Mohon tunggu...
Eunike Abdi
Eunike Abdi Mohon Tunggu... -

saya mahasiswa Psikologi yang cinta dengan dunia kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Masih Adakah Mentari di Ujung Jalanku?

27 Januari 2014   14:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:25 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Heh bangun! dasar pemalas kerjaannya tidur aja, pergi sana! kamu Cuma ngotor2in tokoku”

Aku merasakan kaki seseorang menendangku, kucoba membuka mata, sinar mentari menyilaukanku, ternyata pemilik toko lah yang menendangku dan meneriakiku

Aku beringsut bangun, yah seperti biasanya aku selalu diteriaki oleh pemilik toko yang emperan tokonya aku tempati untuk tidur

Kali ini aku tidur di emperan toko sepatu dekat alun-alun, pemiliknya terlihat garang dengan kumis yang tebal, perawakannya tinggi besar, badannya sangat kekar, aku sedikit ketakutan melihatnya, dan segera saja aku pergi dari sana, aku tau pandangan pemilik toko itu masih mengikutiku

Aku berjalan di trotoar menyusuri alun-alun yang tentu saja masih sepi karna hari masih pagi, kulihat beberapa anak yang memakai seragam SD bersenda gurau di atas sepedanya, aku berhenti sejenak dan melihat mereka hingga mereka menghilang di kelokan jalan, ada rasa iri dalam diriku, ada tanya yang tak pernah terjawab “kapan aku bisa sekolah lagi?”

Yah sudah dua tahun ini aku berhenti sekolah, alasannya bisa ditebak, karna kondisi ekonomi keluarga yang tidak memadai, ayahku seorang pemabuk yang meninggalkan keluarganya begitu saja, sedangkan ibuku sudah meninggal tiga tahun lalu, aku anak ketiga dari tiga bersaudara yang semuanya laki-laki, dua saudaraku hidupnya sama denganku, luntang lantung sini sana untuk sekedar mencari sesuap nasi. Sebenarnya aku punya tempat tinggal, namun aku tak pernah pulang, karna setiap kali aku pulang, hatiku lebih pedih lagi, mengingat keluargaku yang berantakan. Dua saudaraku yang lain pun demikian, mereka tak pernah pulang, apalagi kakakku pertamaku, sepertinya dia mewarisi sifat ayahku, seorang penjudi dan pemabuk.

Aku terus melangkah, meski tak tau akan kemana aku hari ini, yang jelas aku harus dapat uang agar hari ini bisa makan, kemarin malam aku ngamen di alun-alun, hasilnya lumayan, bisa untuk makan dua hari, tapi sayang preman pasar terlanjur tau, hingga uangku dirampas oleh mereka, dan jadilah aku tadi malam tidak makan sampai pagi ini. Cacing di perutku sudah protes saja dari tadi, tapi tak kuhiraukan, jika pagi ini aku ngamen di perempatan, pasti aku kena ciduk polisi, karna kalo pagi biasanya polisi turun ke jalan untuk mengatur lalu lintas. Akhirnya kuputuskan untuk tidak ngamen dulu saja dan menahan perut yang keroncongan.

Aku pun duduk di trotoar, mengamati orang-orang yang lalu lalang, kulihat sebuah sedan berjalan perlahan dan kemudian berhenti di sebuah minimarket 24 jam,seorang wanita dengan stelan jas warna abu-abu turun dari mobil dan masuk ke dalam minimarket itu, aku terus mengamatinya, wanita itu sangat cantik, sepertinya dia seorang manajer atau pengusaha, entahlah yang jelas dia kaya, itu terlihat dari baju yang dipakainya dan mobil yang dikendarainya. Beberapa menit kemudian wanita itu keluar dari minimarket dengan membawa tas kresek besar berisi belanjaannya, aku menebak-nebak apa isi belanjaan itu, mungkin roti sobek dengan selai coklat dan susu kotak yang nikmat, atau mungkin roti tawar, keju, jus, snack...ah tebakan-tebakanku membuat perutku semakin keroncongan saja.

Jadi daripada aku semakin tersiksa oleh laparku, aku pun berdiri dari sana dan melanjutkan perjalananku, perjalanan yang sebenarnya hanya untuk membunuh waktu. Aku terus berjalan melewati sekolah menengah yang sudah ramai oleh siswa-siswinya, aku berhenti sejenak mengamati setiap tulisan yang ada, walaupun aku sudah berhenti dua tahun, namun aku sudah pandai membaca, menulis dan berhitung. Sewaktu aku berdiri di sana, kulihat seorang siswa seperti bertengkar dengan ibunya, siswa itu sepertinya tidak mau masuk sekolah, namun ibunya menyeretnya secara paksa sampai anak tersebut berteriak-teriak, aku menggeleng-gelengkan kepala, bagaimana bisa anak itu menolak untuk sekolah? padahal orangtuanya mampu? sementara aku saja sangat merindukan bangku sekolah, aku menarik nafas panjang dan berlalu dari sana.

Aku melewati sebuah warung makan, aku memandang dari luar, di etalase warung tersebut terpampang berbagai makanan seperti ayam goreng, empal, sayur ikan, dll. Kakiku serasa ingin melangkah masuk dan memesan semua makanan itu, tapi untunglah otakku masih bisa berpikir waras, aku tidak punya uang, tidak sepeserpun. Percuma aku merogoh-rogoh kantongku, karna di sana tidak ada apa-apa. Lagi-lagi aku menarik nafas, ketika aku hendak melanjutkan perjalananku, aku melihat seorang anak kecil dengan manjanya menarik ibunya ke warung tersebut, ibunya hanya tersenyum melihat tingkah anaknya, mataku mulai berkaca-kaca, ibu, tiba-tiba aku merindukannya, rindu senyumnya, rindu nasihatnya, bahkan rindu marahnya. Dan sebelum air mataku menetes, aku segera pergi dari sana.

Aku berjalan terus hingga waktu menunjukkan pukul 08.05, kuketahui itu dari jam besar yang ada di perempatan, kulihat pula sudah tidak ada polisi di sana, kupikir inilah waktunya untuk “bekerja”. Aku menunggu hingga lampu merah menyala dan segera berlari menghampiri sebuah mobil, dengan bermodalkan tepukan tangan dan suara yang pas-pasan aku bernyanyi dari satu kendaraan ke kendaraan yang lain berharap mereka merasa iba dan memberikan beberapa keping uang padaku. Tetapi di lampu merah pertama ini aku hanya mendapat dua koin 500an, yah tak apalah setidaknya nanti bisa kubelikan air minum. Aku menunggu lagi hingga lampu merah kembali menyala, pekerjaan ini kulakukan setiap hari dari pagi sampai malam, namun jika aku sudah kelelahan, maka aku hanya akan melakukannya sampai jam 4 sore.

Dan hari ini, aku hanya bertahan sampai jam 11 siang, perutku sudah sangat keroncongan, dan tenggorokanku benar-benar kering, aku pun memutuskan untuk berhenti dan pergi dari sana, mencari warung yang murah dan membeli makanan. Aku menyusuri kembali jalanan yang tadi kulewati, aku berpikir daripada aku mencari warung baru yang belum tentu harganya, lebih baik aku pergi ke warung langgananku saja, di sana harganya murah meriah, dengan uang 6500 yang aku miliki aku bisa mendapat sepiring nasi, tempe, sayur, dan segelas es teh. Jarak warung itu cukup jauh sebenarnya tapi tak apalah, aku terus berjalan.

Namun di ketika melewati sebuah gang dekat pemukiman kumuh, aku berhenti karna suara rintihan seseorang dan suara preman yang membentak-bentak, aku segera menghentikan langkahku, dan mencari-cari asal suara itu, ternyata suara itu berasal dari gang buntu di sekitar tempatku berdiri, aku pun pergi ke sana diam-diam dan mengintip, 3 orang preman dengan badan kekar sedang memukuli seseorang, aku berusaha melihat siapa orang malang itu, namun badan preman-preman itu menghalangiku. Sesaat kemudian kudengar suara sirine mobil polisi, aku pun lari mencari tempat sembunyi, dan dari tempat persembunyianku aku masih bisa melihat, polisi mengepung orang-orang tadi, polisi menggiring mereka naik ke mobil, betapa terkejutnya aku karna pemuda yang tadi dipukuli adalah bang Ardi, abangku yang pertama, wajahnya sudah babak belur nggak karuan, matanya bengkakk dengan lingkaran berwarna biru, hidung dan bibirnya berdarah. Badanku seketika lemas, hingga mobil polisi berlalu dari sana, aku masih terduduk di tempatku bersembunyi, tak terasa air mataku menetes, bang Ardi kenapa dia lagi yang kena masalah? sejelek-jeleknya sikap bang Ardi, bagaimana pun juga dia tetaplah abangku.

Aku masih terduduk lemas di sana, entah apa yang kupikirkan, yang jelas aku marah, marah sekali, entah pada Tuhan, entah pada ayah, ibu, bang Ardi, bang Nawil, atau pada preman-preman itu? aku pun tidak tahu, hatiku ingin berontak dan berteriak, tapi aku tak mampu, semuanya masih mengganjal di kerongkonganku.

Dengan mata sembab, aku kembali bangkit dan berjalan, terus berjalan tanpa tujuan, tak kuhiraukan lagi perutku yang lapar, aku hanya ingin berjalan terus. Keramaian di sekitarku pun tak kupedulikan, bagiku hiruk pikuk kota ini hanyalah untuk orang-orang kaya, dan bukan untuk orang terpinggirkan seperti aku.

Tak terasa hari mulai gelap, aku mulai kelelahan dan akhirnya aku duduk di depan sebuah toko, belum lama aku duduk, pemilik toko mengusirku, dia bilang aku hanya mengotori pemandangan tokonya saja. Aku bangkit dan menatapnya dengan tajam, hatiku berteriak “aku juga manusia sama seperti anda, aku diciptakan oleh Sang Penguasa yang sama, kenapa anda bilang aku mengotori toko anda?” tapi teriakanku hanya mampu didengar oleh hatiku sendiri, percuma juga jika aku mengatakannya pada pemilik toko itu, aku hanya akan jadi bahan tertawaan, jadi aku pun pergi dari sana.

Ketika berjalan, aku memandang langit, hatiku ingin menyalahkan Tuhan atas keadaanku, namun nasihat-nasihat ibu kembali terngiang di telingaku

“le, Gusti iku gak pernah salah, kalo kita harus hidup susah, itu karna Gusti mau merancangkan sesuatu yang hebat buat kita, jadi jangan pernah mengeluh yo,tetap bersyukur”

Duh ibu, bagaimana aku harus bersyukur kalo hidup keluarga kita sekarang seperti ini? apa nggak bisa aku kumpul lagi sama ayah sama abang, bisa sekolah lagi, punya rumah yang layak, punya mainan yang bagus-bagus? tiap hari Candra rajin berdoa, tiap hari Candra nggak pernah nakal, tapi kok tetap aja hidup kita kayak gini? kok beda banget sama orang-orang atas sana yang suka korupsi, yang suka nipu orang, mereka tiap hari berbuat dosa tapi kok bisa hidup enak, katanya Tuhan itu adil, tapi bagiku ini nggak adil.

Batinku terus memberontak, air mataku kembali meleleh, aku pun akhirnya duduk di bawah pohon ringin di pinggir jalan, lagi-lagi aku menangis di sana, aku malu sebenarnya, aku ini anak laki-laki tapi kok cengeng, tapi mau bagaimana lagi, mau mengadu pada ibu, ibu sudah nggak ada, mengadu pada ayah? ah jangan sebut dia lagi, pada abang? satu abangku ditangkap polisi, satunya lagi entah kemana. Ku usap air mataku, aku menatap langit, gelap benar-benar gelap, tidak ada bintang, pun tidak ada bulan, sepertinya akan turun hujan, aku menghela nafas lagi, aku pun bangkit untuk segera mencari tempat agar nanti tidak kehujanan. Ketika berjalan, hanya satu pertanyaan yang muncul dalam hatiku “jika hidupku segelap ini, masih adakah mentari di ujung jalanku?”

The End

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun