"Pak semangat ya, biar cepet sembuh", kalimat bernada keras itu diucapkan oleh cici yang sedang menunggu ayahnya di rumah sakit, kebetulan kamarnya sebelahan dengan ayahku. Bak petir yang menyambar, disaat keluargaku penuh dengan kekhawatiran, hanya do'a lirihlah yang bisa terucap. Â
Kami lupa akan kalimat penghibur untuk kepala kerluarga kami sebelum menjalani operasinya.
 Si cici dengan lantangnya menyerukan kalimat penyemangat untuk ayahku. Keramahan keluarga keturunan Tianghoa itu memang nampak saat obrolan terjalin sinambi membunuh waktu, memikirkan sakit yang didera masing-masing dari anggota keluarga kami.
 Sapa-sapaan kecil selalu kami dengar setiap pagi. Cerita hangat setiap malam juga mengalir begitu saja diantara kami. Jauh sebelum itu, ibu dan ayahku banyak menjumpai keturunan dari mereka dalam dunia bisnis, usaha, hingga aktifitas jual-beli.Â
 Ibuku sampai hafal gelagat-gelagat mereka. Banyak pelajaran yang ibuku dapat dari kehidupan mereka. Kehidupan mereka yang padat akan persaingan memunculkan sifat disiplin cenderung keras dan otoriter serta mandiri. Sifat itu muncul demi kemujuran hidup mereka dan keturunannya nanti.
 Hal tersebut terbukti dari keseharian mereka yang lebih sering mengonsumsi bubur dari pada nasi atau makanan pokok lainnya. Memang hanya hal kecil, tapi dampaknya bisa besar untuk kelangsungan hidup mereka kedepannya.Â
 Dari interaksi-interaksi kecil itu, mengubah pandangan publik bagaimana bisa orang keturunan mereka mencoba menguasai Indonesia. Sering kita dengar orang-orang keturunan china seperti mereka hanya membodohi kita yang jelas warga asli Indonesia, karena mereka selalu lebih unggul dari kita.
 Tidak, tidak seperti itu kawan. Mereka yang sudah lama tinggal di negara kita ini tidak selalu bernasib mujur. Aku sering menemui kerasnya kisah hidup mereka di tanah air kita ini. Mereka juga memulai kehidupannya dari 0. tidak terlahir dengan bergelimang harta.Â
 Keturunan Tianghoa memang sudah banyak di Indonesia, karena mereka sudah merasa nyaman dengan lingkungan kita ini, bahkan hal itu sudah banyak diakui oleh keturunan mereka yang sejak lahir sudah di Indonesia.
 Tak sedikit dari mereka memuji bagaimana indahnya perlakuan yang mereka terima di negara penuh ketolerasian ini. Hingga berakhir membuat mereka enggan beranjak dari negara ini.
 Teringat dari cerita-cerita di atas saat baru-baru ini, ada unggahan video dari warga Indonesia yang berketurunan Tianghoa. Dalam video ia mengeluh dan merasa keberatan dengan bahasa statemen yang dilontarkan Anis saat kampanye pilgub 2017 lalu.
 Dalam statemennya, Anies yang membedakan pribumi dan non pribumi, Bahasa yang digunakan Anis menyudutkan warga non pribumi yang menindas warga pribumi. Bagaimana kedudukan orang keturunan Tianghoa sepertinya yang sudah lahir dan besar ditanah air ini, bahkan dia mengakui akan tanah airnya yang sesungguhnya adalah Indonesia.
 Amat sangat disayangkan capres yang baru diusung oleh Nasdem itu membeda-bedakan warganya dengan bahasa yang menohok seperti itu. Terkesan mereka hanya menumpang hidup saja di Indonesia, padahal jiwa dan raga mereka sudah berpihak untuk negara ini.
 Bahkan dalam penuturannya dia berani membela negara yang telah melindungi dan memberikan kehidupan yang nyaman, aman dan tenteram ini. Dalam video itu, Anis dengan gamblangnya menyuarakan pribumi yang ditindas dan dikalahkan. Bukankah bahasa dalam kalimat itu yang dapat memprovokasi masyarakat, sehingga itu akan memecah belahkan rakyat Indonesia.
 Padahal negara kita sudah diwanti-wanti dari masa ke masa untuk selalu menerapkan hidup saling menghargai dan menumbuhkan rasa toleransi. Hal itu tentu karena lahirnya Indonesia sudah dianugerahi dengan bermacam-macam keaneragaman di dalamnya.Â
 Mengingat perlakuan Anis ini, memang menjadi bukti dampak politik identitas yang digaungkannya saat pilgub masih menyisakan banyak kekecewaan yang mendalam bagi masyarakatnya. Tidak hanya dari pilgub Jakarta, kini praktik politik identitas sudah mendarah daging dalam dirinya.
 Tentu hal itu akan mengingatkan kejadian tempo hari saat relawan pendukungnya dengan gencar melancarkan aksinya, untuk menyebar tabloid yang mengulik sosok Anis yang dirasa pantas menjadi presiden RI. Tidak habis pikir memang dengan aksi itu, tidak cukup dengan Jakarta yang menjadi korbannya, kini ia dengan gamblangnya ingin memecah belah Indonesia.
 Perlakuan Anis yang membuat tersinggung itu mengingatkanku tentang satu hal yang akan membuat matanya terbuka lebar. Saat aku singgah di Semarang, nenekku memberiku kue kranjang sambil berkata seperti iniÂ
 "ini buat kamu, tadi saudara yang lain sudah tak kasih juga" saat aku menanyakan darimana datangnya kue-kue itu, beliau menjawab "tetangga nenek kan banyak yang keturunan chinese, pas imlek banyak banget yang bagi-bagi kue kranjang  ke nenek".
 Saat itu umurku belum terlalu mengerti apa itu makna dari toleransi. Tapi terenyuh sekali saat mendengar kehidupan bertetangga yang tercipta diantara mereka. Itu tandanya bhinneka tunggal ika selalu digemakan rakyatnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
 Pak Anis, seapik itu toleransi yang tercipta di kehidupan rakyat.
 Apa tega kamu memecah belah kami?
Begitukah capres yang diusung Nasdem?
Benarkah orang seperti itu yang dielu-elukan rakyatnya menjadi Presiden RI?
 Hati nurani rakyat akan menjawabnya. Rakyat akan bijak memilih pemimpinnya yang akan membawa kebaikan untuk kehidupan mereka dan masa depan bangsa ini.Â
Â
Nikmatul Sugiyarto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H