Mohon tunggu...
Nikmah Mentari
Nikmah Mentari Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik dan Konsultan

Penulis, Pendidik, Konsultan Hukum

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menghadapi Digitalisasi Komunikasi: Antara Kemudahan Berinteraksi dan Batasan Etika

20 Juli 2023   09:41 Diperbarui: 20 Juli 2023   09:44 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di era digital yang serba praktis dan efisien menjadi tantangan tersendiri bagi kaum pendidik, khususnya di tingkat pendidikan tinggi. Rupanya, tidak sekedar teknologi digital yang meniadakan hambatan perkara jarak, ruang dan waktu, sehingga memudahkan interaksi antara pendidik (dosen) dan peserta didik (mahasiswa). Pembicaraan tentang interaksi komunikasi sebagai dosen millenial (1981-1996) cukup terbantu dengan adanya teknologi tersebut. Dosen millenial umumnya generasi yang turut berkembang pada zaman pra digital hingga peluncuran teknologi digital tercanggih, sehingga mengalami dan mempelajari budaya dari warisan generasi Baby Boomers dan generasi X. Mengenai lintas generasi bisa baca di https://www.kompas.com/tren/read/2021/12/26/170000565/mengenal-apa-itu-generasi-baby-boomers-x-y-z-millenials-dan-alpha 

Didikan generasi Baby Boomers dan generasi X sangat mengedepankan etika, moral, adab  serta membenamkan pada nilai-nilai yang begitu kuat. Sehingga, dalam menghadapi era digital pun, generasi millenial masih dapat menempatkan diri membawa nilai-nilai tersebut meski tidak juga ingin ketinggalan hal trending kekinian berbasis teknologi.  Media sosial dan gadget yang akhir-akhir ini seolah tak bisa lepas dalam genggaman karena memiliki manfaat tidak hanya pada tataran komunikasi semata, namun sebagai sarana untuk edukasi. Kaitannya dengan komunikasi, dosen millenial yang harus menghadapi generasi X dan Alpha, dihadapkan pada persoalan kemudahan interaksi dan batasan etika komunikasi. Melalui aplikasi pesan yang murah dan memiliki banyak fitur (tidak seperti sms ), memudahkan dosen untuk memantau perkembangan mahasiswa baik dalam hal bimbingan, penugasan perkuliahan maupun pengawasan perwalian. Dari aspek mahasiswa, dapat dengan mudah membuat janji dengan dosen, bahkan menanyakan perihal akademik diluar kelas. Tidak dapat dipungkiri, keakraban begitu mudah terjalin, karena umumnya dosen millenial lebih cenderung terbuka, flexible dan dapat disahabati oleh mahasiswa, mengingat gap generasi yang tidak terlampau jauh. 

Namun, pada akhirnya, seringkali saya mengalami dan mendengar keluh kesah sesama sejawat juga kewalahan akibat kemudahan interaksi tersebut. Bisa dibayangkan, jika banyak mahasiswa terus dan seringkali mengirim pesan menanyakan hal-hal yang bahkan tidak mendesak, yang sudah tersedia informasinya dan bahkan seolah menjadikan dosen sebagai admin chatbox, tanpa memikirkan, apakah pesan tersebut cukup sopan dan penting. Misalnya, melobi tugas yang sudah dijelaskan di kelas. Apalagi jika persoalan tersebut bisa ditanyakan melalui sesama mahasiswa sendiri di grup. Formalitaspun dikesampingkan, demi mendapatkan respon dosen dengan cepat tanpa perlu bersitatap langsung. Padahal, sarana whatsaap, sejatinya dipergunakan mempermudah koordinasi ketika interaksi secara langsung tidak mungkin/ sulit dilakukan. Jika dosen yang sulit ditemui, misalnya karena kesibukan, wajar saja. Namun, jika mahasiswa masih sering bersitatap dan bertemu dengan dosen di kampus, seharusnya komunikasi dijalankan secara langsung. Hal ini menjadikan sarana pesan tersebut sebagai jalur pintas tanpa batas untuk mendapatkan jawaban sekilat mungkin. Padahal, terkadang isi pesan juga dapat menimbulkan mispresepsi dan misinterpretasi bagi pembaca. Sehingga harapan informasi yang ingin didapatkan oleh mahasiswa sebenarnya juga cukup rawan. Oleh karena itu, batasan etika komunikasipun kini harus diberi pagar yang jelas dan tegas. 

Hal ini bukan karena dosen mengalami 'kemunduran peradaban' karena tidak peka terhadap manfaat teknologi, bagaimanapun juga dosen berperan dalam pembentukan karakter dan jati diri mahasiswa sebelum mereka memasuki dunia kerja dan berdampingan dengan masyarakat luas. Karena dosen tidak hanya berusaha dan wajib beradaptasi dan mengadopsi perkembangan teknologi serta pergeseran budaya, namun mengkoridori mahasiswa pada 'basic manner' dan 'basic rule' yang harus dipegang dalam menghadapi tantangan teknologi. Etika,moral, integritas, profesionalitas, dll merupakan softskill yang mengambil banyak porsi dari experiences daripada teori-teori yang mungkin bisa didapatkan lewat internet. Softskill tersebut juga tercantum dalam capaian pembelajaran  yang harus dijalankan dosen dalam setiap materi yang diajarkan yang seringkali tidak disadari oleh mahasiswa itu sendiri. Jika dibiarkan, mahasiswa akan ketergantungan pada pola kebiasaan yang dianggap wajar dalam berkomunikasi. Misalnya saja, menolak ditugaskan di suatu tempat dalam sebuah proyek karena alasan personal dan bukan profesionalitas. Sudah menolak dengan alasan tidak profesional, menyampaikannya ke atasan tidak sopan melalui Wa lagi. Tentunya manner seperti ini tidak diharapkan bagi pendidik kepada anak didiknya di dunia kerja. Karena, di dunia kerjapun, formalitas justru lebih disiplin lagi. 

Interaksi ringan dan meleburkan suasana ketegangan sah-sah saja, karena dosen juga tidak sepenuhnya serius seharian, namun, adakalanya interaksi harus diberi batasan baik oleh mahasiswa maupun dosen untuk tidak sama-sama melupakan etika berkomunikasi di era digital. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun