama (sudah lama) di Indonesia.
Nama bulannya tanpa arti. Ia menjadi masalah besar dalam banyak hal. Salah tulis nama dalam undangan bisa menuntut maaf berkali-kali. Dalam teks hukum, nama yang tak pas, karena typo, bisa membuat kekuatan dokumen hukum hilang. "Nama yang salah menghasilkan subyek hukum yang salah dan tidak bisa diteruskan proses hukumnya", kata kawan saya seorang pengacara.
Dan nama itu, Kaju, menjadi masalah juga dalam hubungan pertemanan kami. Mengapa ia menolak dipanggil Kaju. Ia lebih suka dipanggil Jo atau Bastian. Dalam satu kesempatan, Joao bilang Kaju itu nama kampung, 'kampungan'. Jo itu keren.
Darimana semua konstruksi kognitif ini berasal?. Sumbernya mungkin kolonialisasi yang membawa orang-orang Eropa, Asia, Afrika dan Amerika Latin. Eropa membawa nama baru yang kemudian diadopsi oleh kitorang, penghuni tanah jajahan.
Kolonialisasi menghasilkan Eropanisasi nama. Di permukaan kelihatan sepele, sekadar adopsi nama Eropa. Dampaknya jauh lebih dalam karena nama Eropa adalah meng-eropa-kan orang bukan Eropa. Dengan mengganti nama Eropa, terjadi transformasi kognitif. Jika nama Kaju adalah 'Inlander', Joao adalah 'highlander'. Memakai nama Joao dan nama-nama Eropa lain, mengubah oerientasi kognitif orang pribumi, yang diasosiasikan sebagai terbelakang, kolot, kampungan, menjadi "British' (Eropa).
Dan pengaruhnya tidak selesai setelah dia orang diusir dari Asia Tenggara, Amerika Latin atau Afrika. Meski sudah merdeka, preferensi pada nama Eropa adalah salah satu sindrom itu. Kita mengidap semacam sindrom 'mind colonialism. Secara fisik sudah merdeka, tetapi fikiran masih dijajah. Kolonialiasi fikiran.