Saya tidak akan bercakap detail mengenai karya Lan Fang, atau bahkan menghubungkannya dengan Sang sutradara. Saya hanya akan mengungkapkan kekaguman akan karya Lan Fang. Sungguh saya menyukai karya-karyanya. Tanpa kecuali.
Saya belum benar-benar mengenal karya Lan Fang seperti saya belum mengenal orangnya langsung. Aneh ya, padahal dia begitu dekat. Masih sama-sama berada di kota yang sama. Namun berawal dari membaca cerpen koran minggu Lan Fang, saya pikir saya bisa jatuh cinta untuk tulisan Lang Fang yang lain yang belum saya baca. Dan memang iya. Buku kumpulan cerpennya Yang Liu yang saya temukan di bazar buku beberapa bulan lalu semakin menarik saya untuk terus mencari tahu. Lewat internet saya baca profil Lan Fang dan beberapa ulasan mengenai karyanya. Dan saya temukan satu berita bahwa ia sudah meninggal beberapa hari sebelumnya -Saya kurang update berita rupanya-.
Selain itu, sastrawati satu ini mempunyai jiwa sosial yang tinggi. Saya baru tahu, bahwa dia yang mempunyai ide parade cerpen dari para penulis di koran minggu yang ditujukan untuk membantu pengobatan Sanie B. Kuncoro yang sedang sakit kanker. Dia juga dikenal amat baik sebagai sosok wanita keturunan Tionghoa yang pluralis. Meskipun Lan Fang tidak bisa berbahasa Tionghoa, semangatnya untuk menyatukan keberagaman budaya Tionghoa-Indonesia bisa dilihat dari keinginannya menerbitkan kumpulan syair ciptaannya dalam bahasa Tionghoa. Namun belum sempat terwujud.
Lang Fang. Kalau saja saya bisa mendefinisikan,
Lan Fang adalah
Tidak, tidak bisa.
Mungkin masih secuil untukku
Tapi sudah banyak yang kau berikan
Untuk Indonesia
Untukku.
Berikut ini sepotong karya dari 'pemilik' laki-laki yang salah, Lan Fang.
Aromamu menguap pergi. Aku masih mmenyisir sepi
sampai tepian pagi.
"Dunia gelap, sudah kuberi semua manis untukmu,"
ujar bayang.
Mungkin kau capai, mungkin lelah.
Mungkin ramai, mungkin pasrah.
Mungkin rinai, mungkin payah.
Mungkin cerai, mungkin marah.
Lalu menyeru "bedebah!" kepada semua yang
mungkin.
Mungkin nyenyak tidur, mungkin jaga di dengkur.
Mungkin hampa ditekur, mungkin jatuh
tersungkur.
Mungkin pagi ini, mungkin malam ini.
Mungkin hati ini, mungkin dan
mungkin hidup ini.
Ya!
Susahmu, sedihmu, sakitmu, marahmu, aku mau
semua!
Ikut kembaraku, jauh dekat, rindu dendam, tak akan
kutinggal.
Mimpi belum usai, ayo kita mengunci matahari!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H