Mohon tunggu...
Niken A. Zafrullah
Niken A. Zafrullah Mohon Tunggu... profesional -

ibu 2 anak, dokter obgyn, penikmat hidup

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berburu Kartu Kredit Demi Diskon

7 Januari 2013   13:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:24 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak 5 tahun yang lalu, saya termasuk ‘pemburu’ kartu kredit. Apa pasal? Sederhana, karena saya seorang wanita yang senang berbelanja. Bagi saya, belanja itu bisa mengurangi stres. Tapi belanja berlebihan, akan menambah stres. Maka, diskonlah yang kita buru! Saat kita bisa menebus benda idaman dengan harga diskon, maka rasa puasnya seakan bisa membuat kita di puncak kekuasaan. Dengan kartu kredit, peluang mendapat diskon semakin besar.

Di kota-kota besar, termasuk Surabaya tempat saya dibesarkan, jamak terlihat diskon yang diberikan oleh toko, resto, atau tempat rekreasi bila konsumen bertransaksi dengan kartu kredit tertentu. Itulah yang membuat saya mengawali ‘perburuan’ untuk memiliki kartu kredit. Sempat mendapat ‘penolakan’ 2 kali dari 2 bank penerbit kartu kredit yang berbeda, akhirnya saya bisa memiliki kartu kredit dari bank tempat saya membuka rekening tabungan. Senyum melebar, karena saya bisa mendapat diskon 30% di cafe E kegemaran saya.

Sayangnya, memiliki satu saja kartu kredit keluaran bank tertentu, tidak lantas membuat saya mendapat diskon di tempat lain, dikarenakan bank tersebut tidak bekerja sama dengan toko tersebut. Jalan keluarnya adalah mengajukan aplikasi di bank penerbit kartu kredit lain. Berbekal kartu kredit yang saya miliki, proses aplikasi selanjutnya berjalan mulus. Kartu baru di tangan. Wilayah ‘jajahan’ belanja saya bertambah luas.

Selanjutnya sayapun asyik menikmati diskon demi diskon yang selama ini hanya bisa saya hadapi dengan senyum kecut atau ketus menjawab “Tidak!” saat kasir bertanya, “Ada kartu dari Bank X, Bu? Bisa dapat diskon ekstra”. Sekarang saya bersemangat saat membaca iklan di koran yang berbunyi “Diskon 40% all u can eat dengan kartu kredit A”. Saya tak ragu mengulurkan kartu kredit di kasir departemen store untuk mendapat “Rebate 10% dengan kartu kredit B”. Saya girang saat membaca sms “Dapatkan Buy 1 Get 1 dengan kartu kredit C”. Saat jalan-jalan bersama ibu, saya mudah meyakinkan beliau agar mau saya traktir karena, “pakai kartu D diskon kok!”. Saya bahkan menunggu-nunggu acara “Branded sale” karena barang yang sudah didiskon bisa lebih murah lagi karena saya pemilik kartu kredit E. Saat duduk di resto, dengan jumawa saya bertanya, “Saya punya kartu ini, ini dan ini, mana yang diskon di sini?” Ada rasa bangga saat kasir berterima kasih dengan menyebut nama saya karena tertera di kartu kredit yang baru digeseknya.

Boros? Dengan yakin saya menjawab: tidak! Saya memang bercerita bahwa saya belanja ini-itu dan mendapat diskon ini-itu. Tapi itu saya lakukan pada transaksi yang memang saya butuhkan. Maksud saya, saat kebetulan harus makan siang di mall, maka saya akan mengajak suami memilih resto yang memang bisa lebih murah dengan kartu kredit yang kami miliki. Ketika membutuhkan baju lebaran, maka saya akan menggesek kartu kredit di toko yang membuat saya mendapat ‘rebate 10%’. Saat membutuhkan kacamata baru, maka saya akan membeli yang sedang didiskon, dan di toko yang memberi ‘ekstra diskon 20%’ dengan kartu kredit yang saya miliki. Saya juga jadi bisa makan minum gratis di bandara, karena ada fasilitas akses gratis ke ruang tunggu eksklusif. Jadi, saya bisa lebih hemat di sana-sini.

Mengenai tawaran cicilan 0%, 6 atau 12 bulan? Maaf ya, tidak pernah saya manfaatkan. Saya ini pernah belajar ilmu perencanaan keuangan dari sebuah lembaga bergengsi ibukota. Saya tahu, barang-barang yang boleh dibeli dengan mencicil adalah barang yang nilai ekonomisnya akan meningkat sejalan dengan waktu, seperti rumah, properti, dan sebangsanya. Sedangkan untuk barang konsumtif yang nilai ekonomisnya menurun, paling baik dibayar tunai. Nah, dengan kartu kredit, saya hanya ‘menunda’ membayarnya di akhir bulan, dengan harga potongan pula. Saya juga selalu disiplin membayar lunas tagihan kartu kredit tepat waktu. Karena saya juga tahu, bunga kartu kredit sebetulnya sangat mencekik karena sangat tinggi dan akan bergulung bunga berbunga bila sempat menunggak.

Berapa kartu kredit saya punya? Hmm...rahasia. Agak malu juga saya menjawab, karena agak keluar dari kaidah yang diajarkan dalam ilmu perencanaan keuangan, yaitu 2 saja. Kartu yang saya miliki memang lebih dari itu. Memang agak banyak sih. Tapi semua gratis iuran tahunan kok. Paling tidak, gratis tahun pertama. Jadi saya tetap tidak boros. Pengeluaran rutin tetap terjaga dan tetap displin berinvestasi sesuai tujuan keuangan kami sekeluarga.

Butuhkah saya dengan kartu kredit sebanyak itu? Nah ini. Saat tinggal di Surabaya yang penuh pusat perbelanjaan, kebutuhan akan kartu kredit seakan mutlak. Karena begitu banyak toko, tempat makan, tempat rekreasi, bahkan sarana kesehatanpun menjanjikan diskon dan kemudahan bila bertransaksi dengan kartu kredit tertentu. Atas nama diskon, saya rela menggesek kartu kredit silih berganti. Sejauh ini sih sesuai bujet, alhamdulillah. Pada kolom biodata di twitter, dengan bangga saya cantumkan ‘financially planned shopaholic’....hahaha...

Tapi keadaan berubah setelah sejak 3 bulan yang lalu saya mengikuti suami pindah ke Banda Aceh. Sangat sedikit toko, tempat makan atau tempat rekreasi yang menawarkan diskon dengan kartu kredit. Bahkan begitu banyaknya kedai kopi di propinsi yang terkenal dengan Kopi Gayo-nya ini, tak satupun yang menawarkan diskon kartu kredit. Bisa saja kartu saya digesek, tapi hanya untuk membayar biasa, tidak ada diskon ekstra. Tapi saya tetap bisa hidup tuh. Saya tetap makan yang enak-enak di sini, karena sejauh ini harga-harga cukup bersahabat. Beli baju juga masih ada yang memberi diskon toko. Berenang juga gratis karena dapat tiket bonus karena berbelanja di swalayan. Kartu kredit saya ‘bebas gesekan’ di sini. Jadi, sebenarnya, saya butuh tidak ya, dengan setumpuk kartu kredit itu?

Sudah sejak setahun belakangan saya selalu menolak tawaran aplikasi kartu kredit baru, karena ngeri juga mempunyai kartu terlalu banyak. Pindah ke Banda Aceh, saya makin sebal dengan tawaran-tawaran itu, semua saya tolak mentah-mentah. Saya bahkan berpikir untuk menutup saja sebagian kartu milik saya, dan kembali ke ‘jalan yang benar’ dengan cukup 2 kartu saja. Apalagi kabarnya pemerintah juga mewajibkan begitu mulai tahun ini. Cukuplah guna kartu kredit saya untuk membeli tiket pesawat online saja. Mungkin kartu yang saya tutup terlebih dahulu adalah yang mulai menagih iuran tahunan.

Tapi sementara saya biarkan dulu ‘status quo’ ini. Biar saja kartu-kartu itu tidak digesek, juga tidak ditutup. Biar saja saya puasa dulu. Karena....minggu depan saya ke Jakarta! Suami saya memahami kegelisahan saya yang rindu belanja di mall. Ia juga heran, sekaligus paham, mengapa pos ‘lifestyle’ pada tabel ‘financial plan’ kami angkanya berkurang cukup signifikan, sehingga pengeluaran bulanan otomatis berkurang. Karena ‘kredibilitas’ saya sebagai pemegang uang yang bisa dipercaya di mata suami, artinya tidak pernah mengingkari ‘financial plan’ yang sudah kami susun bersama, serta saya juga sudah ‘lulus’ ujian ‘puasa’ belanja 3 bulan, maka suami menghadiahi ‘izin belanja’ di ibukota bersamanya. Yippii! Syaratnya mudah saja kok, saya hanya boleh membelanjakan pos ‘lifestyle’ sebanyak angka yang saya hemat 3 bulan ini, dan tetap membayar lunas semua tagihan di akhir bulan. Mudah kan? Jadi, halo, kartu-kartu kreditku, siap-siaplah kalian digesek lagi!* (Niken A. Zafrullah)

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun