Mohon tunggu...
Nikmah Mentari
Nikmah Mentari Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik dan Konsultan

Penulis, Pendidik, Konsultan Hukum

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Semua Serba Komersil: Citayam Fashion Week Sampai Mana?

2 Agustus 2022   07:10 Diperbarui: 2 Agustus 2022   07:17 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam beberapa pekan terakhir yang kini menjadi trending ialah fenomena Citayam Fashion Week (CFW). Namun yang menarik, bukan karena tren CFW saja yang menjadi viral, tetapi permohonan pendaftaran merek oleh pemohon PT. Tiger Wong Entertainment milik Baim Wong serta pemohon atas nama Indigo Aditya Nugroho. 

Meski pada akhirnya kini dicabut oleh kedua belah pihak setelah terjadi kontroversi besar dikalangan netizen. "Created by the poor, stolen by the rich" begitu slogan-slogan penolakan masyarakat atas pendaftaran yang diajukan oleh para influencer tersebut. 

Meski hingga saat ini masih terdapat dua pemohon lainnya dalam proses permohonan pendaftaran Merek CFW untuk kelas 25 ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.

Pertama-tama, saya melihat, fenomena CFW merupakan sebuah bentuk satire terhadap maraknya flexing  di media sosial terhadap gaya hidup netizen terhadap pemakaian barang-barang branded dan tempat-tempat yang berkelas. 

Remaja di kawasan Sudirman, Citayam, Bojong Gede dan Depok (SCBD) yang rata-rata merupakan remaja termarjinalkan tersebut, hanya ingin menikmati hiburan versi mereka. 

Remaja SCBD mengemas hiburan layaknya netizen pada umumnya dengan cara berbeda. Fashion yang berani tampil apa adanya, sederhana, lugas, membentuk komunitas tersendiri yang menarik perhatian mata memandang, sehingga nampak ikonik. 

CFW-pun akhirnya berhasil menjadi trendsetter bagi dunia street fashion di dalam negeri. Tak ayal, beberapa hari kemudian, sepanjang akhir pekan di minggu ke-3 bulan Juli 2022 ini, berbagai kota turut berbondong-bondong menggelar CFW versi mereka di perkotaan. 

Pada akhirnya sebuah trend dan fenomena sosial dimana terdapat pergerakan dan pengumpulan massa akan menarik nilai 'ekonomis'. Seperti pepatah lama, 'dimana ada gula disitu ada semut'. 

Terlebih saat ini di era digital, sebuah story, feed , reels di instagram, video di tiktok, podcast di youtube ataupun spotify, telah menghasilkan nilai 'ekonomis' tersendiri. 

Bagaimana tidak? seorang youtuber terkenal saja dalam satu konten yang diupload, mampu menghasilkan jutaan hingga puluhan juta hanya mengandalkan viewer, subscriber dan like para netizen penggemarnya. 

Belum lagi, ketika seorang selebgram mulai mengunggah kegiatannya di instagram maupun tiktok, fans akan bertanya merek dan harga outfit yang dikenakan, meski substansi konten yang dilakukan selebgram bukan dalam rangka endorse outfit yang dikenakan. 

Tentu saja, tak luput ketika mereka berada di CFW, viewer akan tertarik dan berbondong-bondong mengunjungi lokasi tersebut. Mengingat fenomena Fear of Missing Out (FOMO) di Indonesia masih sangat kental. Jika belum mencoba yang viral yang lagi ngetrend, takut ketinggalan jaman.

Karena memiliki nilai ekonomis itulah, para pebisnis melirik dan mengolah sebuah ajang bernama CFW sebagai Kekayaan Intelektual yang dapat dieksploitasi, dieksplorasi serta dimiliki 'hak'-nya untuk kepentingan pribadi. Sebelum CFW dihebohkan dengan pendaftaran merek, fenomena CFW sendiri telah menggerakkan roda perekonomian secara massif. 

Harga-harga pada industri fashion kelas menengah ke bawah yang awalnya dijual murah, kini mengalami peningkatan drastis akibat permintaan yang melonjak. Pada akhirnya, semua serba komersil dan dapat dikomersilkan. 

Seperti dalam basis filosofi Karl Marx terkait kapitalisme, dimana kebebasan dan kreatifitas sangatlah dijunjung tinggi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup. 

Namun sayangnya, kebebasan dan kreatifitas ini justru hanya sekedar kebebasan berkreasi semata. Remaja Citayam, masih belum atau dapat dikatakan 'jauh dari sejahtera' seperti apa yang diharapkan dalam idealisme Karl Marx.

Sebenarnya, mengkomersilkan CFW tidak ada salahnya, jika dikembalikan lagi pada kesejahteraan remaja-remaja pelakon CFW dan masyarakat sekitar SCBD. Tentu saja, Negara harus hadir untuk memfasilitasi dan melindungi hal tersebut. 

Tak dapat dipungkiri bahwa Indonesia telah menyerap nilai-nilai kapitalisme dalam rangka perdagangan bebas dan globalisasi, namun tidak dapat dilupakan bahwasannya demokrasi kerakyatan tertuang jelas pada Pasal 33 UUD 1945. 

Dalam hal ini, peran Negara sangatlah penting dan dibutuhkan agar kesejahteraan dari fenomena CFW tersebut diharapkan merata. Khususnya bagi remaja pelakon CFW yang memiliki masa depan panjang dan perlu binaan serta modal. 

Bukan kesejahteraan yang berpusat pada pemilik modal. Terlebih fenomena CFW merupakan anak kandung yang dilahirkan dari hasil kreatifitas dan kebebasan remaja kawasan SCBD.

Hal ini tak lain mengingat fenomena trending dan viral pada umumnya tidaklah permanen. Sehingga, apakah tren CFW akan melegenda dan akhirnya menjadi salah satu ikon pariwisata bagi kawasan SCBD ataukah ibarat kembang api yang euforianya hanya sekejap mata lalu padam menyisakan asap layaknya tren-tren viral terdahulu yang kemudian mudah terlupakan? Pada akhirnya kolaborasi masyarakat dan pemerintah setempatlah yang akan menjaga dan melestarikan eksistensi CFW.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun