03 September 2014, Denpasar - Dia adalah wanita yang sangat mengagumkan! Nury sebagai sosok dan pemain utama dalam penulisan seni drama hidup, menggugah hatiku, o’ Tuhan saya perlu dikuatkan agar diri ini tidak mengeluarkan air-mata untuk menolak duka, dia sangat kasihan. Ya, pasti lebih banyak orang lagi yang tertimpa kemalangan dan tetap bertahan hidup dengan secerca harapan, menggenggam sinar di dada yang menghidupi asa dan memanggil, Dia... Yang Welas-Asih. Tidak ada ucap atau kata yang paling kuat untuk membangkitkan semangat hidup, seseorang harus mempunyai harapan. Seperti Nury, saya mengingatkan untuk tetap bersabar, tetap beribadah, tetap bersyukur atas nama Allah.
Di sore senja, di minggu lalu, Nury tidak lupa mengabari bahwa dia berada di rumah sakit, mengurusi jadwal kemoterapi. Prasyaratannya bergantung pada hasil jumlah trombosite dan dia harus menunggu giliran dengan nomor urut ke- 500-an. Saya harus menjawab apa, semoga kalimat ini bisa menenangkan hatinya, “ya, sabar saja ya...”, membayangkan wajahnya masih mampu menghibur diri, “ya, emang harus sabar. dan ada orang yang bertukar kartu dengan saya, dikasih nomornya yang berurutan nomor 300-an”. Hih, saya membaca pesan sms dan memintanya bersabar, karena di hatiku tak mampu jujur padanya, o’ ini nasib apa, kasihan banget temanku ini. Kenapa jalan karmanya begitu amat panjang untuk bisa mencapai titik akhir dan dikasih pintu keluar dari duka, ternyata Tuhan sangat mengasihinya dan memberi keringanan, serasa kami berdua telah lolos dari lorong kegelapan, dia mengajakku untuk merasakan duka, saya pura-pura kuat tetapi hatiku sebenarnya sangat ibah, dalam keadaan apa pun, kami berdua menjawab tantangan hidup dengan tertawa, asal diberikan kesempatan untuk hidup sehari, lusa, sebulan dan berapa tahun lagi, kami hanya butuh kekuatan dan kesabaran untuk mengakhiri perjalanan karma agar naik level.
Usai ke dokter, dia sms lagi. Kata dokter, tidak ada kelainan atau kekurangan dalam trombosite, dia sudah siap untuk kemoterapi berikutnya. Tapi.Masalah lain adalah biaya kemoterapi sebesar Rp. 3 juta. Satu saudara yang cukup mampu dan penyumbang biaya terhalang untuk kali ini karena persiapan pernikahan anaknya.
Apa yang tidak diketahui Nury, hal-hal kecil dalam pertukaran pesan jarak-jauh diingat oleh saya agar suatu saat, menjadi suatu karangan cerita tentang laku cinta-kasih antara dua saudara yang berbeda orangtua namun merasa dekat seperti muncul pengganti kakak kandung perempuan yang duluan meninggalkanku. Ya, Tuhan, kali ini saja... berikan saya kesempatan menyayangi kakak-ku dalam wujud Nury.
Sejiwa, Karya Nury
Kemarin dia ingin menyibukkan diri, katanya, ingin menggambar. Saya tidak bertanya, jawaban singkat, “silahkan”. Eh, tahu-tahunya berapa jam lewat, sudah malam dan dia mengirim gambar, saya memandangi garis-garis dan warna, bentuknya agak familier ini, kayak wanita dan pria. Dari kesan pertama, mirip gambar di kartu game poker, sampai saya mengenal, ada sosok pria.
Mungkin saya paham yang tersembunyi di hati Mbak Nury, tanpa saya mengingatkannya. Dia rindu almarhum suaminya, orang Bali dan berkasta Brahmana.
Saya memberikan judul pada gambar, “Sejiwa”.
Gambar Nury memberikanku ide dan menawarkannya, “cocok deh, jadi lukisan repro bersanding dengan mandala, nanti saya masukan dalam katalog penawaran, bikin banyak lagi ya”.
Bagi Nury, dia menggambar untuk melatih pernafasan dan gerakan tangannya. Kami tetap berlatih kayak murid dalam dunia Seni dan Spiritual. – NS.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H