Siapa yang pernah berjumpa dan berjabatan tangan secara langsung dengan sosok Ahok, menurut saya dirinya lebih beruntung ketimbang saya yang boleh dikatakan “coret menyoret dalam rindu yang meraba”. Mengapa demikian karena kata pepatah “maksud hati memeluk gunung apa daya tangan pendek”.
Memang tak dapat dipungkiri zaman sekarang kecenderungan dari kita “lihat dulu baru percaya (Percaya Thomas). Kiranya saja hal serupa terutama bagi sebagian besar warga DKI jangan sampai terjadi. Jelas akan berdampak kurang menguntungkan bagi masa depan pembangunan DKI di masa akan datang.
Ahok memang bukan sosok yang begitu romantis dalam pengamatan saya juga kita semua mungkinnya. Tapi seburuk tak romantisnya Ahok masih tertutupi sejumlah kecakapan tertentu dirinya dengan aksi nyata pembangunan yang telah dibuatnya bagi DKI.
Banyak orang tentu mengatakan Ahok itu begini dan begitu, tapi boleh kata Monas pun tahu bagaimana posisi Ahok di hati pengagum dan pendukungnya. Ahok boleh punya banyak kekurangan tapi hal apa dulu kekurangannya? Kalau bertanya mana yang besar persentase, nilai kurang apa nilai lebih dari Ahok? Jawaban dikembalikan kepada penonton secara khusus kepada pihak-pihak yang hingga kini masih saja dengan lihainya mengatur strategi tapi bukan berarti mahir pula memerankan dan mewujudnyatakan.
Banyak orang pasti akan bertanya “Ahok itu lebihnya apa sih? Hingga begitu fenomenal dan seakan-akan mahal dan berharga bagi bangsa ini? Intinya Ahok punya dua kelebihan mendasar yang membuat sosoknya begitu fenomenal. Pertama Ahok lebih mulutnya (suka memuluti sesama jika dirasa kurang sreg menurutnya), kedua lebih kerjanya (kerjanya lebih menonjol karena begitu nyata serta dapat dirasakan langsung hasil dan manfaatnya).
Ahok jika diperhatikan begitu banyak dipandang sebelah mata dengan memposisikan dirinya sebagai bagian dari kaum minoritas. Lebih-lebih di kalangan politikus yang berseberangan kepentingan dengan Ahok. Entah apa kepentingan mereka yang lantas membuat begitu berseberangan benar haluan politik kenegaraan mereka dengan Ahok. Yang jadi pertanyaan apa hal demikian dapat dikatakan elit politik kita sudah matang politik memajukan bangsa dan Negara ataukah sebaliknya matangnya adalah matang dalam mengejar kepentingan lainnya? Jawaban dikembalikan pada kita sekalian yang senantiasa bertindak wasit juga pemain entah langsung ataupun tidak.
Sejuta kata boleh terangkai dan terungkap untuk menjerumuskan Ahok, tapi jadi pertanyaan apakah telah diimbangin dengan sejuta bukti nyata yang telah dipersembahkan dan dihadirkan untuk kemajuan DKI? Hal tersebut harus menjadi pertanyaan penting yang harus dijawab jika ingin terus bertempur melawan Ahok. Politik boleh dikedepankan dalam memperjuangkan nilai kepentingan partai atau kelompok, akan tetapi patut dicatat Negara butuh politik untuk mengarahkan Negara sesuai cita-cita yang diharapkan yakni “memajukan dan mensejahterakan bangsa” bukan Negara butuh sosok yang ingin memajukan dan mensejahterakan pribadi dan kelompok semata!
Ahok telah membuktikan bahwa dirinya tidak berdiri di atas satu panji tertentu, tapi dirinya mampu membuktikan bahwa dirinya hadir untuk semua warga DKI. Tidak ada yang lebih penting bagi sosok Ahok selain bagaimana Ahok berusaha dari waktu ke waktu bekerja tanpa perdulikan apa ocehan di luar bagi dirinya dalam menjalankan kepemimpinannya di DKI. Sejumlah prestasi telah diraih sebagai manifestasi dari kesetiaan dirinya dalam memberikan yang terbaik dalam menjalankan tugas sebagai kepala pemerintahan dan kepala daerah di DKI. Sebagai kepala pemerintahan Ahok berusaha memperbaiki kinerja birokrat pemerintahan yang dipimpinnya sedangkan kepala daerah Ahok berusaha menjadi Bapak yang baik bagi daerah yang menyediakan berbagai fasilitas kemudahan bagi seluruh warga DKI tanpa pandang Ras maupun golongan.
menjalankan amanat yang telah dipercayakan seluruh warga DKI dengan baik secara perlahan tanpa memikirkan dirinya masih akan diperjuangkan kelak apa tidak adalah ciri yang Nampak benar dari Ahok (dengan berusaha mengikuti kehendak barisan muda DKI/Teman Ahok). Sekalipun dirinya harus berhadapan dengan sejumlah cercaan akibat konflik kepentingan yang entah kemana arahnya karena sulit terungkap secara nyata dalam perjuangan politik sekelompok elit tertentu di DKI yang mengatasnamakan kelompok dan golongan tertentu.
Zaman telah berubah masyarakat semakin pintar menentukan pilihan politiknya. Politik bangsa ini dari waktu ke waktu bukan berjalan mundur sehingga rakyat masih bisa terus di ninabobokan dengan janji-janji manis berujung pahit. Masyarakat jelas akan menentukan pilihan politik sesuai hati nuraninya, sehingga model provokasi dan lempar menendang isu bukan lagi makhluk aneh di kalangan masyarakat. Apalagi ada oknum-oknum tertentu yang sengaja memancing di air keruh pada forum-forum khusus dengan sengaja melempar isu tak berkualitas mengundang reaksi negatif masyarakat untuk berbalik arah mengikuti semua yang bisa saja sekedar janji politik yang belum jelas terakomodir kemudian hari.
Fenomemana budaya perpolitikan di tanah air saat ini di era kehidupan masyarakat modern cenderung menjadikan Pemilu sebagi “penting milih dulu” serta “penting mikir dulu”. Sehingga para politikus saat ini sudah seharusnya sadar bahwa kini kiblat memperhitungkan peluang kantung-kantung suara pemenangan dimasa akan datang. Dengan mengatur strategi dengan baik dalam rangka memenangkan suara di lapangan pada kedua jenis kelompok pemilih “penting milih dulu” atau “penting mikir dulu”.