Konversi sumber daya alam ke dalam pemilikan pribadi menbawa dampak  besar. Transformasi hutan menjadi kebun kelapa sawit, hutan tanaman industri dan tambang telah menyebabkan banjir di Kalimantan dan Sumatera. Meskipun dibantah oleh pemerintah, konversi hutan dapat diduga berada di balik banjir di Kalimantan.
Apa yang terjadi bertabrakan dengan janji environmentalisme pasar. Gagasan inti dari ideologi ini adalah motif keuntungan, konversi 'common resources' menjadi milik pribadi adalah cara paling efektif dalam pengelolaan sumber daya yang efisien dan lestari.
Logikanya begini. Sumber daya alam seperti hutan, harimau, gajah, danau dan saudara-saudaranya harus diubah jadi milik pribadi sehingga bisa dipertukarkan di pasar.Â
Karena pertukaran itu mendatangkan keuntungan, maka seseorang akan dengan sukarela menanamkan uang untuk membeli sumber daya alam. Uang harus kembali dan karena itu, kelestarian sumber daya alam itu harus dijaga lestari akan memberi keuntungan terus-menerus.
Harimau Sumatera makin habis karena kerusakan ruang ekosistem akibat deforestasi dan perburuan liar. Harimau diburu karena kulit, gigi dan bagian-bagian tubuh diperjualbelikan di pasar gelap dengan harga mahal.Â
Pelarangan jual beli harimau bukan membuat populasi harimau bertambah banyak, maka berkurang. Dalam perspektif, environmentalisme pasar, populasi harimau akan bertambah jika perdagangan harimau tidak dilarang. Â
Ini akan mendorong orang mengembang biakan harimau karena mendatangkan keuntungan dan karena itu menolong populasi harimau. Jadi motif keuntungan sejalan dengan pelestarian alam.
Itu filosofi dasarnya. Filosofi ini berada di balik tranformasi besar-besaran hutan alam di Kalimantan dan Sumatera sejak era Orde Baru. Hasilnya tidak seperti yang secara ideal dianjurkan pendekatan pasar dalam pengelolaan hutan dan lingkungan. Â
Pertama, mereka yang pernah belajar ekonomi tentu tahu bahwa untuk menguntungkan produksi harus mencapai skala ekonomis tertentu, di mana produksi meningkat dengan biaya makin rendah. Kunci dari ini adalah penyeragaman. Makin sama jenis, usia, ukuran, kualitas dalam satu kawasan, makin rendah biaya pemeliharaan, keuntungan yang dicapai makin tinggi.
Keuntungan dari pohon yang seragam, tapi ada kerugian sangat besar dalam kehilangan sumber daya biodiversivitas. Dalam sebuah diskusi tentang konversi hutan tembakau menjadi ladang garam di Timor, kami pernah berdebat untuk menghitung keuntungan dari ladang garam dengan keuntungan dari pariwisata, perikanan, kepiting, kehadiran bangau jika hutan bakau dipertahankan. Keuntungan jauh lebih besar dan sustainable ketika hutan tembakau dipertahakan.
 Kedua, Secara teoritis ada hubungan antara motif keuntungan dan pelestarian. Tetapi pasar yang bekerja didorong akumulasi keuntungan harus ditopang oleh sistem hukum yang bersih dan kuat.Â